Sabtu, 14 Desember 2013

KAJIAN LITERATUR TERHADAP TAFSIR AL-MANAR

KAJIAN LITERATUR TERHADAP TAFSIR AL-MANAR
Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha
oleh Derysmono
Abstrak
kondisi umat Islam yang lemah, dimanfaatkan dengan baik oleh para penjajah, sehingga banyak terjadi kemunduran, penjajahan di semua aspek kehidupan umat di seluruh dunia. Baik dari masalah sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi. Baik itu disebabkan faktor internal umat islam itu sendiri maupun eksternal.  Tak ayal, banyak dari kalangan cendikiawan muslim yang berupaya memberikan solusi yang tepat untuk umat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini. Diantara karya-karya yang dilahirkan adalah “Tafsir Al-Manar” karya Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha.
    dengan keadaan yang krisis di semua bidang, dapatkah Tafsir ini menjawab kebutuhan umat dan memberikan solusi tepat dalam mengatasi permasalahan sosial yang ada saat ini ?
    Statement. : Syeikh Al-Bani memberikan komentar tentang Sayyid Rasyid Ridan dan tafsir Al-Manar beliau mengatakan : “ Tafsir Al-Manar adalah tafsir yang bagus – secara keseluruhan- ia dapat memberikan solusi bagi peramasalahan umat Islam dewasa ini, di dalamnya terdapat pernjelasan-penjelasan sosial, politik, sejarah yang tidak ditemukan pada kitab tafsir yang lain pada era terdahulu, bahkan juga tidak terdapat pada kitab-kitab tafsir kontemporer, karena sayyid Rasyiid Ridha adalah seorang ulama besar dan politikus muslim, namun dia sedikit memiliki kekeliruan ( penyimpangan ) terhadap sunnah pada banyak permasalahan, seperti hadist-hadist yang menjelaskan Nabi Isa, Dajjal, Al-mahdi, dan pada masa awal-awal kehidupan ilmiyah beliau mengeluarkan fatwa-fatwa yang bertentangan dengan Al-haq ( kebenaran ) akan tetapi beliau meminta maaf atas kesalahan itu pada sebagian masalah-masalah yang beliau fatwakan”.  
    Kehadiran Tafsir Al-manar setidaknya memberikan warna baru pada kitab Tafsir terdahulu, yang memberikan penerangan terhadap permasalahan umat pada masa sekarang ini. Yang mana dalam Tafsir ini mengajak umat menuju peradaban yang maju, umat yang bersatu, dan terbebas dari penjajahan.
    Metode penulisan Adab I’jtimai’, Ilmi dan Hida’i ( corak Hidayah ) pada Tafsir ini merupakan corak penjelasan tafsir yang tepat pada saat ini, dimana umat Islam sedang mengalami masa-masa sulit, yang membutuhkan metode penulisan Tafsir seperti ini, sehingga umat dapat menemui jalan keluar dari permasalahan-permasalahan yang ada.
    Model atau corak tafsir yang bertumpu pada satu orang penulis atau mufassir sudah sering kita dapatkan, akan tetapi model tafsir yang ditulis oleh banyak mufassir belum ada, apalagi jika mufassir tersebut ahli di bidangnya masing-masing. Setidaknya Tafsir Al-Manar menjadi langkah awal hal tersebut, dimana Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha bertemu.    

A.    Pendahuluan
Periode modern yang dimulai pada tahun 1800 M, menurut ahli sejarah, disebut sebagai zaman kebangkitan umat Islam.  Dalam sejarah perkembangan modernisme Islam, terdapat suatu gagasan utama yang selalu dicetuskan oleh para tokoh pembaharu, modernis, yaitu kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Muhammad Abduh, misalnya, dengan sungguh-sungguh mengajak untuk kembali kepada al-Qur’an dan berpegang teguh dengannya, dan perlunya penafsiran/interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, sesuai dan sejalan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. 
Demikian penting upaya memahami dan merenungkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an, demi mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga darinya. Dan kebangkitan atau kemajuan umat Islam sesungguhnya sangat tergantung pada sejauh mana mereka berpedoman dan berpegang teguh pada petunjuk-petunjuk, ajaran-ajaran, aturan-aturan, serta norma-norma al-Qur’an yang mencakup segala aspek dan sisi kehidupan manusia.
Bagi Muhammad Abduh, tafsir al-Qur’an seharusnya berfungsi sebagai alat penggugah kesadaran manusia agar menjadikan al-Qur’an sebagai sumber hidayah. Semangat beliau untuk menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk manusia inilah yang menjadikan penafsirannya berbeda di antara kalangan mufassir kontemporer (mutaakhkhirin) dengan mufassir terdahulu (mutaqaddimin). Dalam upaya mengembalikan al-Qur’an sebagai huda li al-nas, al-Qur’an dipahami sebagai kitab suci yang kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari konteks kesejarahan umat manusia.  Al-Qur’an adalah kitab suci yang sesuai untuk segala zaman dan tempat, kitab suci yang berlaku universal yang melampaui ruang dan waktu.

B.     Profil Mufassir

       Muhammad Abduh
Nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Hasan Khoirillah, lahir pada tahun 1266 H/1849 M dan wafat pada tahun 1323 H /1905 M berasal dari desa Mahallah Nashr  provinsi al-Buhairah Mesir. Orang tua Muhammad Abduh adalah seorang dermawan yang sangat dihormati di kampungnya dan sangat mencintai ilmu, sehingga memotivasi Muhammad Abduh untuk menuntut ilmu. Syaikh Muhammad Abduh adalah seorang ulama besar di al-Azhar, pernah menjabat sebagai Mufti di Mesir, serta menjadi murid dari tokoh yang masyhur, Jamaluddin al-Afghani. 
Abduh memulai studinya di Masjid al-Ahmadi di Thanta dengan mempelajari ilmu al-Qur’an dan ilmu Tajwid. Beliau belajar di majelis milik pamannya Syekh Mujahid. Kemudian karena beliau tidak mengerti metode belajarnya, beliau melanjutkan studinya bersama pamannya juga yaitu Syekh Darwis Khidr di desa Syibril Khoir, beliau adalah seorang ulama yang benar-benar memahami al-Qur’an dan menganut tarekat al-Ayadzaliyah.
Syekh Darwis mempelajari al-Qur’an dan menanyakan kepada Abduh tentang apa yang Abduh baca, kemudian Darwis mengarahkan Abduh untuk mempelajari ilmu lain yang ada di al-Azhar, seperti ilmu Logika (Mantiq), Matematika, dan Arsitektur, dan Abduh pun menerima arahannya. Ilmu ini berkaitan dengan orang yang mengetahuinya. Terkadang ia keliru dalam mencarinya dan yang lain benar. Hingga datangnya Sayyid Jamaluddin al-Afghani ke Mesir, yaitu di akhir tahun 1286 H, Abduh berkata “maka aku menemukan padanya apa yang aku damba dari ilmu, maka aku bersamanya dalam seruan reformasi”.
Syaikh Muhammad Abduh telah merintis benih-benih kebangkitan yang berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Kebangkitan ini dimulai dengan gerakan Jamaludddin al-Afghani, yakni guru Muhammad Abduh.
a)      Karya-karya Muhammad Abduh dalam bidang Tafsir  dan lainnya

1.      Tafsir Juz ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi pegangan para guru mengaji di Maroko pada tahun 1321 H. 
2.      Tafsir Surah Wal ‘Ashr, karya ini berasal dari kuliyah atau pengajian-pengajian yang disampaikannya di hadapan ulama dan pemuka-pemuka masyarakat Al-Jazair. [9]
3.      Tafsir ayat-ayat surah an-Nisa ayat 77 dan 87, al-Hajj ayat 52 sampai 54 dan al-Ahzab ayat 37. Karya ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan-tanggapan negativ terhadap Islam dan nabinya. 
4.      Tafsir al-Quran bermula dari al-Fatihah sampai dengan surah an-Nisa ayat 129 yang disampaikannya di Masjid al-Azhar, Kairo, sejak awal Muharram 1317 H sampai dengan pertengahan Muharram 1332 H. walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh Syaikh Muhammad Abduh, namun itu dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karena muridnya (M. Rasyid Ridha) yang menulis kuliah-kuliah tafsir tersebut menunjukan artikel yang dimuatnya ini kepada Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar. 

b)     Guru-guru  Muhammad Abduh.
1.      Syaikh Darwis khidr salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan menganut paham tasawuf as-Syadziliah, muhammad Abduh sangat dipengaruhi oleh cara dan paham sufistik yang ditanamkan oleh Syaikh Darwis Khidr.
2.      Jamaluddin al-Afghani, mengajarkan Muhammad Abduh pemahaman dan cara bertasawuf yang lebih luas cangkupannya bukan hanya sekedar dzikir tetapi al-Afghani mengajarinya bertasawuf yang memperjuangkan sosial masyarakat.
3.      Syaikh Hasan at-Thawil yang mengajarkannya kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles dan lain sebagainya, padahal kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada waktu itu.
4.      Syaikh Muhammad al-Basyumi, guru yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra dan bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya.

       Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
Nama lengkapnya adalah Rasyid Ridha bin Muhammad Syamsuddin al-Qalmuni, yang lahir di desa Qalmun, sebuah kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil Awal 1282 H/1865 M. Dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fathimah putri Rasulallah SAW. Yang nama nasabnya adalah al-Husaini. Dan wafat pada tanggal 23 Jumadil awal 1354 H, bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M, dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman. Ia termasuk seorang ulama hadis, sastrawan, ahli sejarah dan tafsir dan seorang pemilik majalah al-Manar yang amat populer. Majalah yang jadi menara pemikiran dan revormasi dan social di zaman modern ini.
Gelar ”Sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang bisa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut. Keluarga Rasyid Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan ”Syaikh”.  Rasyid Rasyid di kenal seorang penulis dan penuntut ilmu yang rajin, dan di Mesir beliau berguru kepada Muhammad Abduh seorang ulama revolusioner dalam ilmu dan ide-idenya dibidang revormasi dan social dan menerbitkan banyak karya-karya beliau.
Ketika undang-undang kerajaan ustmani diproklamirkan pada tahun 1326 H, Syaikh melakukan kunjungan ke Negeri Syam untuk menyumbangkan ide-idenya dan menjelaskan pandangan Islam dalam berbagai permasalah penting, di saat itu orasinya di atas mimbar Masjid Umawi di Damaskus, tiba-tiba seorang menantangnya dan hampir saja menjadi fitnah besar sekiranya tidak ada kebijakan dari syaikh yang pada saat itu dia langsung kembali ke Mesir.
Gerakannya di Mesir berkembang pesat, dia mendirikan madrasah da’wah wal irsyad, ia berjuang dengan jiwa dan semangat yang tinggi, ia berkunjung ke Syiria saat kepemimpinan raja Faishal bin Husain. Dia mencalonkan dirinya sebagai ketua muktamar Syiria pada waktu itu, kemudian ia meninggalkannya karena masuknya penjajah Prancis ke Syiria pada tahun 1920 M, dia menetap di Mesir, beberapa lama kemudian dia berkunjung ke India, Hijaz dan Eropa. [14]
a)      Karya-karya Rasyid Ridha
1.      Majalah al-Manar, adalah karya yang bahannya bersumber dari uraian yang Muhhammad Abduh uraikan dibeberapa kesempatan ilmiah  yang diterbitkan sebanyak 34 jilid, dalam kisaran tahun 1315 H/1898 M sampai 1354 H /1935 M.
2.      Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fii muhakkmat ad-Dadiriyah wa al-Rifa’iyah, buku ini adalah karya pertamanya sewaktu dia masih belajar, isinya adalah bantahan kepada ‘Abd al-Hadi Asy-Syath yang mengecilkan tokoh-tokoh sufi besar seperti Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani, juga menjelaskan kekeliruan yang dilakukan oleh para sufi, tentang busana muslim, sikap meniru non-muslim, Imam Mahdi, dan masalah dakwah dan kekeramatan.
3.      Al-Azhar dan al-Manar isinya antara lain : sejarah al-Azhar, perkembangan dan misinya, serta bantahan terhadap ulama yang menentang pendapat ulama-ulama al-Azhar.
4.      Tarikh al-Ustadz al-Imam, berisi riwayat hidup Muhammad Abduh dan perkembangan masyarakat Mesir pada masanya.
5.      Nida’ li al-Jins al-lathif, berisi tentang uraian tentang hak dan kewajiban wanita. 

Guru- Guru Rasyid Ridha
Beliau belajar pada syekh Husayn al-Jisr, Rasyid Ridha juga pernah belajar pada ulama-ulama besar yang lain, seperti Syekh ‘Abdulghani al-Rafi’i, Syekh Muhammad al-Qawaqiji, dan Syekh Mahmud Nasyabah. Kepada Syekh ‘Abdulghani al-Rafi’i, Syekh Muhammad al-Qawaqiji Rasyid Ridha belajar ilmu-ilmu bahasa Arab beserta sastranya dan tasawuf, sedangkan pada syekh Mahmud Nasyabah ia belajar fiqh al-Syafi’i dan hadits. Berkat didikan syekh Mahmud Nasyabah itulah pula, Rasyid Ridha kelak menjadi seorang pakar fiqh dan pakar hadits.

b)     Sikap Rasyid Ridha terhadap Muhammad Abduh
Rasyid Ridha menulis sebuah buku mengenai biografi gurunya Syaikh Muhammad Abduh yang berjudul ”Tarikh al-Ustadz al-Imam”, dalam buku itu secara tegas Rasyid Ridha menyatakan kekagumannya terhadap Muhammad Abduh, baik menyangkut ilmu pengetahuannya maupun sikap, budi pekerti, serta keteguhan agamanya. Namun kekagumannya tersebut tidak menghalanginya untuk bersikap objektif dan kritis terhadap pribadi tersebut, ia menyatakan:
”Apabila pembaca melihat bahwa kekagumanku menyangkut keluasan ilmunya serta kemantapan pengetahuannya yang menjadikan beliau wajar untuk menerima gelar ”al-Ustadz al-Imam” yang telah diterima dan direstui oleh banyak orang, namun aku juga mencatat, (di sini) beliau berkekurangan dalam bidang ilmu-ilmu hadis dari segi riwayat, hafalan, dan kritik al-Jarh wa al-Ta’dil sebagaimana halnya ulama-ulama Al-Azhar.”
Selanjutnya Rasyid Ridha mengungkapkan kepribadian gurunya dengan menyatakan:
”Kekagumanku terhadap budi pekertinya yang menjadikan beliau wajar untuk menyandang tugas kepemimpinan perbaikan dan pembaruan masyarakat serta agama, tidak menghalangiku untuk menyatakan bahwa beliau, sebagaimana halnya gurunya (Jamaluddin al-afghani) tidak luput dari sikap keras dan pemarah disertai dengan sifat yang bertolak belakang dengan itu, yaitu kelemahan dan kasih sayang yang berlebihan serta melampaui batas dalam sikap wara’, di mana kedua sifat tersebut diutamakan olehnya atas kepentingan umum.”
Menyangkut ketaatannya beragama, Rasyid Ridha menulis:
”Kekagumanku menyangkut keteguhannya beragama, keindahan ibadahnya, serta ketekunannya melaksanakan (shalat) tahajjud tidak menghalangiku untuk mengatakan bahwa beliau terkadang menjamak dua shalat (wajib) di tempat beliau berdomisili, (bukan dalam perjalanan) sebagai rukhsah (izin), satu ijtihad/pendapat dalam menjamak shalat yang beliau tempuh itu berbeda dengan ijtihad keempat mazhab, namun sesuai dengan suatu hadis shahih yang dianut oleh imam-imam selain keempat imam mazhab tersebut.”
Demikian Rasyid Ridha menilai dan mengagumi pribadi Muhammad Abduh. Adapun menyangkut pendapat-pendapat Muhammad Abduh yang tidak disetujui oleh Rasyid Ridha, maka pendapat-pendapat tersebut dikemukakannya, kemudian disusul dengan mengemukakan pandapat yang dianutnya, tanpa mengkritik secara pedas sebagaimana yang sering dilakukan terhadap pendapat-pendapat ulama lain. Bahkan terhadap gurunya, Rasyid Ridha sering kali mengemukakan dalil-dalil yang agaknya dapat menguatkan pendapat gurunya itu, walaupun pendapat tersebut tidak dianutnya, atau menyatakan bahwa pendapat tersebut dianut oleh ulama-ulama terkemuka yang lain, atau bahkan Rasyid Ridha mencari-cari sebab yang dapat menoleransi kekhilafan sang guru.
Contohnya ketika menafsirkan ayat 14 dari surah Ali Imran:

”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan البنين adalah anak-anak, baik lelaki maupun perempuan, hanya menurutnya ayat ini mencantumkan kata البنين yang berarti anak-anak lelaki, karena pada umumnya mereka lebih disenangi. Selanjutnya Rasyid Ridha menjelaskan bahwa sebagaimana dalam redaksi yang lalu, زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu wanita) tanpa mentebutkan ”lelaki”, maka demikian pula di sini disebutkan البنين (anak lelaki), tidak lagi البنات (anak perempuan), karena redaksi yang lalu telah mengisyaratkan dan yang demikian itulah yang dinamai ihtibak (إحتبام) oleh ulama-ulama sastra.
Ihtibak adalah tidak menyebut satu kata/kalimat dalam satu redaksi karena telah ada petunjuk menyangkut kata/kalimat yang tidak disebut itu dalam redaksi yang sama.
Kata yang dimaksud adalah perempuan dan lelaki, karena ada kata berikutnya yang menyebutkan البنين (anak lelaki). Demikian pula kata البنين walaupun dari segi bahasa berarti “anak lelaki”, tetapi karena sebelumnya telah disebutkan kata النساء (anak perempuan), maka pada kata ”anak lelaki” perlu juga disisipkan ”anak perempuan” berdasarkan kaidah ihtibak di atas.
Demikian itu pendapat Rasyid Ridha, sedangkan menurut Muhammad Abduh, yang dimaksud dengan البنين hanya anak lelaki saja, tidak termasuk anak perempuan.
Setelah Rasyid Ridha mengemukakan alasan-alasannya, baik dari segi logika maupun dari segi sastra bahasa, dikemukakannya bahwa ”agaknya al-Ustadz al-Imam tidak menganut pendapat tersebut, karena mungkin dianggapnya terlalu dibuat-buat, dan penafsiran semacam ini tidak dibutuhkan dalam menarik suatu pelajaran dari ayat tersebut.

C.    Perbedaan-perbedaan antara Rasyid Ridha dan Abduh 
Dalam penafsirannya Muhammad Rasyid Ridha mempunyai banyak perbedaan dengan Muhammad Abduh. Di bawah ini akan dikemukakan contoh perbedaan-perbedaan tersebut:
1.      Rasyid Ridha dikenal luas sebagai seorang ulama yang amat dalam pengetahuannya tentang sunah nabi, dia juga menilai banyak riwayat baik dari nabi, sahabat maupun tabi’in yang dapat membantu menjelasakan kandungan al-Qur’an. Sedangkan Muhammad Abduh tidak banyak mengambil riwayat untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an.
2.      Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat. Dalam hal keluasan pembahasan ini, Rasyid Ridha menasihatkan agar uraian tersebut dibaca tersendiri, bukan pada waktu membaca tafsir ayat-ayat al-Qur’an, supaya tidak terputus pikiran pembaca dengan ayat-ayat tersebut.
3.      Muhammad Rasyid Ridha mengikuti jejak Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat-ayat lainnya.
4.      Rasyid Ridha berusaha untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dikandung oleh suatu kata, atau rahasia-rahasia yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat lain yang juga berbicara tentang persoalan yang sama.
5.      Rasyid Ridha lebih rasional sedangkan Muhammad Abduh tidak terlalu rasional. Disebut rasional karena pada masa itu adanya taklid buta. Muhammad Abduh juga banyak memasukkan perjanjian lama.

D.    Latar Belakang  Penulisan Tafsir
Dalam pandangan Muhammad Abduh, tafsir itu bertingkat-tingkat . Paling rendahnya, ia harus menjelaskan secara global apa yang memalingkan nafsu dan kejahatan, dan mendorongnya dalam kebajikan. Ini adalah mudah bagi setiap orang.
Tujuan pertama dari apa yang diserukan Muhammad Abduh dalam membaca tafsir, adalah berkumpulnya syarat-syarat agar ia dipakai untuk tujuannya, yaitu mengupayakan memahami maksud dan tujuan dari firman, baik dalam aqidah dan hukum, kejalan yang mendorong rohani, kemudian menggiringnya ke perbuatan hidayah yang dijanjikan dalam al-Qur’an. Dengan demikian, maksud sebenarnya di balik semua bidang-bidang itu adalah mengambil hidayah dari al-Qur’an, menekankan fungsi  kehidayahan al-Qur’an untuk manusia agar dapat menjalani kehidupan dibawah bimbingan dan petunjuk al-Qur’an. 
Kehidupan penulisan  tafsir al-Manar dilatarbelakangi oleh situasi kondisi sosial, politik, dan budaya yang sangat memprihatinkan, tidak hanya di Mesir tapi juga di hampir seluruh Negara Arab. Kemajuan kekuasaan Negara Barat mendorong para penjajah untuk menguasai Negara-negara Arab. Dan juga banyak faham-faham yang membuat kaum muslimin jauh dari faham-faham Islam. Banyak hal-hal yang sangat merugikan rakyat pada saat itu, sehingga para cendikiawan di Negara-negara muslim menghimbau umat Islam kembali kepada ajaran mereka dan mengamalkannya sebagai sumber inspirasi dalam perjuangan mereka menghadapi penjajahan dan penindasan. Meskipun  himbauan ini mendapat sambutan hangat dari umat Islam dan munculnya gerakan-gerakan pemikiran Islam yang berlandaskan al-Qur’an dalam melancarkan reformasi mereka, namun pihak para penjajah tidak tinggal diam melihat geliat umat Islam untuk kembali kepada ajaran  agamanya.
Latar belakang sosial tersebut mempunyai pengaruh yang kuat terhadap Muhammad Abduh dalam berpolitik dan berfikir, sebagaimana diketahui, orientasi politiknya adalah mengubah kondisi rakyat (desa) Mesir dan berupaya mengatasi problema masyarakat kelas bawah. Ia juga  bercita-cita untuk menumbangkan system politik otoriter yang menindas rakyat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila ia mengutuk pemerintahan dinasti Muhammad Ali berikut system politiknya yang otoriter.

E.     Profil  dan Tujuan Pokok Tafsir Al-Manar
Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Qur’an al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai ”Kitab tafsir yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah syariah serta sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslim dewasa ini (pada masa diterbitkannya) yang telah berpaling dari petunjuk itu.” tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendikiawan). Itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam Syaikh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al-Azhar.
Pada mulanya tafsir ini adalah materi Abduh yang diajarkan di Masjid al-Azhar dan dicatat oleh muridnya bernama Muhammad Rasyid Ridha bin Muhammad Syamsuddin, beliau lahir di Qalmun pada tahun 1282 H / 1865 M. Beliau wafat di Kairo pada 1354 H / 1935 M, hidup selama 70 tahun,   yang kemudian  Rasyid Ridha berinisiatif tulisan-tulisannya itu dijadikan sebuah buku tafsir, karena sebelumnya tulisannya disebuah majalah tersebar luas dan berpengaruh terhadap negara-negara Arab. Kemudian semua pengajaran Abduh dicatat oleh muridnya untuk kemudian dikoreksi  kembali oleh Abduh.
Karenanya tafsir al-Manar yang terdiri dari 12 jilid itu lebih wajar untuk dinisbahkan kepada Muhammad Rasyid Ridha, sebab di samping lebih banyak yang ditulisnya―baik dari segi jumlah ayat maupun dari segi jumlah halamannya―juga karena dalam penafsiran ayat-ayat surah al-Fatihah dan surah al-Baqarah serta surah an-Nisa ditemui pula pendapat-pendapat Rasyid Ridha yang ditandai olehnya dengan menulis kata (أقول) aqulu sebelum menguraikan pendapatnya.   
Tujuan pokok penafsiran al-Qur’an dalam pandangan Muhammad Abduh, ialah menekankan fungsi-fungsi kehidayahan al-Qur’an untuk manusia, agar mereka benar-benar  dapat menjalani kehidupan ini dibawah bimbingan dan petunjuk al-Qur’an.  Penekanan dari  segi hidayah ini ditegaskan kembali oleh Rasyid Ridha, dalam muqaddimah tafsir al-Manar  Ridha mengatakan bahwa Allah SWT telah menurunkan bagi kita kitab suci-Nya sebagai hidayah (petunjuk) dan cahaya terang untuk mengajarkan hikmah dan hukum-hukumnya untuk mensucikan kehidupan dan menjanjikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Kitab Tafsir al-Manar, karya Rasyid Ridha, yang di bagian-bagian awalnya (lima jilid pertama) memuat Tafsir Muhammad Abduh, menggunakan pemikiran pembaharuan yang bisa menggugah kesadaran pembacanya untuk mengkaji al-Qur’an lebih dalam.Tafsir al-Manar ini merupakan satu kumpulan antara shahih ma’tsur dan sharih ma’qul. 

F.     Sumber Penafsiran
Dengan melihat dan mencermati kandungan tafsir al-Manar, bisa dikatakan  bahwa tafsir itu merupakan kolaborasi antara tafsir bi al-matsur/bi al-riwayat dan tafsir bi al-Ra’yi/logika. Dalam penjelasan-penjelasannya, ayat-ayat al-Qur’an menjadi sumber utama dalam penafsirannya. Dan hadits-hadits Nabi yang shahih menurut ilmu-ilmu hadits menjadi sumber berikutnya  dan  semuanya dikaitkan dengan al-Qur’an  sesuai dengan problema yang terjadi di masyarakat. 

G.    Referensi  Penafsiran 
1.      Al-Kasysyaf
2.      Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an
3.      Tafsir Ath-Thabary
4.      Al-Tafsir al-Kabir
5.      Ta’wil Musykil al-Qur’an
6.      Tafsir Al-Alusi
7.      Tafsir Al-Bahr al-Muhith
8.      Tafsir Ibn Katsir
9.      Al-Itqan
10.  Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an
11.  Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul
12.  Asbab an-Nuzul karya al-Wahidi
13.  ‘Ijaz al-Qur’an
14.  Al-Burhan  fi ‘Ulum al-Qur’an

H.    Metode dan Corak
Al-Manar  bisa dikatakan menggunakan metode tahlili karena penafsirannya dimulai dari surat al-Fatihah atau berdasarkan susunan surah-surah yang ada di mushaf, menjelaskan dan menafsirkan ayat perayat, dengan memaparkan makna dan aspek yang terkandung dalam ayat tersebut dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat.
Corak Penafsiran al-Manar: 
a.      Corak al-Adabi Ijtima’i
Sebagaimana diketahui tafsir Muhammad Abduh mempelopori corak al-Adabi Ijtima’I, penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an dan keindahan susunannya dalam penafsiran al-Qur’an itu menurut Muhammad Abduh tiada lain hanya bertujuan untuk menarik jiwa manusia untuk giat beramal serta melaksanakan petunjuk al-Qur’an.
Muhammad Quraish Shihab menyatakan yang dimaksud dengan tafsir bercorak al-adabi al-ijtima’I ialah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi al-Qur’an, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari tujuan diturunkannya al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu memadukan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. 

b.      Corak tafsir al-Hida’i
Yaitu, corak yang dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk menjadikan hidayah atau akhlak al-Qur’an menjadi poros atau sentral dari usaha penafsiran terhadap kitab suci al-Qur’an. Perlu adanya pembinaan akhlak menurut Muhammad Abduh, karena pembinan akhlak melalui pesan al-Qur’an menjadi misi penafsirannya, maka perhatian Muhammad Abduh dalam bidang ilmu pengetahuan juga terlihat dalam tafsirnya.

c.       Corak ilmi
Corak ini terlihat pada upaya Abduh menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan dan hukum  alam yang berlaku dalam masyarakat, kelihatannya  upayanya ini dimaksudkan agar masyarakat lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam al-Qur’an, apabila dalam menafsirkan pesan-pesan itu mufassir menghubungkannya  dengan kejadian-kejadian atau peristiwa yang timbul dalam kehidupan mereka.

I.       Karakteristik tafsir al-Manar
Menurut Syahata, sistematika penulisan tafsir Muhammad Abduh memiliki Sembilan ciri: 
1.      Melihat setiap surat sebagai satu kesatuan ayat yang  serasi
2.      Ayat al-Qur’an bersifat umum.
3.      Al-Qur’an sumber aqidah dan hukum.
4.      Penggunaan secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
5.      Menentang dan memberantas taqlid
6.      Tidak memerinci yang mubham
7.      Selektif dalam memasukan hadits
8.      Kritis terhadap pendapat sahabat dan menolak israiliyyat
9.      Mengaitkan tafsir al-Qur’an dengan kehidupan sosial.

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tafsir al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang menitik beratkan penjelasanayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan manusia kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Pada dasarnya tafsir ini ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi problema-problema umat manusia, karena itu tafsir al-Manar tidak merinci hal-hal yang tidak dapat terjangkau oleh akal, selain itu jkitab tafsir ini memproklamasikan untuk menghidupkan kembali nilai-nila Qur'ani dan memcegah untuk bersikap taklid buta.


DAFTAR PUSTAKA
•         Faizah Ali Syibromalisi, MA dan Jauhar Azizy, “Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern”. Jakarta: LITBANG UIN. 2011
•         Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsi. Bandung: Tafakur. 2011
•         Mani’ Abd Halim Mahmud. “Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir”. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006
•         al-Qattan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an. Kairo: Maktabah Wahdah. 2007
•         Nawawi, Rif’at Syauqi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Jakarta: Paramadina, 2002
•         al-Khalidi, Sholah Abdul Fatah. Ta’rif ad-DarisÎn bi Manahij al-MufassirÎn. Beirut: Dar al-Syamiyah. 2002
•         Shihab, Qurais, rasionalitas Al-Quran. Tangerang: lentera Hati. 2006.
•        ‘Abd Halim Mahmud, Mani’. Metodologi Tafsir, kajian komprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2003.
•    http://rsonedy25.blogspot.com/2013/01/tafsir-al-manar.html


Tidak ada komentar: