Jumat, 03 November 2017

Kaidah-Kaidah Tafsir oleh Derysmono, LC, S.Pd.I, MA

Kaidah-Kaidah Tafsir
Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Ilmu Tafsir


Disusun Oleh :
Derysmono
NIM. 163530026



INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
2017

Abstrak
 Dalam upaya lebih memperdalam suatu ilmu pengetahuan, setiap orang dituntut untuk mengetahui dasar-dasar umum dan kekhasan ilmu pengetahuan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengkaji ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tafsir, diperlukan beberapa hal yang mendasar agar sasaran atau tujuan mempelajari ilmu tersebut tercapai. Diantaranya, harus digunakan kaidah-kaidah yang bertalian dengan keperluan suatu ilmu, khususnya ilmu tafsir. Namun pertanyaannya, Apa yang dimaksud dengan Kaidah Tafsir? Dan bagaimana penjelasan para ulama tentang Kaidah Tafsir?
Kaidah-kaidah tafsir terdiri dari kaidah dan tafsir, secara etimologi kaidah-kaidah  dalam   bahasa  arab disebut   denga   qawa’id  merupakan bentuk jamak dari qa’idah  yang secara etimologi berarti peraturan, undang-undang, dan asas. Sedangkan secara terminologi kaidah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua bagian-bagiannya.
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode Maudhui, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Farmawi, karena metode ini dinilai tepat untuk membahas Kaidah Tafsir.
Mana’ al-Qattan menjelaskan bahwasannya kaidah-kaidah harus diketahui seorang mufasir antara lain: pengetahuan perihal tentang damair, atau penguasaan terhadap kata ganti dengan segala aspek yang meliputinya, pengetahun tentang ma’rifat dan nakirah, pengetahuan tentang mufrad (tunggal) dan jama (banyak), pengetahuan tentang perbandingan jama dengan jama maupun dengan mufrad, pengetahuan tentang istilah-istilah yang semakna atau muradif, dan pengetahuan tentang pernyataan pertanyaan dan jawab, instruksi dengan kalimat isim maupun kalimat fi’il, serta ‘ataf, pengetahuan tentang perbedaan kalimat yang semakna seperti kata ita’ dan i’ta’, serta af’al al-Muqarabah (kalimat-kalimat yang menunjukkan makna dekat)











BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Menurut Ismail Pangeran  , Dalam upaya lebih memperdalam suatu ilmu pengetahuan, setiap orang dituntut untuk mengetahui dasar-dasar umum dan kekhasan ilmu pengetahuan tersebut. Selain itu, ia dituntut pula untuk memiliki pengetahuan yang cukup dan mendalam tentang beberapa ilmu lain yang berkaitan dengannya. Hal ini dimaksudkan agar dalam upaya lebih memperdalam pengetahuan tentang ilmu itu, ia tidak mengalami kesulitan yang menyebabkan pengkajiannya terhadap suatu ilmu tidak mencapai sasarannya. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengkaji ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tafsir, diperlukan beberapa hal yang mendasar agar sasaran atau tujuan mempelajari ilmu tersebut tercapai. Diantaranya, harus digunakan kaidah-kaidah yang bertalian dengan keperluan suatu ilmu, khususnya ilmu tafsir.

Di antara pakar  ulum al-Qur’an yang menyinggung kaidah tafsir adalah: Al-Syuyuti. Al-Syuyuti , secara singkat mengenai kaidah tafsir ia menjelaskan dalam karyanya al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an, bahwasannya seorang mufassir penting mengetahui tentang kaidah yang berhubungan dengan kebahasaan dalam al-Qur‟an seperti: Kaidah tentang damir, seperti mengenal kembalinya d}amir, kaidah tentang muzakkar dan mu’annas ma‟rifat dan nakirah, kaidah lafaz jama‟ dan mufrad, kaidah perdaksian berita dengan fi‟il dan isim.
Selanjutnya Mana’ al-Qattan menjelaskan bahwasannya kaidah-kaidah harus diketahui seorang mufasir antara lain: pengetahuan perihal tentang damair, atau penguasaan terhadap kata ganti dengan segala aspek yang meliputinya, pengetahun tentang ma’rifat dan nakirah, pengetahuan tentang mufrad (tunggal) dan jama (banyak), pengetahuan tentang perbandingan jama dengan jama maupun dengan mufrad, pengetahuan tentang istilah-istilah yang semakna atau muradif, dan pengetahuan tentang pernyataan pertanyaan dan jawab, instruksi dengan kalimat isim maupun kalimat fi’il, serta ‘ataf, pengetahuan tentang perbedaan kalimat yang semakna seperti kata ita’ dan i’ta’, serta af’al al-Muqarabah (kalimat-kalimat yang menunjukkan makna dekat). 
Dari penjelasan-penjelasan di atan menunjukkan pentingnya seseorang dalam memahami Kaidah Tafsir ketika ia ingin mengkaji dan meneliti Tafsir, dan menjelaskan ayat-ayat dengan tafsir yang ada.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Kaidah Tafsir?
2. Bagimana Sejarah Penulisan Kaidah Tafsir?
3. Apa dasar-dasar Kaidah Tafsir?
4. Apa Macam-Macam Kaidah Tafsir?

BAB II
Pembahasan
A. Pengertian  Kaidah Tafsir

Kaidah-kaidah tafsir terdiri dari kaidah dan tafsir, secara etimologi kaidah-kaidah  dalam   bahasa  arab disebut   denga   qawa’id  merupakan bentuk jamak dari qa’idah  yang secara etimologi berarti peraturan, undang-undang, dan asas. Sedangkan secara terminologi kaidah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua bagian-bagiannya.
Adapun Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “Taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r)  yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu” dan “nasara-yansuru”. Dikatakan; fasara  (As-Syai’a) yafsiru” dan Yafsuru, fasran” dan “fassarahu”, artinya abanahu (menjelaskan). Kata at-Tafsir dan al-Fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. 
Adapun Tafsir menurut Istilah, sebagaimana yang didefenisikan Abu Hayyan ialah “ilmu yang membahas tentang cara pengungkapan lafaz-lafaz Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
M. Quraish Shihab mendefinisikan kaidah tafsir sebagai ketetapan-ketetapan yang berfungsi membantu seorang penafsir untuk menarik pesan/ makna al-Qur‟an.
Dengan berdasarkan penjelasan di atas kaidah-kaidah tafsir atau qawa’id tafsir adalah sebuah undang-undang yang disusun oleh ulama dengan kajian yang mendalam untuk digunakan memahami makna-makna al-Qur‟an, hukum-hukum serta petunjuk-petunjuk di dalamnya.
Bagi  para  penafsir  al-Qur’an.  Penguasaan  terhadapnya  tentu  mutlak  untuk diketahui. Di antara para mufasir yang konsen dan telah mewujudkan tafsirdengan kaidah tafsirnya, adalah M. Quraish Shihab.

B. Sejarah Penulisan Kaidah Tafsir

Para pakar al-Qur’an sejak dahulu memberi perhatian menyangkut apa yang kemudian dinamai kaidah-kaidah tafsir, bahkan lahirnya aneka disiplin ilmu agama pada hakikatnnya dipicu oleh dorongan memahami ayat-ayat al-Qur’an. Akar ilmu ini sudah muncul sejak zaman Nabi, lalu dilanjutkan oleh para imam-imam dalam bidang tafsir baik dari generasi sahabat, tabi’in dan selanjutnya. Pada abad kedua muncul benih-benih kaidah tafsir, yaitu munculnya kitab al-Risalah karya al-Syafi’i, karya ini merupakan benih munculnya ilmu ushul fiqh dan ushul tafsir, karena didalamnya dibahas tentang kitab dan sunnah, tingkatan bayan, naskh mansukh, ‘am dan khas, mujmal mufassal, amr nahi, Imam Juwaini berkata dalam syarh al-Risalah bahwa al-Syafi’i merupakan orang pertama yang mengarang dalam bidang ushul.
Pada abad ketiga dan keempat meluaslah kodifikasi kaidah tafsir dari kitab tafsir dan ushul, muncul kitab Ta’wil Musykil al-Quran karya Ibnu Qutaibah, Jami’al-Bayan karya Imam at-Thabari, Ahkam al-Quran karya al-Thahawi dan juga al-Jashash, al-Shahibiy karya Ibnu faris. Pada abad ketujuh muncul karangan dalam bidang tafsir dan ushul seprti al-Ihkam karya Ibnu Hazm, Muharrar Wajiz karya Ibnu ‘Athiyah, al-Burhan karya Juwaini, al-Mustashfa karya al-Ghazali. Pada abad ketujuh dan delapan muncul karya Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu al-Jauzi, Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir.
Dalam penulisan kitab-kitab tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an sementara ulama’ masa lampau menguraikan kaidah-kaidah tafsir. Antara lain Badruddin Muhammad bin Abdillah az-Zarkasyi (w. 794 H/1392 M) dalam kitabnya al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthy (w. 911 H/1505 M) dalam al-Itqan.
Namun demikian, penulisan kaidah-kaidah itu secara berdiri sendiri baru dikenal jauh setelah generasi umat yang pertama. Ahmad bin Abdul Halim yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Taimiyyah (w. 728 H/1328 M) dapat dicatat sebagai salah seorang perintis penulisan kitab kaidah tafsir secara berdiri sendiri. Tokoh ini menulis buku yang berjudul Qawaid al-Tafsir yang tidak sampai di tangan kita, ada lagi yang berjudul Muqaddimat Ushul at-Tafsir. Didalamnya Ibnu Taimiyyah mengemukakan persoalan yang dapat dinilai sebagai kaidah, seperti sifat perbedaan ulama’ masa lampau, cara penafsiran terbaik, persoalan sabab nuzul, Israiliyyat, dan sebagainya. Setelah Ibnu Taimiyyah menyusul al-Manhaj al-Qawim Qawaid Tata’allaqu bi al-Quran al-‘Adhim karya Muhammad bin Abdurrahman al-Hanafi (w. 777 H), Qawaid al-Tafsir karya Ibnu al-Wazir al-Yamani (w.840) lalu karya Muhammad bin Sulaiman al-Kafiji (w.879 H), yang menulis at- Taisir fi Qawaid Ilm at-Tafsir.
Penulisan kaidah secara berdiri sendiri seakan-akan sejak itu mandek dan baru mulai segar kembali akhir-akhir ini. Buku-buku yang relatif baru dalam bidang ini, antara lain Ushul at-Tafsir wa Qawaiduhu karya Syaikh Khalid Abdurrahman al-‘Ak. Qawaid at-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin karya Husain bin Ali bin Husain al-Harbi. Qawaid at-Tafsir Jam’an wa Dirasatan karya Khalid bin Utsman as-Sabt. Qawaid al Hisan li Tafsir al-Quran karya Syaikh Abdurrahman as-Sa’di kitab ini memaparkan tujuh puluh masalah yang dinamakan kaidah. Qawaid at-tafsir baina al-Syi’ah wa al-Sunnah karya Muhammad Fakir al-Muyabdi. Qawaid al-Tadabbur al-Amsal li Kitabillah karya Abdurrahman al-Maidani, Qawaid wa Fawaid li Fiqhi Kitabillah karya Abdurrahman bin Muhammad al-Ju’i.

C. Dasar-dasar Tafsir
Dasar-Dasar  kaidah tafsir pun berenaka ragam, Alfatih Suryadilaga dalam buku Metodologi Ilmu Tafsir  ia menyebutkan bahwasannya macam-macam dasar kaidah tafsir meliputi:

1. Kaidah Qur’aniyyah yang mana kaidah ini didefinisikan sebagai penafsiran al-Qur‟an yang diambil oleh ulum al-Qur’an dari al- Qur‟an.  Hal  yang  mendasari  pengambilan  kaidah  Qur’aniyyah  ini  berdasarkan penejelasan al-Qur‟an sendiri bahwasannya yang mengetahui makna al-Qur‟an hanyalah Allah.
2. Kaidah sunah, hal ini didasarkan bahwasannya Nabi Muhammad saw. datang dengan untuk menjelaskan kandungan firman Allah yang termaktub di dalam al-Qur‟an.
3. Kaidah bahasa, kaidah ini didasarkan pada bahasa al-Qur‟an sendiri dengan bahasa Arab yang tenatunya penguasaan atas bahasa guna mengetahui kandungan isi al-Qur‟an menjadi sebuah keniscayaan.
4. Kaidah Usul al-Fiqh
5. Kaidah ilmu pengetahuan

Adapun pembagian dasar-dasar kaidah tafsir meenurut M. Quraish Shihab ada tiga,  antara lain:
1. Kaidah yang bersumber dari disiplin ilmu tertentu seperti Ilmu Bahasa dan Usul al-Fiqh. M. Quraish Shihab menjelaskan contoh kaidah yang ditarik dari Ilmu Bahasa misalkan, tentang fungsi-fungsi huruf wauw dan perbedaannya dengan s|umma dan fa‟. Demikian juga makna-makna yang dikandung oleh setiap kata, atau bentuk kata itu seperti kala kini/mendatang (mudari’) kala lalu (madi) atau perbedaan kandungan makna antara kalimat yang berbentuk kata kerja dengan kata benda.
2. Kaidah-kaidah yang khusus dibutuhkan oleh penafsir sebelum melangkah masuk ke dalam penafsiran. M. Quraish Shihab juga menjelaskan dasar kaidah ini dari pengamatan terhadap kesalahan-kesalahan sementara penafsir atau dari kesadaran tentang perlunya mengikat diri agar tidak terjerumus dalam kesalahan.
3. Kaidah-kaidah yang ditarik dari dan bersumber langsung dari pengamatan terhadap al-Qur’an, baik itu sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin ilmu lain maupun tidak.
Penulis menilai kedua pendapat di atas esensinya hampir sama, hanya saja berbeda dalam prioritas.



C. Macam-Macam Kaidah Tafsir
Untuk menerjuni sesuatu ilmu apa pun seseorang perlu mengetahui dasar-dasar umum dan ciri-ciri khasnya. Ia terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu tersebut dan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang yang diperlukan dalam kadar yang dapat membantunya mencapai tingkat ahli dalam disiplin ilmu tersebut, sehingga di saat memasuki detail permasalahan ia telah memiliki dengan lengkap kunci pembahasannya. Oleh karena Al-Qur’an Al-Karim diturunkan dalam bahasa arab yang jelas “sesungguhnya kami\ menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan  bahasa Ara yang jelas. Agar kamu memahaminya.  (QS. Yusuf [12]; 2). Maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir dalam memahami Al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman asas-asasnya. Penghayatan uslub-uslubnya. 
Menurut Manna Qattan, ada beberapa kaidah setidaknya ada 16 yang didapatkan oleh penulis, namun hanya akan disebutkan 5 saja. 
1. Dhamir (Kata Ganti)
Dhamir mempunyai kaidah kaidah kebahsaaan tersendiri yang disimpulkan oleh ahli bahasa dari Al-Qur’an Al-karim, sumber-sumber asli bahasa arab, hadist Nabawi dan perkataan-perkataan orang arab dapat dijadikan hujjah (pedoman), baik yang berupa puisi maupun prosa. Ibnu anbari  telah menyusun  sebuah kitab terdiri dari 12 Jilid Khusus membahas Dhamir-dhamir.
Pada dasarnya, dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan; ia berfungsi untuk menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Sebagai contoh, dhomir “hum” pada ayat:
أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمٗا
Telah menggantikan dua puluh kata, jika kata-kata itu diungkapkan bukan dalam bentuk dhamir, yaitu kata-kata yang terdapat pada permulaan ayat:
إِنَّ ٱلۡمُسۡلِمِينَ وَٱلۡمُسۡلِمَٰتِ وَٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡقَٰنِتِينَ وَٱلۡقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلۡخَٰشِعِينَ وَٱلۡخَٰشِعَٰتِ وَٱلۡمُتَصَدِّقِينَ وَٱلۡمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلۡحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمۡ وَٱلۡحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةٗ وَأَجۡرًا عَظِيمٗا ٣٥
Setiap Dhamir gaib (kata ganti orang pertama) memerlukan tempat kembali atau penjelas, yaitu kata-kata yang digantikan, dan menurut kaidah bahasa tempat kembali itu harus mendahuluinya. Ahli Nahwu memberikan alasan bagi ketentuan ini, bahwa dhamir mutakallim (orang pertama) dan damir mukhatab (orang kedua) telah dapat diketahui maksudnya secara jelas melalui keadaan yang melingkupinya, tidak demikian halnya dengan damir ghaib. Karena itu menurut kaidah ini tempat kembali dhamir tersebut harus mendahuluinya agar apa yang dimaksud dengannya dapat diketahui lebih dahulu. Itulah sebabnya para ahli nahwu menetapkan, “dhamir ghaib” tidak boleh kembali pada lafaz yang terkemudian dalam pengucapan dan kedudukannya. Dari kaidah ini dikecualikan beberapa hal yang di dalamnya dhamir kembali kepada tempat kembali yang tidak disebutkan karena apa yang dimaksudkannya telah ditunjukkan oleh sebuah qarinah (indikasi) yang ada pada lafaz yang mendahuluinya atau oleh keadaan lain yang melingkupi suasana pembicaraan.
2. Ta’rif dan Tankir
a. Penggunaan Isim nakirah  mempunyai beberapa fungsi, di antaranya, pertama; untuk menunjukkan satu, kedua; untuk menunjukkan macam, ketiga; untuk menunjukkan macam dan satu sekaligus, keempat; untuk membesarkan (memulaiakan) keadaan, kelima: untuk menunjukkan arti yang banyak, keenam; untuk membesarkan  dan menunjukkan gabungan (gabungan keempat dan kelima), ketujuh; untuk meremehkan, kedelapan; untuk menyatakan sedikit.
b. Penggunaan Ism Ma’rifah mempunya beberapa fungsi untuk; pertama: ta’rif dengan ism domir karena keadaan menghendaki demikian, kedua; ta’rif dengan ‘alamiyyah (nama) ketiga; ta’rif dengan isyarah. Keempat; ta’rif dengan isim maushul, kelima; ta’rif dengan alif lam.
4. Pengulangan kata benda (Isim)
Apabila sebuah isim disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan; kedua-duanya ma’rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah dan kedua nakirah.
5. Mufrad dan jamak
Sebagian lafaz dalam Al-Qur’an dimufadkan untuk sesuatu makna tertentu dan dijamakkan untuk sesuatu isyarat khusus, lebih diutamakan jamak dari mufrad atau sebaliknya. Oleh kerena itu dalam Al-Qur’an sering dijumpai sebagai lafaz yang hanya dalam bentuk jamaknya dan ketika diperlukan bentuk mufradnya maka yang digunakan adalah sinonim (muradif)nya. Misalnya kata “al-lubb” yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, albab, seperti terdapat pada (QS. az-zumar [39]: 21). Kata ini tidak pernah disebutkan dalam kata mufradnya, namun muradifnya disebutkan, yaitu “al-qalbu”. 
 
Sedangkan ada beberapa kaidah dari M. Quraisy Shihab, setidaknya penulis sebutkan 5 dari 14 kaidah;
1. Kalam (Pembicaraan/Ucapan), dalam Tatabahasa Arab dan Tinjauan Sastra Arab
Istilah kala>m menurut tata bahasa Arab secara jelas dipaparkan oleh M. Quraish Shihab dengan mengacu terhadap rumusan pakar bahasa Arab. Para pakar menjelaskan bahwasannya pengertian kala>m merupakan lafaz}-lafaz} yang tersusun dan memiliki makna. Ketentuan tersusunnya kala>m sehingga memiliki makna tertentu pun minimal disusun dengan dua kata. Ada tiga unsur pembentuk kala>m, yaitu; isim , fi’il , dan h}arf . Ketiganya secara ringkas diuraikan dan dijelaskan oleh M. Quraish Shihab dengan menguraikan ketiganya.
Bagian pertama kaidah tafsir M. Quraish Shihab, adalah pembahasan tentang aspek kebahasaan al-Qur‟an dengan menguraikan ucapan di dalam bahasa Arab yang disebut dengan kala>m (pembicaraan/ucapan). Dalam pembahasan kala>m ini ditinjau dari dua tinjauan yaitu kala>m dari sisi tinjauan tatabahasa Arab dan sastra Arab.
Sebagai kitab suci dengan bahasa Arab (al-Qur‟an) tentunya, pengetahuan tata bahasa dan ungkapan pemaknaan terhadapnya tentu menjadi sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk sampai terhadap makna, tentunya tidak bisa terlepas dari pengetahuan tentang bahasa itu sendiri.
Dalam pembahasan ini M. Quraish Shihab menjelaskan bahwasannya pada dasarnya al-Qur‟an adalah kala>m Allah. Pada hakikatnya kala>m Allah tidak dapat diketahui karena kala>m-Nya adalah sifat z}atnya yang mustahil untuk diketahui oleh makhluknya, tetapi berlandasakan ayat ke tiga surat al-Zuhkhruf, M. Quraish Shihab, dalam konteks penafsiran al-Qur‟an masalah kala>m dapat dijangkau karena menggunakan bahasa Arab.
Dalam menguraikan kalimat isim M. Quraish Shihab menjelaskan macam-macam bentuknya, bilangannya, sifatnya, asal-usulnya, akhir katanya. Dari sisi macamnya isim ada dua bentuk, yaitu: Muzakkar /maskulin dan muannas/feminim, keduanya memiliki pengganti yang ditunjuk dengan jenisnya, masing-masing. Akantetapi ketentuan demikian tidak selamanya, karena dalam al-Qur’an ditemukan kata secara majazi berbentuk feminim namun ia ditunjuk sebagai bentuk maskulin. Dalam segi bilangannya M. Quraish Shihab membagi isim menjadi bentuk jamak, dual dan tunggal. Jamak pun juga bermacam-macam, ada jamak yang menunjuk maskulin dan ada juga yang menunjuk feminim. Ada jamak yang berubah bentuk dasarnya dan ada yang tidak. Dalam segi sifatnya isim dibagi menjadi dua yaitu ma’rifat dan nakirah, ma’rifat diartikan sebagai sebagai nama yang menunjuk kepada sesuatu yang diketahui/tertentu, seperti kata Muhammad,  sedangkan  Nakirah  adalah  lawannya,  seperti  kata  ta’ir (burung), tilmizd (murid).
2. Ta’wil 
Kaidah  tafsir  M.  Quraish  Shihab  berikutnya  adalah  membahas tentang masalah ta’wi>l52 ( . Ta’wi>l menurut M. Quraish Shihab Dengan istilah lain bahwasannya ta’wi>l adalah mengalihkan makna kata/kalimat ke arah makna yang dikenal secara umum. Dalam pendeteksian M. Quraish Shihab proses pen-ta’wi>l-an (pengembalian makna), ada dua tahapan. Pertama, pengembalian makna ke dalam benak untuk mengetahui makna yang populer. Kedua, yaitu makna yang tergambar di dalam benak itu dikembalikan kepada makna yang lain, sehingga lahir makna baru atau makna yang kedua yang lahir dari makna yang pertama. M. Quraish Shihab mencontohkan sebagaimana kalimat
“Dia duduk di kursi basah”, maka yang tergambar dalam benak adalah keberadaan seseorang tertentu yang berada di atas tempat duduk yang terkena air, namun karena ada hal yang menghalangi pengertian itu, maka makna dikembalikan pada makna kalimat di atas yang lebih jauh, yaitu dengan memahaminya sebagai “seseorang yang berada dalam jabatan yang menyenangkan”.
Dalam masalah ta’wi>l ini, M. Quraish Shihab, menjelaskan bahwasannya ta’wi>l telah dikenal oleh para sahabat Nabi saw., namun dalam praktik pen-ta’wi>l-an terhadap ayat-ayat al-Qur‟an bermula setelah abad ke-3 hijriyyah oleh para ulama atau kelompok yang berusaha melakukan pemurnian dari segala hal yang baru. 
M. Quraish Shihab kembali mengulas bahwasannya suatu ayat al- Qur‟an,  maknanya  bisa  kabur kendati  sudah  jelas makna  kosakatanya.
Lalu kendati telah diusahakan menemukan makna tanpa pen-ta’wi>l-an makna pesannya tetap tidak jelas bahkan bertentangan dengan akidah/kepercayaan maupun logika yang lurus, maka demikian M. Quraish Shihab memberikan dua solusi/jalan yang dengan keduannya menjadi sebuah keniscayaan bagi penyelesaian pada masalah di atas. Dua jalan tersebut adalah:
a. Men-ta’wi>l-kannya kalau tidak penafsir akan mengalami kekeliruan dengan memberi makna bagi lafaz}/susunan kata berlebih atau berkurang, bahkan akan menyimpang dari makna yang sebenarnya, atau memakai jalan yang kedua,
b.  Dengan tidak membahasnya sambil berucap; Allah a‟lam bimura>dihi (Allah maha mengetahui apa maksudnya), sebagaimana jawaban Imam Ma>lik Bin Anas (93-197 H) ketika ditanya makna firman Allah, dalam QS. T}a>ha> [20]; 5, beliaumenjawab bahhawasannya pengertian kebahasaan kata demi kata dalam ayat di atas telah jelas namun pertanyaan demikin menurut Imam Ma>lik Bin Anas pertanyaan demikian merupakan bid’ah.
Dalam pandangan M. Quraish Shihab ta’wi>l terdiri dari empat unsur, yaitu: 1). Nash/ teks dengan makna syar‟iyyah-nya, 2). Maqa>shid syari>’ah yang terkandung pada nas}, 3). Kodisi yang dibicarakan oleh nas}, 4). Wawasan luas pen-ta’wi>l, tentu saja wawasan ini bukan yang dimaksudkan sebagai kebebasan berfikir tanpa rambu-rambu atau batas. Batas ini pun bukan hanya batas bahasa namun lebih mengarah pada pemahaman terhadap maqa>s}id syari>’ah dan salah satu kaidah oleh M. Quraish Shihab dalam konteks ta’wi>l ini berisikan “setiap hasil pen-ta’wi>l
yang bertentangan dengan maqa>s}id syari>’ah tidak dapat diterima‛.

3. Muhkam dan Mutasyabih
Pembahasan kaidah tafsir M. Quraish Shihab berikutnya adalah berkenaan dengan muh}kam dan mutasya>bih, ia mendefinisikan bahwasannya kata muh}kam  terambil dari kata h}akama yang kisaran maknannya adalah “menghalangi”, sebagaimana hukum yang berfungsi menghalangi terjadinya penganiyaan, demikian pula hakim.
Muh}kam adalah sesuatu yang terhalangi/ bebas dari keburukan, jika kata ini digunakan menyifati katakanlah bangunan maka akan menjadi kokoh dan indah. Bila pada ayat al-Qur‟an tampil dengan indah, benar, baik, dan jelas maknannya, maka ayat tersebut pun dilukiskan oleh M. Quraish Shihab sebagai sesuatu yang tercakup dalam pengertian istilah muh}kam.
Tampilan seluruh ayat al-Qur‟an dengan berdasar (QS. Hu>d [11]:
(1 bersifat muh}kam, ini digambarkan Allah dengan: “Kitab yang ayat-ayatnya diperjelas. Terbebaskan dari kesalahan dan serta tersusun rapi tanpa cacat” (QS. Hud [11]: 1) Allah juga memperkenalkan al-Qur‟an sebagai: “Kitab yang mutasya>bih” (QS. al-Zumar [39]: 23)  Yang dimaksud dengan ayat al-Zumar di atas ialah ayat-ayat al-Qur‟an yang keindahan dan ketetapan susunan redaksinya serta kebenaran redaksinya serupa. Dalam ayat lain Allah  juga menggambarkan  muh}kam dan  mutasya>bih dengan: “Dialah yang menurunkan kepadamu (wahai Nabi Muhammad) al-kitab; ada di antara (ayat-ayat)-nya yang muh}kamat, itulah induk al-kitab dan ada juga selain itu yang mutasya>biha>t” (QS. Ali Imran [3]: 7).
M. Quraish   Shihab   mejelaskan   yang   dimaksud   dengan mutasya>bihat pada ayat dari surat „Ali> Imra>n ini adalah samar dan ini juga merupakan pengembangan dari makna keserupaan di atas. Pada dasarnya keserupaan pada dua hal dapat menimbulkan kesamaran dalam membedakannya masing-masing.

4. Majaz
Kaidah tafsir M. Quraish Shihab selanjutnya adalah tentang maja>z. Maja>z merupakan salah satu bahasan dalam „Ilmu al-Baya>n, yang mana upaya dalam memahami al-Qur‟an tidak dapat begitu saja mengabaikan bahasa ini, karena banyak kata dan susunannya yang dinilai maja>z.
M. Quraish Shihab medefinisakan maja>z dengan menganalogikan kata maja>z dengan kata taja>waza yang mana akar kata keduanya sama, yang dapat diartikan dengan melampaui batas. Sedang maja>z dimaknai dengan tempat untuk berpindah dari satu daerah ke daerah lain. seseorang akan menyadari tentang pentingnya ilmu ini untuk dipahami, guna menarik makna dan pesan-pesan dalam al-Qur‟an. 



5. Usul Fiqh
M. Quraish Shihab membahas dalam masalah pokok Ilmu Us}u>l al-Fiqh dengan menjelaskan beberapa masalah yang telah dirumuskan oleh ulama pakar-pakar us}u>l al-fiqh sebagai jembatan menafsirkan al-Qur‟an.
Pembahasan tersebut antara lain:
a. Qat}’i> dan Z}anni
M.Quraish Shihab menjelaskan bahwasannya qat}’i> dan z}anni>  merupakan salah satu masalah pokok yang dibahas dalam ilmu us}u>l al-fiqh, lebih-lebih masalah tentang hukum-hukum syari‟at. Terlebih hukum-hukum syari‟at secara umum.
b.Mant}u>q  dan Mafhu>m
M.Quraish Shihab menjelaskan bahwasannya, mant}u>q\ terambil  dari  kata  nat}aqa  yaitu  berucap,  mant}u>q adalah makna yang dikandung oleh kata yang terucapkan. Sedang mafhu>m  terambil dari kata fahima, yakni memahami. Mafhu>m adalah makna yang tidak terucapkan yang terdapat pada lafaz} dan ini dapat difahami dari mant}u>q. Dalam kata lain bahwasannya makna pada mant}u>q terucapkan sehingga tidak memerlukan sesuatu selain mendengarkan lafaz}nya untuk memahaminya, sedang mafhu>m makna yang ditarik tidak diucapkan, akan tetapi ditarik dari satu dan berlainan sebab.


c. ‘A>m dan Kha>s} 
Dalam pandangan M. Quraish Shihab, lafaz}-lafaz} setiap bahasa mengandung banyak satuan atau yang disebut dengan ‘a>m  dan ada yang terbatas yang disebut dengan kha>s}.‘A>m menurut bahasa menyeluruh sedang secara istilah menurut M. Quraish Shihab yang dimaksud ‘a>m adalah lafaz} yang mencakup segala sesuatu yang dikandung wadahnya tanpa kecuali. Ini dapat diartikan lafaz} tersebut memiliki pengertian saja, kendati ia mengandung beberapa satuan. Oleh karena itu, hukum yang ditarik dari lafaz} itu, berlaku untuk satuannya.
Keberadaan lafaz} yang umum dan khusus pun juga terdapat di dalam al-Qur‟an, meski demikian, dapat juga lafaz} berbentuk ‘a>m, tetapi ketercakupan seluruh bagiannya dibatasi oleh satu dan oleh hal yang lain. Oleh karena itu dalam membahas ‘a>m dengan lebih detail M. Quraish Shihab merujuk pada para pakar dengan membaginya menjadi tiga kategori.
Pertama, al-‘A>m al-Istighra>qi>, yaitu lafaz} yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa terkecuali, sehingga semua disentuh olehnya. Misalkan, ketentuan tentang kewajiban wanita yang bercerai untuk melaksanakan masa iddah (masa tunggu) selama tiga quru>’ (suci haid). Ketentuan ini brelaku untuk segala bentuk perceraian kecuali jika ada petunjuk lain yang mengecualikan salah satu dari bentuknya.
Kedua, al-‘A>m al-Majmu>’i>, yaitu lafaz} yang tidak mencakup keseluruh bagian-bagiannya satu persatu, namun hanya secara umum saja. Misalkan, kewajiban untuk mempercayai nabi-nabi utusan Allah. Jumlah mereka banyak, namun dua puluh lima nabi-nabi yang telah disebut di dalam al-Qur‟an sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang jumlahnya sangat banyak lainnya.
Katiga, al-‘A>m al-Badali>, yaitu lafaz} „a>m yang diwakili oleh seseorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafaz} itu. Misalkan, perintah untuk memberi nafkah fakir miskin. Meski hanya memberi siapa pun yang berstatus fakir miskin, sudah cukup, karena memang lafaz} umum yang dimaksud di sini adalah al-‘A>m al-Badali.
1) Kata Kullu atau Jami>’ semua dan semakna dengannya, seperti dalam QS. al-T}u>r [52]: 21; “Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakan”  dan “Dia Allah menciptakan buat kamu apa yang terbentang di bumi semuannya” (QS. al-Baqarah [2]: 29)
2) Isim yang  bentuknya  Jama‟  dan  menggunakan  “al”  al-Jins, seperti dalam kata al-Mu‟min dalam firman-Nya QS. al-Mu’minu>n [23]: 1;)“Telah beruntung orang-orang Mu‟min”.
3) Bentuk tunggal yang menggunakan “Al” al-Istighra>q (yaitu  yang menunjuk kepada ketercakupan semua bagiannya, seperti kata al-Bai‟ dan kata al-Riba> seperti pada QS. al-Baqarah [2]: 275; “Allah menghlalkan jual beli dan mengharamkan riba”
4) Bentuk Nakirah dalam konteks larangan, seperti dalam QS. al-Taubah [9]: 84; \ “Janganlah engkau shalat (jenazah) terhadap salah seorang pun yang meninggal dari mereka”. Kata  ahad berbentuk  nakirah,  sedang sebelumnya  ada larangan la> tus}alli
5) Asma> al-Maus}u>l, yaitu ma>  dan man  al-Lad|i>na seperti dalam firman-Nya QS. al-Nisa>’ [4]: 24;“…dan dihalalkan untuk kamu apa selain itu” kata  di situ termasuk Asma> al-Maus}u>l.
6) Asma> al-Syart} seperti dalam QS. al-Baqarah [2]: 185; “Karena barangsiapa di anatara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya di) bulan (itu), maka hendaklah dia berpuasa”. Man  di situ adalah salah satu asma> al-Syart.}
7) Asma> al-Istifha>m seperti dalam QS. al-H>}adi>d [57]: 11; ‚Siapakah yang mau meminjam kepada Allah pinjaman yang baik” 8)Jama‟  yang  menjadi  ma‟rifat  karena  id}a>fah  seperti  kata ummaha>tukum   dalam QS. al-Nisa>’ [4]: 23






















Bab III
KESIMPULAN

Kaidah-kaidah tafsir terdiri dari kaidah dan tafsir, secara etimologi kaidah-kaidah  dalam   bahasa  arab disebut   denga   qawa’id  merupakan bentuk jamak dari qa’idah  yang secara etimologi berarti peraturan, undang-undang, dan asas. Sedangkan secara terminologi kaidah didefinisikan dengan undang-undang, sumber, dasar yang digunakan secara umum yang mencakup semua bagian-bagiannya.
Adapun Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “Taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r)  yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu” dan “nasara-yansuru”. Dikatakan; fasara  (As-Syai’a) yafsiru” dan Yafsuru, fasran” dan “fassarahu”, artinya abanahu (menjelaskan). Kata at-Tafsir dan al-Fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup.
Adapun Tafsir menurut Istilah, sebagaimana yang didefenisikan Abu Hayyan ialah “ilmu yang membahas tentang cara pengungkapan lafaz-lafaz Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
Mana’ al-Qattan menjelaskan bahwasannya kaidah-kaidah harus diketahui seorang mufasir antara lain: pengetahuan perihal tentang damair, atau penguasaan terhadap kata ganti dengan segala aspek yang meliputinya, pengetahun tentang ma’rifat dan nakirah, pengetahuan tentang mufrad (tunggal) dan jama (banyak), pengetahuan tentang perbandingan jama dengan jama maupun dengan mufrad, pengetahuan tentang istilah-istilah yang semakna atau muradif, dan pengetahuan tentang pernyataan pertanyaan dan jawab, instruksi dengan kalimat isim maupun kalimat fi’il, serta ‘ataf, pengetahuan tentang perbedaan kalimat yang semakna seperti kata ita’ dan i’ta’, serta af’al al-Muqarabah (kalimat-kalimat yang menunjukkan makna dekat)



















DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Ak, Khalid Abdurrahman, Ushul Tafsir wa Qawaiduhu, (Damaskus: Dar an-Naghais, T.TP)
Al-‘Atar, Hasan, Hasyiyat al-Atar ‘Ala Jam’i al-Jawami’, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999)
Abdurrahman, Fahr, Usul al-Tafsir Wa Manahijuh, (Riyad}: Maktabah al-Taubah, 1998)
Abdurrahman, Khalid, Usul al-Tafsir Wa Qawa’iduh, (Bairut: Dar al-Nafais, 1986)
Harbi, Husain bin ‘Ali bin Husain, Qawa’id al-Tarjiih ‘Inda al-Mufassirin, (Riyad Dar al-Qasam, 1997)
Hidayat, Rachmat Taufiq, Khazanah Istilah al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1995)
Al-Jurjani, ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali, al-Ta’rifat, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, t.th)
Ma’luf, Louis, al-Munjid Fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986)
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir: Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
Al-Muqbil, ‘Umar Bin Abdillah, QawaI’d al-Qur'aniyyah, (Riyad: al-Mamlakah al-'Arabiyyah al-Su’udiyyah, 2012) 
Pangeran, Ismail, Beberapa Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, Jurnal Hunafa Vol. 4, No. 2, Juni  2007: 281-290, 
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011) 
Ar-Razi, Al-Fakh, Al-Mahshul, (Bairut; Darul Kutub Ilmiyyah, 1988) Hal. 355
Al-Sabt, Khalid bin Usman, Qawaid Tafsir Jam’an wa Dirasatan vol I, (Madinah: Dar Ibnu Affan, T.TP)
Shalih, Dr. Subhi, membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus,  2011)
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013) 
Shihab, M. Quraish, Mu’jizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2014)
Shihab, M. Quraish, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007)
Sulaiman, Musa’id, Fusul Fi Usul al-Tafsir, (t.tp: Dar Ibn al-Jauzi, t.th)
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras. 2005) 
As-Syuyuti, Jalaluddin, al-Itqan Fu ‘Ulum al-Qur’an, Vol. I, (Bairut: Dar al-Fikr, 2010)
Al-Qarafi, Syihabuddin, Al-A’qdu Al-Manzhum fiil Khusus wal Umum, (Bairut; Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2001), Hal. 28

Tidak ada komentar: