I’TIKAF
Buyung Ristyono, S.T.
ABSTRAK
Bulan Ramadhan
adalah bulan yang penuh ampunan, bulan berkah, dan diantara malamnya ada satu
malam yang lebih baik dari seribu bulan, yang disebut dengan malam Lailatul
Qadr. Malam Lailatul Qadr adalah malam saat diturunkannya Al Qur’an pertama
kali ke bumi melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Hanya merekalah
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah yang memperoleh limpahan cahaya Lailatul
Qadr, mereka yang selalu beribadah dan ingat kepada Allah dengan niatnya yang
tulus ikhlas, yang mampu menjaga lisan dan tingkah lakunya, dan mampu menjaga
kebersihan hatinya, itulah orang-orang yang beruntung. Allah SWT akan
melipatgandakan pahala yang diberikan-Nya. Dan syurga firdauslah balasan bagi
mereka.
Setiap jiwa
mengalami problema, namun bagaimana caranya agar problema yang terjadi tidak
merusak fitrah manusia sebagai makhluk Sang Khalik. Setiap jiwa hendak merubah
kehidupan ke tingkat yang lebih baik. Proses perenungan dengan berkhalwat
sangat diperlukan bagi tiap-tiap jiwa, ini merupakan proses pemantapan
ma’nawiyah seorang da’i agar memiliki kebersihan dan kekuatan ruhiyah.
TUJUAN
INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi
ini peserta dapat :
- Mengetahui waktu diturunkannya Al Qur’an
- Mengetahui makna Lailatul Qadr
- Mengetahui tata cara I’tikaf
- Melakukan I’tikaf pada bulan Ramadhan jika mungkin
TITIK
TEKAN MATERI
Materi ini
menghantarkan seseorang untuk dapat melaksanakan I’tikaf jika mungkin,
dengan I’tikaf ini maka akan terbentuk sifat shahihul ibadah pada diri
seseorang (muwashafat 2 : 25). Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al
Qur’an. Pada malam Ramadhan terdapat malam seribu bulan. Pada malam tersebut
Allah SWT menurunkan banyak keberkahan dari langit. Rasulullah menyunahkan
untuk berI’tikaf pada 10 malam terakhir bulan Ramadhan. Untuk melakukan I’tikaf
, maka perlu mengetahui rukun dan syarat , serta tempat – tempat untuk dapat
melakukan I’tikaf. Unrtuk memberi semangat spiritual, maka kita perlu
mengetahui tanda – tanda malam seribu bulan tersebut. I’tikaf adalah
bentuk ritual yang sangat ruhiyah.
POKOK
– POKOK MATERI
- Ramadhan sebagai bulan Qur’an (syahrul Qur’an)
- Malam seribu bulan (Lailatul Qadr)
- I’tikaf Rasul Saw dan
orang-orang saleh
- Kaifiyah, Syarat dan hukum I’tikaf
- I’tikaf dan pembentukan kekuatan
spiritual
Bulan Ramadhan
Bulan
Ramadhan adalah bulan mulia yang didalamnya terdapat keberkahan bagi mereka
yang menjalaninya dengan penuh ketulusan hati. Diturunkan oleh Allah SWT
sebagai suatu nikmat yang tidak diberikan pada umat terdahulu. Hal ini agar
umat Nabi Muhammad saw mudah untuk mendekatkan diri pada Sang Rabb. Ada 4 nilai
bulan Ramadhan ;
- Bulan Ramadhan adalah bulan kemenangan
- Bulan Ramadhan sebagai bulan untuk optimalkan perbaikan diri
- Di bulan Ramadhan diberikan nikmat pahala berlipat ganda
- Bulan Ramadhan merupakan suatu kesempatan untuk berkhalwat pada
Allah SWT.
“Seandainya umatku
mengetahui akan keutamaan bulan Ramadhan maka niscaya mereka akan memohon
kepada Allah agar setiap bulan adalah Ramadhan.” Demikianlah Rasulullah bersabda
tentang keutamaan bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan memiliki 3
kriteria ;
- Bulan yang awal permulaannya adalah Rahmah
- Bulan yang pertengahannya adalah Maghfiroh
- Bulan yang penghujungnya adalah Pembebasan dari api neraka.
Ramadhan sebagai bulan
Qur’an (syahrul Qur’an)
Saat Rasulullah bertahannuts
ke Gua Hiira di pinggiran kota Makkah, pada saat itulah Allah SWT menurunkan
rahmat-Nya. Allah telah menurunkan suatu undang-undang kehidupan yang menjamin
terjaganya harkat kemuliaan manusia, keadilan dan kebenaran.
“Bulan Ramadhan didalamnya
(Allah) menurunkan kitab Al Qur’an, petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan
bathil)” (Qs Al Baqarah : 185) . Jelaslah bahwa di dalam bulan Ramadhan
terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan yang disebut Lailatul Qadr,
malam yang didalamnya turun ayat suci Al Qur’an.
Sayyid Quthb menyatakan, “Al
Qur’an sebagai kitab suci yang kekal bagi umat Islam. Telah mengeluarkan mereka
dari kegelapann menuju terang benderang. Kemudian menganttarkan mereka muncul
ketengah-tengah manusia dalam pemunculan yang mengejutkan. Melenyapkan perasaan
takut menjadi nyaman. Menguatkan tianng-tiang mereka menjadi ummatan wasathan
yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut oleh sejarah. Tetapi begitu Islam
datang membawa Al Qur’an, mereka menjadi satu ummat yang paling banyak mengisi
lembaran sejarah dan menjadi sebutan di bumi dan di langit. Tidak sedikit
nikmatt Allah yang harus kita syukuri dengan turunnya Al Qur’an ini betepatan dengan
bulan Ramadhan”.
Lailatul Qadr
(malam seribu bulan)
I’tikaf
Secara bahasa I’tikaf
berarti, menetapi sesuatu dan menetapkan hati padanya (Fathul Bari 4/271)
Secara syar’I bermakna
tinggal di masjid untuk kepentingan mendekatkan diri kepada Allah (Gharibul
Qur’an hal 343)
“
Sudah merupakan keharusan bagi setiap pribadi yang hendak mengubah kehidupan
manusia untuk mengasingkan diri beberapa saat lamanya dari kebisingan dan
kesibukan dunia, bahkan dari sekecil apapun aktivitas yang mensibukkan manusia.”
Petikan
menarik itu merupakan ungkapan dari Sayyid Quthb dalam Fi Dzilalil Qur’an.
I’tikaf berarti tekun
beribadah. Allah berfirman dalam surat Al Anbiya : 52 , “ Ingatlah ketika
Ibrahim berkata kepada Bapaknya dan kaumnya, “ Inikah berhala-berhala yang
kalian tekun beribadah kepadanya ?”
Sayyid Sabiq dalam Fiqhus
Sunah mendefinisikan I’tikaf berarti menetap dan tinggal di masjid
dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah SWT (taqarrub ilallah).
Sayyid Quthb mengatakan I’tikaf
adalah cara (sunah) Rasulullah Saw dengan berkhalwat untuk taqarrub ilallah,
berdiam di masjid dengan niat tidak akan memasuki rumah kecuali ada kepentingan
yang mendesak.
I’tikaf berarti
seseorang menyendiri dari pergaulan sesama makhluk ciptaan Allah, ia hanya
mengingat Allah, berdoa, bermunajat, mengharap pahala dan keridhoan-Nya, dan memohon dihindarkan
dari siksa api neraka dan siksa-Nya yang pedih.
Dalil Diisyaratkannya
Allah
SWT berfirman, “Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu berI’tikaf
dalam masjid.” (Qs Al Baqarah : 187) .
Aisyah
berkata, “Nabi saw berI’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Setelah Allah wafatkan beliau, istri-istri beliau tetap melakukan I’tikaf
sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari, al Fath 4/71)
“idza
dakholalal asyrul awakhir, ahya lailahu, wa iqodzu ahlalu” , apabila datang
sepuluh hari terakhir, Rasulullah menghidupkan malam-malamnya, mengurangi tidur
dan membangunkan keluarganya.
Urgensi I’tikaf
Berkata Syaikh Hay
Al-Hay,”Tidak terdapat dalil yang jelas tentang keutamaan I’tikaf.
Tetapi disyariatkannya di dalam firman Allah “Janganlah kamu mencampuri mereka
itu, sedang kamu berI’tikaf dalam masjid”, adalah bukti atas
keutamaannya.
Pentingnya
I’tikaf diungkapkan dengan analogi Rasulullah. Di tengah kesibukannya
membina ummat, beliau tetap meluangkan waktunya (kesempatan) untuk bertemu
dengan Sang Khaliq. Suatu kesempatan
untuk mngungkapkan kepatuhan , kecintaan, ketaatan dan rasa tunduk seorang
hamba kepada Rabb Sang Pencipta Alam Semesta. I’tikaf yang beliau
lakukan terutama pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan ini bukan lagi
menyepi di gua-gua, melainkan di masjid yang disyariatkan.
I’tikaf dapat membawa manusia
menuju kedamaian, mengetahui akan hakekat penciptaannya, dan dapat dijadikan
ajang untuk intropeksi diri akan sikap tingkah laku dan tutur kata selama ia
beraktivitas.
I’tikaf, apabila dicermati, maka
akan terlihat sejumlah aktivitas yang didalamnya bernilai ibadah ; diantaranya
puasa, dzikrullah, membaca Al Qur’an, shabar, tidak menyibukkan diri pada hal
yang sia-sia, dan melakukan shalat lail. Disamping itu , mendirikan shalat lai
pada malam LailatulQadar (malam dimana terdapat kemuliaan dari 1000
bulan, karena turunnya Al Qur’an)…(Al Ittihaf 14-15)
Para ulama merasa heran
kepada orang-orang yang meninggalkan I’tikaf (Fathul Bari 4/285). Ibnu
Syibab berkata, “Mengherankan kepada kaum Muslimin, mereka meninggalkan I’tikaf
padahal Rasulullah tak pernah meninggalkannya sejak beliau masuk ke Madinah
hingga wafat.”
Hukum I’tikaf
Para
ulama sepakat behwa I’tikaf hukumnya sunnah, sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Mundzir. Kecuali seseorang bernadzar untuk berI’tikaf, maka
hukumnya wajib buat dia.
Rukun I’tikaf
I’tikaf dapat dilakukan
jika memenuhi rukun I’tikaf yaitu :
- Mu’takif (orang yang berI’tikaf)
- Tinggal dalam masjid yang dianjurkan
- Memilih tempat untuk tetap berI’tikaf
Kisah Rasulullah Saw tentang
I’tikaf.
Dari Aisyah ra. Katanya,
“Apabila Rasulullah Saw hendak berI’tikaf pada sepuluh yang akhir di
bulan Ramadhan, beliau shalat shubuh lebih dulu, sesudah itu barulah beliau
masuk ketempatnya I’tikaf …” (HR. Muslim).
Ibnu Umar berkata, Anas dan
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw dahulu membiasakan berI’tikaf
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sejak tinggal di Madinah, hingga
beliau diwafatkan Allah SWT. (Muttafaq’alaih).
Dari Ibnu Majah dari Ibnu
Umar ra, “Bahwa Rasulullah Saw biasa berI’tikaf pada sepuluh hari yang
terakhir dari bulan Ramadhan. Berkata Nafi’, “Abdullah bin Umar memperlihatkan
sendiri kepada saya tempat yang biasa ditempati oleh Rasulullah Saw untuk berI’tikaf.”
Masjid
yang digunakan
Abu Hanifah, ahmad, Ishak,
dan Abu Tsaur berpendapat bahwa I’tikaf itu sah dilakukan disetiap
masjid yang dilaksanakan shalat lima waktu didalamnya dan didirikan jama’ah.
“ Setiap masjid yang
memiliki muadzin dan imam boleh dilakukan I’tikaf didalamnya.” (Riwayat
Daruquthni), tetapi hadits ini mursal dan dhaif hingga tak dapat dipakai
sebagai alasan.
Sementara Imam Malik,
Syafi’I, dan Daud berpendapat bahwa I’tiikaf sah dilakukan pada setiap masjid
karena tak ada keterangan yang menegaskan terbatasnya masjid tempat melakukan I’tikaf.
Menurut penghikut-pengikut
Imam Syafi’I , lebih afdhal I’tikaf dilakukan di masjid jami’ yaitu
masjid yang digunakan untuk melakukan shalat jum’at. Rasulullah sendiri
melakukan I’tikaf di masjid jami’.
Mengenai pekarangan masjid,
menurut golongan Hanafi dan Syafi’I serta suatu riwayat dari Ahmad, adalah
termasuk masjid. Sedangkan menurut Malik dan satu riwayat dari Ahmad, tidak
termasuk.
Menurut jumhur ulama, tidak
sah seseorang yang berI’tikaf dimasjid rumahnya sendiri. Masjid dirumah
tidak bisa dikatakan masjid, juga tak ada perselisihan tentang boleh
menjualnya. Bahkan para wanita, termasuk isteri-isteri Nabi, melakukan I’tikaf
di masjid Nabawi.
Bolehkah
wanita berI’tikaf tanpa izin suami ?
Al lubsu fil masjid bi
niyatil ibadah wa taqorub ilallah, Diam di masjid dengan niat ibadah karena
Allah.
Menurut Syafi’I, sah saja
bila seorang wanita berI’tikaf tanpa seijin suaminya, tetapi ia berdosa.
Sedang menurut Madzhab Maliki, tidak boleh wanita berI’tikaf nadzar atau
I’tikaf sunnah tanpa seijin suaminya, kalau ia tahu betul suaminya butuh
sekali dengan isterinya.
Para wanita yang hendak berI’tikaf
sebaiknya tertutup dari penglihatan pria, agar tak terlihat oleh mereka atau
melihat mereka di dalam masjid tersebut. I’tikaf dilakukan oleh pria
maupun wanita. Bagi wanita yang ingin melakukan I’tikaf, datang saja ke
masjid yang menyediakan tempat khusus ,yang tidak ada ikhtilath dengan kaum
pria, dan melakukan kajian-kajian keislaman.
Waktu
I’tikaf
Diriwayatkan oleh Bukhari
dari Abu Sa’id bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang hendak berI’tikaf
bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh terakhir.”
Dalam kitab Fiqhus Sunnah
yang dimaksud dengan “sepuluh terakhir” adalah nama bilangan malam yang bermula
pada malam ke dua puluh satu atau malam ke dua puluh.
Orang yang ingin berI’tikaf
hendaknya masuk masjid pada waktu shubuh (HR Bukhari. Al Fath 4/275). Ini
pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar, Al Khaththabi, Tirmizi dan Ibnul
Qayyim (Zadul Ma’ad 2/89)
Waktu masuk masjid untuk berI’tikaf
itu ialah pada permulaan malam ke dua puluh atau ke dua puluh satu. Menurut Abu
Hanifah, dan Syafi’I waktu keluar mu’takif adalah setelah matahari terbenam.
Sedangkan menurut Malik dan Ahmad boleh keluar setelah matahari terbenam,
tetapi disunahkan tinggal di masjid sampai waktu shalat ied’.
Syarat – syarat I’tikaf.
- Mu’takif adalah orang muslim
- Mu’takif hendaknya tamyiz. Tidak sah I’tikaf yang dilakukan
oleh seorang gila maupun anak kecil.
- Harus dilakukan di dalam masjid dengan niat mendekatkan diri pada
Allah dann tinggal didalamnya. Jika tidak maka bukan dinamakan I’tikaf,
berdasarkan surah Al Baqarah : 187. Yang dimaksud masjid disini adalah
masjid Jami’, yang diadakan shalat jamaah didalamnya, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Qudamah (Al Mughni)
- Suci dari janabat, haid dan nifas
- Bagi wanita harus dengan seijin suaminya (menurut Jumhur)
- Diriwayatkan dari Aisyah ra, “Siapa yang berI’tikaf, maka
dia harus berpuasa,” (Riwayat Abdur Razzaq 8037). Dari Urwah bin Zubair,
beliau berkata, “Tidak ada I’tikaf kecuali dengan puasa.” (Riwayat
Abdur Razzaq 8041). Berkata Ibnul Qayyim, “Tidak pernahh diriwayatkan
bahwa Nabi saw berI’tikaf dalam keadaan berbuka puasa”. Mu’takif
hendaknya melakukan shaum ( Maliki dan Hanafi). Sedangkan dalam mahzab
Hanafi yang dimaksud dengan shaum (puasa) hanyalah merupakan syarat sahnya
I’tikaf wajib dan tidak dipersyaratkan dalam I’tikaf sunnah
- Niat I’tikaf ketika hendak memulainya (Madzhab Syafi’I dan
Maliki).
Alasan keluar
masjid
- Udzur syar’I, seperti keluar untuk
shalat jum’at atau ied. Karena itu I’tikaf sangat disunnahkan di
masjid jami’, agar tidak keluar dari masjid tersebut.
- Udzur tabi’I, seperti buang air
besar dan kecil, mandi janabat karena bermimpi (bila dimasjid tidak
memungkinkan) . Mu’takif hanya diperbolehkan berada diluar masjid
secukupnya saja.
- Udzur dharuri, seperti keluar masjid
karena khawatir barangnya hilang atau rusak, atau khawatir dirinya binasa
atau celaka andaikan I’tikafnya diteruskan. (Dr. Mahmud Abdullah
al-‘Ukazi, Al Figh al-Islami, Jami’ah al-Azhar, 156-157)
Hal yang
disunahkan dalam berI’tikaf
Disunahkan bagi orang yang
berI’tikaf memperbanyak ibadat sunah serta menyibukkan diri dengan
- Shalat,
- Tilawah Qur’an,
- Tasbih, tahlil, tahmid, takbir, istigfar,
- Berdoa dan membaca shalawat atas Nabi SAW. Dan ibadah lain yang
mendekatkan diri kepada Allah.
- Termasuk juga dalam hal ini mempelajari ilmu, kajian kitab tafsir,
hadits, membaca riwayat Nabi, dan orang-orang shaleh begitu juga buku fiqh
dan keagamaan.
- Menjauhkan diri dari hal-hal yang tak perlu, baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Seperti debat, mencela, dan perkataan keji dan kotor
“ Barang siapa yang tidak
meninggalkan kata-kata keji dan kotor dan tidak meninggalkan mengamalkan
kata-kata tersebut, maka Allah tidak mempunyai keperluan dengannya, meskipun ia
meninggalkan makanan dan minuman,” (HR Bukhari)
Hal yang makruh dalam
I’tikaf.
- Melakukan hal yang tidak perlu (laghwi) baik berupa perkataan
ataupun perbuatan. Dari Abi Bashrah, Nabi Muhammad bersabda, “Diantara
baiknya keislaman seseorang ialah meninggalkan hal-hal yang tidak
berguna.” (HR. Turmudzi dan Ibnu Majjah.
- Menahan diri tidak berbicara. Dari ibnu ‘Abbas, “Sementara Nabi
SAW berkhutbah, tampak olehnya seorang laki-laki yang tetap berdiri. Nabi
SAW bertanya, “Siapa orang itu ?” Mereka mengatakan, “Namanya Abi Israel.
Ia bernadzar akan terus berdiri dan tak akan duduk, tidak akan berteduh
dan berbicara dan akan terus berpuasa.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah
ia berbicara, bernaung dan duduk, dan hendaknya ia meneruskan shaumnya.”
(HR. Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Majjah)
- Buang air kecil maupun besar
- Menyisir rambut dan menggeraikannya
- Menggunakan wangi-wangian, mandi, bersih-bersih, dan bercukur
- Menggunakan tempat tidur
Hal – hal yang membatalkan
I’tikaf.
- Keluar dari masjid
Untuk I’tikaf
wajib seperti I’tikaf nadzar, mu’takif tidak diizinkan keluar masjid
sama sekali sampai habis waktu yang telah ditentukan, kecuali ada udzur. Dalam I’tikaf
sunnah, boleh keluar dari masjid, karena uzur atau tidak. Begitu mu’takif
keluar masjid dan tanpa dinyatakan batal kemudian bila masuk ke masjid lagi ia
berniat I’tikaf lagi, ia tetap mendapat pahala.
- Murtad dari Islam
Firman Allah SWT
dalam surat Az Zumar ayat 65 :
“ Seandainya
engkau musyrik, akan gugurlah amalanmu.”
- Pingsan dan gila baik karena mabuk atau lainnya
- Haid dan nifas
- Senggama
Sekalipun tidak
keluar mani, Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 187 :
“Janganlah kamu
campuri isteri-isterimu ketika kamu dalam keadaan I’tikaf di masjid.”
Menurut madzhab Syafi’I, jika persetubuhan karena khilaf , maka tidak
membatalkan I’tikaf.
- Mencium
Mencium dengan
syahwat atau bercumbu dan sebagainya hingga keluar mani. Tapi kalau tidak
keluar, maka tidak membatalkan I’tikaf.
I’tikaf dan
pembentukan kekuatan spiritual
Rangkaian
ibadah I’tikaf tentunya membawa manfaat dan perubahan besar apabila
dilaksanakan dengan benar dan sesuai syariat yang ditentukan. I’tikaf
tidak hanya dilihat sebagai ibadah mahdoh saja melainkan merupakan suatu ibadah
dalam upaya membina diri dan intropeksi diri. Kemudian kita dapat melakukan
taubat kepada Allah dan mencoba melihat peluang untuk melaksanakan kebaikan
dimasa datang. Jika I’tikaf dilakukan oleh sebuah keluarga maka maka
keluarga itu telah mmembangun ruhiyah keluarga, jika dilakukan oleh masyarakat
maka akan membangun ruhiyah masyarakat, jika dilakukan oleh para pemimpin maka
akan membangun ruhiyah, prilaku para pemimpin.
Sebagai
sebuah mata rantai pembinaan ruhiyah,spiritual, puasa menahhan kita dari
kelalaian, kelengahan, dan kesombongan yang melenakan kita dari Allah SWT.
Puasa mengetuk batas nurani kita sebagai muslim. Cobalah untuk menghayati makna
puasa sebagai sebuah ibadah guna pensucian diri, pembersihan hati. Hati kita bagaikan
batu yang hitam berdebu akibat dosa dan maksiat yang telah kita perbuat.
Cobalah laksanakan I’tikaf dengan penuh kesadaran diri akan kehadirat
Ilahi. Sebab dengan berI’tikaf sesungguhnya kita lebih mendekatkan diri
pada yang Kuasa, menjauhkan dari duniawi yang melenakan.
Ada
beberapa manfaat dari ibadah I’tikaf yaitu :
- Mudah melakukan shalat fardhu secara kontinyu dan berjamaah
- Lebih khusyu’ dalam ibadah (shalat)
- Banyak kesempatan untuk melaksanakan amalan sunnah
- Keberuntungan untuk mendapatkan shaft pertama dalam shalat
- Mendapatkan pahala karena menunggu datangnya shalat
- Membiasakan untuk menautkan diri dengan masjid
- Memudahkan untuk shalat malam
- Merasakan dekatnya diri dengan Sang Pencipta
- Membiasakan hidup sederhana, zuhud dan berlaku tidak tamak terhadap
dunia
- Menjaga shaum dari perbuatan dosa kecil
- Mendidik jiwa agar berlaku shabar dan beramal shaleh
- Menjaga dari keinginan melakukan kemaksiatan
- Sebagai sarana untuk instropeksi diri
- Merupakan ajang untuk menambah wawasan keislaman atau ruhani seseorang
- Menguatkan nilai-nilai ukhuwah antar sesama
“Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Qs At Tiin : 4)
Maraji’
-
Al Qur’anul Karim
-
Shahih Muslim
-
I’tikaf Penting dan Perlu,
Dr. Ahmad Abdurrazaq al Kubaisi / A.M. Basalamah
-
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq
-
Fi Dzilalil Qur’an, Sayyid
Quthb
-
Fiqih Wanita (terjemahan),
Ibrahim Muhammad al Jamal
-
Ishlah Edisi 36/ Tahun III,
Februari 1995
-
Al Izzah, No. 2/Th.
1/Ramadhan 1420 H
-
Sabili Edisi Ramadhan
-
Serpihan kalimat - lembaran
- makalah Buyung Ristyono,S.T.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar