Jumat, 03 November 2017

Muthlaq dan Muqayyad Oleh Derysmono, Lc, S.Pd.I, MA

Muthlaq dan Muqayyad
Makalah ini ditulis untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah U’lumul Qur’an


Disusun Oleh
Derysmono
NIM. 163530026


INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
2017



Abstrak
Menurut Adilah Ali Khalil Sesungguhnya terdapat banyak sekali ditemukan lafaz muthlaq dan muqayyad di dalam al-Qur'an al-Karim, itu sebabnya dibutuhkan seuatu pengetahuan khusus agar dapat memahami lafaz-lafaz tersebut. karena satu sama lain saling berkaitan, baik dari aspek sebab maupun hukum.  dan hal tersebut sangat mempengaruhi proses dalam pengambilan suatu hukum atau istinbath ahkam terutama oleh para imam mazhab.
Dalam makalah ini setidaknya ada beberapa pertanyaan yang akan dijawab yaitu;  Apa yang dimaksud dengan Muthlaq dan Muqayyad? Apa karakteristik Muthlaq dan Muqayyad? Apa perbedaan antara Muthlaq dan A’am dan antara Muqayyad dan Khash? Apa macam-macam Muthlaq dan Muqayyad? Apa syarat dalam menerapkan kaidah Muthlaq dan Muqayyad? 
Menurut Manna Al-Qaththan Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat (dalam suatu kelompok) tanpa suatu qayid (pembatas), hanya menunjukkan suatu dzat tanpa ditentukan (yang mana) dari (kelompok) tersebut. Sedangkan muqayad adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayid, ada juga definisi atau pengertian lainnya yang berdekatan misalnya adalah:Imam Ibn Hazm memberikan definisi mutlaq adalah Ungkapan pentang nakirah dalam kontek kalimat yang positif. Muhammad Khudhari Beik yang mendefinisikan Mutlaq adalah lafazh yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafzhi. Al-amidi memberi definisi bahwa mutlaq adalah lafazh yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya. Sedangkan Abu Zahrah mengartikan mutlaq sebagai lafazh yang memberi petunjuk terhadap madhu‟nya (sasaran penggunaan lafazh) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Kaitannya dengan Muthlaq, Aam, Muqayyad dan Khas dan perbedaan masing-masing, Ada dua pandangan; Jumhur Ulama menganggap bahwa muthlaq adalah bagian dari A'am, dilihat dari keumuman individunnya dan sifat-sifatnya, adapun ulama al-hanafiyyah menjadikannya bagian dari khas, karena menurut mereka lafaz muthlaq menunjukkan kepada kesatuan. dan di antara aam dan khas saling menafikan, karena tidak mungkin dalam satu lafaz dapat menjadi aam dan khas dalam satu waktu, dan barang siapa yang mengucapkan suatu lafaz muthlaq dengan cara "isytirak" digabungkan. maka terkadang maksudnya adalah umum terkadang maksudnya khusus, tergantung qarinahnya.
Setidaknya ada dua macam muthlaq dan muqayyad, yang pertama muthlaq dan muqayyad berdasarkan sebab dan hukum yang disepakati oleh ulama akan kebolehanya dan yang kedua muthlaq dan muqayyad berdasarkan sumber pada macam yang kedua ini ada perbedaan ulama apakah ini boleh atau tidak.
Kaidah umum pada pembahasan ini ialah Nas yang mutlaq hendaknya tetap dipegang sesuai dengan sifat ke-mutlaq-kannya selama tidak ada dalil yang membatasinya, begitu juga dengan muqayyad. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan hukum tersebut.
Ada dua pendapat kaitannya dengan syarat menerapkan kaidah muthlaq dan muqayyad. Pendapat pertama oleh Imam As-Syafi’i dan kedua adalah Al-Hanafiyyah.
Dalam pembahasan ini metodologi penelitian yang digunakan adalah Tematik Analisis sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Farmawi, sehingga solusi yang diharapkan dari penelitian ini lebih relevan dan tepat sasaran.




















Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Al-Qur’an Al-Karim merupakan Mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad Shalallahu A’laihi Wa Sallam untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.  Menurut Adilah Ali Khalil “sesungguhnya terdapat banyak sekali ditemukan lafaz muthlaq dan muqayyad di dalam al-Qur'an al-Karim, itu sebabnya dibutuhkan seuatu pengetahuan khusus agar dapat memahami lafaz-lafaz tersebut. karena satu sama lain saling berkaitan, baik dari aspek sebab maupun hukum.  dan hal tersebut sangat mempengaruhi proses dalam pengambilan suatu hukum atau istinbath ahkam terutama oleh para imam mazhab. bahkan kaidah muthlaq dan muqayyad juga digunakan dalam memahami al-Hadist.
Salah satu peran penting kaidah muthlaq dan muqayyad adalah membantu para ulama dalam memahami dalil dalil yang "seolah-oleh bertentangan" atau "sulit untuk dipahami" kecuali dengan memahami kaidah ini. pada akhirnya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, akan membuktikan bahwa hukum Islam akan terus relevan pada setiap zaman dan tempat.”
Sebagian bahasa dalam hukum Islam terkadang hadir dalam bentuk mutlaq dan terkadang adapula yang berbentuk muqayyad. Dan pengistilahan mutlaq dan muqayyad kepada Kitabullah tersebut sering dikenal sebagai “Mutlaqu al-Quran wa Muqayyaduh” atau kemutlakan al-qur‟an dan keterbatasanya.
Dalam kitab-kitab ulum al-quran (ulum al-quran)atau usul fikih ada yang menjadikan pembahasan tentang mutlak dan muqayyad dalam satu bab tersendiri dan sebagaian yang lain memasukannya sebagai sub bab dalam pembahasan ‘Amm dan Khas.



B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Muthlaq dan Muqayyad?
2. Apa karakteristik Muthlaq dan Muqayyad?
3. Apa perbedaan antara Muthlaq dan A’am dan antara Muqayyad dan Khash?
4. Apa macam-macam Muthlaq dan Muqayyad?
5. Apa syarat dalam menerapkan kaidah Muthlaq dan Muqayyad?
















Bab II
Pembahasan
A. Defenisi Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq secara bahasa: Muthlaq adalah lafaz dari kata "Thalaqa" yang artinya melepaskan, dan almuthlaq adalah ism mafu'l yang atinya yang terlepas dari ikatan, dan Al-Ithlaq artinya mengkosongkan dan melepaskan, contoh ketika seorang mengatakan kepada istrinya: "Anti thaliq" artinya Kamu saya lepaskan. dan Atholiq dari onta adalah maksudnya istilah untuk onta-onta yang terlepas ikatannya di tempat gembalaan dan tidak ada ikatannya.
Adapun Defenisi Muqayyad secara bahasa ialah Al-Muqayyad berasal dari kata Qayada, dan bentuk jamaknya quyud dan aqyad, qayyadtuhu taqyiidan artinya saya mengikatnya dengan kuat di kakinya, dan orang itu terikat, dan di antara maknanya juga mengikat lafaz-lafaz dengan apa yang membuatnya tidak tercampuraduk dan hilangnya kerancuan.
Al-qattan mendefinisikan bahwa Muthlaq adalah lafazh yang menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayyid (pembatas).  Sedangkan Mukhtar yahya dan Fatchurrahman mendefinisikan Lafazh Muthlaq adalah lafazh yang tidak diberi qayyid (pembatasan) yang berupa lafazh yang dapat mempersempit keluasan artinya. 
Adapun defenisi Muqayyad, menurut Quraish Shihab, Muqayyad  مقيد)) dari segi bahasa berarti “ikatan yang menghalangi sesuatu memiliki kebebasan gerak (terikat/mempunyai batasan)”.  Al-qattan mendefenisikan muqayyad adalah lafadz yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayid (pembatas).  Amir Syarifudin mendefinisikan muqayyad adalah lafazh yang menunjukan hakikat sesuatu yang diikatkan kepada lafazh itu sesuatu sifat.
Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Muthlaq yaitu Lafadz yang menunjuk kepada suatu benda atau beberapa anggota benda dengan jalan berganti-ganti. Sedangkan muqayad ialah Lafadz yang menunjuk kepada suatu benda atau beberapa anggota benda dengan ada suatu qayid.”
       Adapun menurut penulis bahwasannya Muthlaq ialah lafazh yang menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayyid (pembatas)  dan punya perbedaan dengan Aam. Dan Muqayyad  ialah “ikatan yang menghalangi sesuatu memiliki kebebasan gerak (terikat/mempunyai batasan)”  dan berbeda dengan khash.
B. Karakteristik Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq dan Muqayyad memiliki ciri khas tersendiri yang mana para ulama menjelaskannya secara jelas, sebagai berikut;



1. Karakteristik Muthlaq 
a. Lafaz muthlaq menunjukkan kepada suatu yang satu, yang dimaksud dengan satu ini bukan artinya bilangan satu, tapi maksudnya adanya satu pada jenis dan macamnya.
b. Lafaz muthlaq menunjukkan satu yang tertentu yang berada pada suatu yang banyak, sehingga dikatagorikan "ma'hud azzihni" artinya sesuatu yang belum disebutkan sebelumnya namun dapat tergambar pada akal fikiran, karena dia menunjukkan sesuatu yang satu dan tersebar, adapun satu yang sudah ditentukan maka bukan dikatagorikan dari lafaz muthlaq, seperti nama orang zaid, umar dan juga kata bantu isyarat, haza, hazihi, secara garis besar segala sesuatu yang sudah jelas maknanya dan sudah ditentukan maksudnya tidak dapat dikatagorikan sebagai lafaz muthlaq.
c. Lafaz muthlaq itu nakirah dalam bentuk kalimat penetapan, adapun nakiroh yang nafi atau menafikan maka ia masuk katagori umum.
d. Muthlaq itu nisbi, jadi tergantung keadaannya, jika dihadapkan dengan kata yang jauh lebih umum maka ia akan menjadi muthlaq dan yang lain menjadi muqayyad.
e. Lafaz muthlaq adalah lafaz umum yang mencakup seluruh individu dan sifatnya, kecuali jika katagori umumnya adalah umum badal (ganti).
f. Lafaz muthlaq hanya terkhusus ism-ism saja (kata benda) dan bukan kata kerja maupun huruf.
2. Karakteristik Muqayyad
a. Lafaz-lafaz tersebut menunjukkan kepada sesuatu terntentu seperti Zaid, umar, ini pemuda dan sebagainya.
b. Lafaz-lafaz tersebut menunjukkan kepada suatu ciri atau sifat yang ditunjukkan kepada lafaz muthlaq dengan suatu ciri atau sifat yang lebih darinya, seperti jika kita mengatakan Dinar adalah emasku, maka dinar itu lafazh muthlaq karena ia sama dengan dinar-dinar yang lain yang tidak disebutkan, kemudian diikat dengan emasku.
Dengan adanya penjelasan ini setidaknya dapat membantu kita membedakan mana muthlaq dan mana muqayyad serta apa saja perbedaan muthlaq dan aam dan muqayyad dengan khas, namun lebih lengkapnya akan penulis jelaskan pada poin berikutnya.
C. Perbedaan antara Muthlaq dan A’am dan Muqayyad dan Khas.
1. Perbedaan Muthlaq dan Aam
Jumhur Ulama menganggap bahwa muthlaq adalah bagian dari A'am, dilihat dari keumuman individunnya dan sifat-sifatnya, adapun ulama al-hanafiyyah menjadikannya bagian dari khas, karena menurut mereka lafaz muthlaq menunjukkan kepada kesatuan. dan di antara aam dan khas saling menafikan, karena tidak mungkin dalam satu lafaz dapat menjadi aam dan khas dalam satu waktu, dan barang siapa yang mengucapkan suatu lafaz muthlaq dengan cara "isytirak" digabungkan. maka terkadang maksudnya adalah umum terkadang maksudnya khusus, tergantung qarinahnya. 
a. Muthlaq menunjukkan kepada hakikat tanpa adanya ikatan adapun yang aam lafaz yang menunjukkan kepada hakikat namun adanya ikatan yang banyak yang tidak tertentu. 
b. Aam lafaznya menunjukkan kepada sesuatu yang banyak namun tidak tertentu, adapun muthlaq lafaznya menunjukkan kepada sesuatu yang tersebar pada jenisnya dengan tidak tertentu. 
c. Muthlaq lafaznya tidak memutuskan sesuatu yang berulang-ulang, berbeda dengan aam yang dapat berbentuk lafaz yang berulang-ulang. 
d. Muthlaq tidak menerima takhshihs (pengkhususan), tapi dapat menerima pengikatan, karena di waktu yang bersama ia adalah khusus, adapun aam dapat menerima takhshihs (pengkhusussan).
e. Muthlaq selalu dengan lafaz nakirah, adapun ‘Aam terkadang dengan lafaz nakirah terkadang juga ma’rifah.
2. perbedaan takhshih dan taqyid
a. At-takhshis adalah lafaz yang zhahir, adapun taqyiid berkaitan dengan sifat. 
b. At-takhshis digunakan pada yang ashl (dasar), sedangkan taqyiid tidak digunakan dalam ashl (dasar) suatu kalimat. 
c. At-takhshih adalah kalimat dan maksudnya adalah sebagian, adapun taqyiid mufrad dan itulah maksud sesungguhnya. 
d. At-takhshis adalah mengangkat sebagian hukum awal,dan tidak menetapkan hukum lainnya maka takhshih itu adalah pengurangan hukum, adapun at-taqyiid adalah penetapan suatu hukum syar'i yang belum ditettapkan sebelumnya, dia adalah tanbahan, sehingga tidak dapat dinamakan at-taqyiid kecuali harus ada dalilnya menurut imam pengikut hanafi, maka jika tidak ada akan menjadi naskh (menghapus) dan bukan takhshihs. 
e. Berdasarkan kaidah bahwa aam itu pada seseorang diungkapkan pada 4 hal ; keadaan, zaman, tempat, dan pengecualian. 
f. Takhshih akan berbeda dengan taqyiid saat nakirah, dalam bentuk kalimat penafian dan pelarangan. karena ia akan menjadi umum. 
g. Mukhashih tidak akan jadi kecuali dengan dalil terpisah hal ini berdasarkan pendapat alhanafiyyah, karena mereka mensyaratkan dalil dan dalil berdiri sendiri untuk menyatakan takhshih, adapun dalil yang bukan mustaqil maka ia termasuk ke muqayyad. dan tidak boleh dijadkan takhshih. 
adapun menurut as-syafiiyyah muthlaq dan muqayyad seperti aam dan khoos, setiap dalil boleh menjadi takhshih untuk aam dan muqayyad untuk muthlaq baik itu muttashil maupun munfashil, sehingga mereka menulis bab muthlaq dan muqayyad dan menggabungkannya dengan aam dan khaas.
D. Macam-macam Muthlaq dan Muqayyad 
Setidaknya ada dua macam muthlaq dan muqayyad, yang pertama muthlaq dan muqayyad berdasarkan sebab dan hukum dan yang kedua muthlaq dan muqayyad berdasarkan sumber, dengan penjelasannya sebagai berikut;
1. Macam muthlaq dan Muqayyad berdasarkan Sebab dan hukumnya
Macam-macam muthlaq dan Muqayyad berdasarkan sebab dan hukum ini dinamakan kaidah muthlaq yang muttafaq (yang disepakati oleh para ualama), karena
Kaidah Usul itu terdapat dua macam: ada makna Kulliyah maka itu mencakup seluruh juziyyat di bawahnya. dan yang kedua adalah makna aghlabiyyah mencakup sebagian saja dari juziyyat yang di bawahnya, adapun kaidah menerapkan muqayyad terhadapn muthlaq tidaklah diterapkan kepada seluruh nash-nash syar'i yang ada muthlaq dan muqayyadnya, oleh karenanya agar pembahasan kaidah ini tidak melebar kemana-manaa sehingga dibagi menjadi dua, pertama penerapan muqayyad atas muthlaq yang disepakai dan kedua penerapan kaidan ini yang diperselisihkan.  Ada 4 macam, dengan pejelasan dan contohnya sebagai berikut;
a. Sebab dan hukumnya sama
Seperti “puasa’ untuk kafarat sumpah. Lafaz itu dalam qira’ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf diungkapkan secara muthlaq:
فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٨٩
“Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)” (Al-Maidah: 89).
Dan ia Muqayyad atau dibatasi dengan “tatabu’ (berturut-turut) dalam qira’ah Ibnu Masu’d :
فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ  أيام متتابعات
Artinya : maka kafarahnya puasa selama tiga hari berturut-turut.
Dalam hal seperti ini, pengertian lafaz yang muthlaq dibawa kepada yang muqayyad (dengan arti, bahwa yang dimaksud oleh lafaz muthlaq adalah sama dengan yang dimaksud oleh lafazh muqayyad). Karena “sebab” yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu segolongan berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus dilakukan berturut-turur.  Dalam pada itu golongan yang memandang qira’ah tidak mutawatir, sekalipun masyhur, tidak dapat dijadikan hujjah, tidak sependapat dengan golonga pertama. Maka dalam kasus ini dipandang tidak ada muqayyad yang karena lafaz muthlaq dibawa kepadanya.
b. Sebab sama namun hukum berbeda
Seperti kata “tangan” dalam wudu dan tayammum. Membasuh tangan dalam berwudu dibatasi sampai dengan siku Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ   … ٦
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku… “(Al-Maidah [5]:6)
Sedang menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, muthlaq, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya :
فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ
“…Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…” (Al-Maidah [5]:6)
Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafaz yang muthlaq tidak dibawa kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun al-Gazali menukil dari mayoritas ulama Syafi’I bahwa muthlaq di sini dibawa kepada muqayyad mengingat sebabnya sama sekalipun berbeda hukumnya. 
c. Sebab berbeda tetapi hukumnya sama
Dalam hal ini ada dua bentuk:
Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya pembebasan budak dalam hal kafarat. Budak yang dibebaskan diisyaratkan harus budak “beriman” dalam kafarat pembunuhan tak sengaja. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن يَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا إِلَّا خَطَ‍ٔٗاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَ‍ٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ …٩٢
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman” (An-Nisa [4]:92)
Sedang dalam kafarat zihar ia diungkapkan secara muthlaq:
وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مِّن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ  … ٣
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur…” (Al-Mujadilah [58]: 3) 
 Demikian pula dalam kafarat sumpah:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ… ٨٩
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak… “ (al-Ma’idah [5]:89) 
Dalam hal ini segolongan ulama, di antaranya ulama Maliki dan sebagian besar ulama Syafi’i, berpendapat, lafaz yang muthlaq harus dibawa kepada yang muqayyad tanpa memerlukan dalil lain.  Oleh karena itu tidak cukup (sah) memer
dekakan budak yang kafir dalam kafarah zihar dan melanggar sumpah. Sementara golongan lain, yaitu ulama mazhab Hanafi, berpendapat lafaz yang muthlaq tidak dapat dibawa kepada yang muqayyad kecuali berdasarkan dalil. Maka dipandang telah cukup memerdekakan budak yang kafir dalam kafarah zihar dan melanggar sumpah.
d. Sebab berbeda dan hukumnya pun berberlainan.
Seperti “tangan” dalam berwudu dan dalam perncurian. Dalam berwudu, ia dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian dimuthlaqkan, tidak dibatasi. Firman Allah:
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا… ٣٨
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya …” (al-Ma’idah [5]:38) 
Dalam keadaan seperti ini, muthlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad karena “sebab” dan “hukum”nya berlainan. Dan dalam hal ini tidak ada kontradiksi (Ta’arud) sedikitpun. 
Al-Qattan menukil pendapat az-Zarkasyi dalam Al-Burhan,  Jika terdapat dalil bahwa muthlaq telah dibatasi, maka yang muthlaq dibawa kepada muqayyad. Namun jika tidak terdapat dalil, maka muthlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad; ia tetap dalam kemutlakannya dan yang muqayyad pun tetap dalam keterbatasannya. Sebab Allah berbicara kepada kita dengan bahasa arab. Kongkritnya ialah, apabila Allah telah menetapkan suatu hukum dengan sifat atau syarat kemudian terdapat pula ketetapan lain yang bersifat muthlaq, maka mengenai yang muthlaq itu harus dipertimbangkan. Jika ia tidak mempunyai hukum pokok, yang kepadanya ia dikembalikan. Selain dari hukum yang muqayyad, maka ia wajid ditaqyidkan dengannya. Tetapi jika mempunyai hukum pokok yang lain selain muqayyad, maka mengembalikannya kepada salah satu dari keduanya tidak lebih baik dari pada mengembalikan kepada yang lain.
Nas yang mutlaq hendaknya tetap dipegang sesuai dengan sifat ke-mutlaq-kannya selama tidak ada dalil yang membatasinya, begitu juga dengan muqayyad. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan hukum tersebut.


2. Macam muthlaq dan Muqayyad berdasarkan sumber
Para ulama menamakan ini adalah penerapan kaidah muqayyad atas muthlaq yang mukhtalaf (diperselisihkan) Ada 6 macam sumber jika berdasarkan sumber, sebagai berikut;
a. Taqyiid Muthlaq Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Taqyiid ayat dengan ayat Al-Qur’an hukumnya diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama ,
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ ...٢٢٨
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. (Al-Baqarah [2]: 228)
Ditaqyiid dengan ayat Al-Qur’an,
...وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ... ٤
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (Ath-Thalaq [65]: 4)
Adapun hujjah para ulama yang membolehkan adalah firman Allah ta’ala
... وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ ... ٤٤
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (An-Nahl [16]: 44).
Adapun dalil mereka yang berpendapat bahwa tidak boleh ditaqyiidkan muthlaq Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
... لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
... Agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (An-Nahl [16]: 44)
 menurut mereka bahwa ayat ini menjelaskan bahwa penjelasan Al-Qur’an sudah diwakilkan kepada Rasulullah Shalallahu A’laihi Wa Sallam. Namun Ar-Razi menanngapi dalil ini dengan ayat Al-Qur’an:
... وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ... ٨٩
... Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu ... (An-Nahl [16]: 89)   ia berpendapat bahwa ayat ini juga mengandung arti bahwa perkataan Rasulullah Shalallahu A’laihi Wa Sallam termasuk ke dalam ayat ini. 
b. Taqyiid Muthlak sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir lainnya
Sunnah yang mutawatir adalah hukumnya qoth’i tsubut, jika ada dalil sunnah mutawatir saling bertentangan maka dapat disimpulkan salah satunya adalah muthlaq dan yang lainnya adalah muqayyad dan dua-duanya menjadi dalil, atau salah satunya tidak diketahui yang lebih didahulukan maka yang didahulukan muqayyad atas muthlaq, sebagaimana yang ada di bab kaidah taqyiid.
c. Taqyiid Muthlaq al-Qur’an dengan sunnah mutawatir yang berupa perkataan maupun perbuatan.
Allah berfirman :
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ ... ١١
Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; ... (An-Nisa [4]: 11)
Ditaqyiid dengan sabda Nabi Shalallahu A’laihi wa Sallam
  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
Bahwasannya Rasulullah Shalallahu A’laihi Wa Sallam bersabda:
Tidaklah seorang muslim mewariskan (hartanya) kepada orang Kafir, dan tidaklah Orang Kafir mewariskan (hartanya) kepada orang Muslim.
Dalam sabda lain rosulullah bersabda :
لَا يَرِثُ الْقَاتِل
Tidaklah mendapatkan waris orang yang membunuh (orang yang mewariskan)
d. Taqyiid Muthlaq Al-Qur’an dengan Ijma’
Sebagaimana yang Allah firmankan
۞ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا عَبۡدٗا مَّمۡلُوكٗا لَّا يَقۡدِرُ عَلَىٰ شَيۡءٖ ... ٧٥
Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun ... (An-Nahl [16]: 75)
Dalam permasalahan ayat ini yaitu “seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun” di taqyiid dengan Ijma’ Ulama bahwa yang namanya hamba sahaya, hadnya hanya separuh orang merdeka.

e. Taqyiid Muthlaq Al-Qur’an atau khabar Mutawatir dengan Khabar  Ahaad. 
Ada perbedaan pendapat kaitannya apakah boleh muthlaq Al-Qur'an dan Khabar Al-Mutawatir ditaqyiid dengan khabar Al-Ahad.
pendapat pertama : tidak boleh, ini adalah pendapat Al-Hanafiyyah, mereka beralasan bahwa kitab Allah dan khabar mutawatir adalah qath'i adapun khabar ahad zhanni, maka tidak boleh menghapus yang qath'i dengan yang zhanni.  menerapkan kaidan ini akan menimbulkan penambahan terhadap nash yaitu naskh, maka tidak boleh menaskh mutawatir dengan yang ahad .
misalkan contohnya :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ ... ٦
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu ...( Al-Maidah [5]: 6)
yang diperintahkan adalah membasuh muka dengan muthlaq maka tidak diperbolehkan mentaqyiidnya dengan niat, atau muwalah dengan dalil yang ahad, akan tetapi mengamalkan khabar ahad tidak mengubah hukum yang ada di Al-Quran, sehingga membasuh hukumnya wajib, adapun niat hukumnya sunnah berdasarkan dalil ahad.
Pendapat kedua: adalah pendapat Jumhur Ulama, yang mengatakan bahwa boleh menerapkan kaidah mentaqyiid muthlaq Al-Qur’an atau khabar mutwatir dengan khabar ahaad.
Adapun pendapat mereka karena kaidah mentaqyiid muthlaq adalah yang dimaksud dalam suatu nash yang muthlaq ada taqyiid yang dimaksudkan, maka itu tidak menjadi naskh, dan tidak musti syaratnya adalah al-musaawah (harus sama dalam derajat tsubut).  Dan juga karena khobar Ahad adalah lebih khusus ketimbang Al-Qur’an maka hendaknya lebih didahulukan. Kemudian Allah juga membolehkan umat Islam mengikuti Rasulullah Shalallahu A’laihi Wa Sallam tanpa adanya taqyiid atau pembatasan,  dan khabar wahid adalah maqthu’ maka wajib mengamalkannya, dan taqyiid menurut jumhur seperti takhshish. 
Contohnya adalah
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ ... ١١
Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. ... (An-Nisa [4]: 11)  kemudian ayat ini ditaqyiid dengan Hadist tentang hukum warisan dari para Nabi,
ما نورث ما تركنا صدقة
Kami tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan sebagai sedekah. (HR. Al-Bukhari) 
f. Taqyiid Muthlaq Al-Qur’an atau khabar mutawatir dengan Qiyas
Ada dua pendapat ulama tentang kaidah ini;
Pertama: hukumnhya boleh mentaqyiid Muthlaq Al-Qur’an atau khabar mutawatir dengan Qiyas. Mereka adalah As-Syafi’I, Malik,
Pendapat kedua: tidak boleh mentaqyiid Muthlaq Al-Qur’an atau khabar mutawatir dengan Qiyas. Ini adalah pendapat Al-Hanafiyyah. Dan beliau tidak mengqiyaskan antara takhshih aam dan taqyiid muthlaq dengan qiyas.
Mereka beralasan bahwa sesungguhnya lafaz aam tidak ditakhshih oleh qiyas kecuali jika sudah ditakhshish terlebih  dahulu oleh dalil yang qath’i. begitu juga dalam kaidan taqyiid muthlaq dengan qiyas tidak boleh kecuali jika didahului oleh dengan nash baru setelahnya dengan qiyas. Dengan demikian perbedaan pandangan dari kalangan ulama terjadi berawal jika mentaqyiid muthlaq dengan qiyas. Karena ia akan membatalkan nash. 
E. Syarat diterapkannya Muthlaq dan Muqayyad
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan kaidah muthlaq dan muqayyad, di antaranya ada dua pendapat tentang apa saja syarat tersebut;
1. Syarat Muthlaq dan Muqayyad menurut As-Syafi’i
a. hendaknya Muqayyad dari bab sifat dengan tsubut ashl baik di muthlaq maupun muqayyad. maka tidak boleh menambah hukum maupun mengurangi hukum, begitu juga tidak boleh taqyiid kembali menjadi asal dengan membatalkan hukum. Jika dalam qayd ada dasarnya maka tidak qayd tidak dapat mentaqyiid muthlaq, karena ia dapat menhapus hukum sebelumnya.
Contohnya dalam tayammum tidak disebutkan kata kepala dan dua kaki, dan kedua kata tersebut ada di dalam ayat wudhu, maka kita tidak boleh mengatakan harus mengusap kepala dan kedua kaki ketika tayammum berdasarkan penerapan kaidah mentaqyiid muthlaq dengan ijma’. Karena ada hukum yang belum disebutkan. Karena muqayyad hanya berkutat pada sifat-sifat adapun kepala dan kedua kaki adalah ashlun atau dasar.
b. Hendaknya lafaz muthlaq hanya mempunyai ashl yang satu. Contohnya syarat sifat adil bagi para saksi baik ketika dalam rujuk maupun thalak,
... وَأَشۡهِدُواْ ذَوَيۡ عَدۡلٖ مِّنكُمۡ … ٢
  … dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu … (At-Tahalaq [65]: 2)
c. Hendaknya muthlaq berkenaan dengan kata-kata perintah dan penetapan, bukan dalam kata larangan atau penafian.
d. Hendaknya muqayyad bukan dalam ibahah atau yang diperbolehkan, dan tidak ada pertentangan baik ibahah dalam hal muthlaq maupun muqayyad.
e. Tidak diperbolehkan menggabungkan antara muthlaq dan muqayyad, akan tetapi diterapkan muqayyad atas muthlaq, dan itu lebih utama ketimbang meninggalkan keduanya.
f. Tidak boleh adanya qadrun zaid (syarat tambahan) pada muqayyad,  sehingga cenderung muthlaqnya ditaqyiid oleh qadrun zaid. Contohnya jika seseorang mengatakan saya akan membunuh seorang wanita beriman maka saya akan membebaskan budak wanita beriman. Perketaan ini tidak boleh.  Karena wanita beriman di sini menjadi taqyiid orang yang dibunuh.
g. Hendaknya tidak adanya dalil yang melarang untuk mentaqyiid muthlaq yang ada. Jika ada larangan tersebut maka tidak boleh diterapkan kaidah muthlaq dan muqayyad. Sebagaimana dirman Allah
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗا… ٢٣٤
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari. … (Al-Baqarah [2]: 234) masa iddah di sini tidak ditaqyiid dengan dengan ad-dukhul, maka ayat ini ditaqyid dengan berbagai talaq,
…إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَاۖ فَمَتِّعُوهُنَّ …  ٤٩
apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut´ah … (Al-Ahzab [33]: 49) maka ayat tentang pernikahan yang pertama tidak ditaqyiid dengan dukhul, karena adanya maani’ penghalang. Yaitu ayat kedua.

2. Syarat Muthlaq dan Muqayyad menurut Al-Hanafiyyah
a. Syaratnya antara muqayyad dan muthlaq harus ada iqtiron, jika ada muthlaq dan muqayyad pada hukum, sebab, dan ilmu sejarah, maka itu diperbolehkan diterapkan kaidah ini.
b. Tidak diketahuinya tanggal turunnya atau adanya dalil tersebut atau dalam istilah jahalatuttarikh maka harus diberlakukan kaidah muthlaq dan muqayyad. Karena penjelasan lebih didahulukan ketimbang menghapus hukum dalil tersebut. Dan juga lebih sering albayan lebih banyak terjadi ketimbang naskh penghapusan. 
c. Harus adanya al-musawah, kesamaan derajat tsubut suatu muqayyad, jika muthlaqnya adalah al-Qur’an atau khabar mutawatir sedangkan muqayyadnya adalah khabar aahad, maka tidak boleh diterapkan hukum muqayyad atas muthlaq. 
d. Hendaknya tidak boleh muqayyad dari bab sebab-sebab dan syarat-syarat. 
e. Tidak boleh hukumnya muqayyad itu dari qiyas dan muthlaqnya Al-Qur’an dan khabar mutawatir, karena menurut al-hanafiyyah, muqayyad itu adalah naskh, karena jika itu boleh sama saja menghilangkan dasar suatu hukum.
f. Hendaknya hukum muthlaq dan muqayyadnya adalah wajin dan bukan sunnah maupun mubah. 












BAB III

KESIMPULAN

Mutlaq adalah lafadz-lafaz yang menunjukkan suatu hakekat tanpa ada batasan (qayid) tertentu. Sedangkan muqayyad adalah lafadz-lafaz yang menunjukan suatu hakekat dengan ada batasan (qayid) tertentu. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan hukum tersebut. Pembagian lafadz mutlaq dan muqayyad ada empat bentuk-bentuk yang realistis yaitu: sebab dan hukumnya sama, sebab sama namun hukum berbeda, sebab berbeda namun hukum sama, sebab dan hukum berbeda.
Kaitannya dengan Muthlaq, Aam, Muqayyad dan Khas dan perbedaan masing-masing, Ada dua pandangan; Jumhur Ulama menganggap bahwa muthlaq adalah bagian dari A'am, dilihat dari keumuman individunnya dan sifat-sifatnya, adapun ulama al-hanafiyyah menjadikannya bagian dari khas, karena menurut mereka lafaz muthlaq menunjukkan kepada kesatuan. dan di antara aam dan khas saling menafikan, karena tidak mungkin dalam satu lafaz dapat menjadi aam dan khas dalam satu waktu, dan barang siapa yang mengucapkan suatu lafaz muthlaq dengan cara "isytirak" digabungkan. maka terkadang maksudnya adalah umum terkadang maksudnya khusus, tergantung qarinahnya.
Setidaknya ada dua macam muthlaq dan muqayyad, yang pertama muthlaq dan muqayyad berdasarkan sebab dan hukum yang disepakati oleh ulama akan kebolehanya dan yang kedua muthlaq dan muqayyad berdasarkan sumber pada macam yang kedua ini ada perbedaan ulama apakah ini boleh atau tidak.
Kaidah umum pada pembahasan ini ialah Nas yang mutlaq hendaknya tetap dipegang sesuai dengan sifat ke-mutlaq-kannya selama tidak ada dalil yang membatasinya, begitu juga dengan muqayyad. Lafadz mutlaq menjadi tidak terpakai jika ada lafadz muqayyad yang menjelaskan sebab dan hukum tersebut.
Ada dua pendapat kaitannya dengan syarat menerapkan kaidah muthlaq dan muqayyad. Pendapat pertama oleh Imam As-Syafi’i dan kedua adalah Al-Hanafiyyah.




















Daftar Pustaka

Al-A’midi, Abu al-Hasan, Al-Ihkam Fii Usul Ihkam, (Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, T.T), 
Al-Amidi, Muntahal Suul Fii I’lmil Ushul, (Bairut; Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2002) 
Al- Anshari, Abdul Ali, Fawatihul Ar-Rohmut, (Bairut: Muassasah Tarikh Arabi, 1998)
Badsyah, Amir,  Taisiir At-Tahbiir, (Bairut:  Darul Kutub Al-Ilmiyyah, T.TP)
Al-Bukhari, Abdul aziz, Kasyf Al-Asrar a’n Ushul Fakh Islam Al-Bazdawi, (Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1997) 
Al-Bukhari, Muhammad Ismail Abdullah,As-Sahih Al-Jami’ Shahih Al-Bukhari, (Riyadh: Maktabah Rusyd, 2003)
Al-Hajj, Ibnu Amir,  At-Taqriir wa Tahbiir A’la Tahrir Fil Ilmil Ushul, (Bairut: Darul Fikr, 1996)
Al-Juwaini, Abu al-Ma’ali, al-Burhan Fii Usuul Fiqh, (Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1997), 
Khalil, Adilah Ali, Dhawabit Muthlaq A’lal Muqayyad I’ndal Usuliyyin wa A’tsaru zalika a’lal Ahkam Asy-Syar’iyyah, (Palestina: Annajah Al-Wathaniyyah University, 2010), 
Al-Maliki, Ibrahim, Ad-Dibaaj Al-Mazhab di ma’rifati a’yan Ulama Al-Mazhab, (Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, T.T) 
Al- Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir Fii Fiqhi Mazhab As-Syafi’i, (Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1999) 
Al-Muqarry, Ahmad Muhammad Ali, Al-Mishbah Al-Munir fii Ghariib Asyrah Al-Kabir, (Bairut: Al-Maktabah Ilmiyyah)
Manzhur, Ibnu lisan Al-Arab, (Bairut: Dar Shadir)
Al-Qarafi, Syihabuddin, Al-A’qdu Al-Manzhum fiil Khusus wal Umum, (Bairut; Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2001) 
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011),
Ar-Razi, Al-Fakhru, Al-Mahshul fil ilmil Ushul, (Bairut; Darul Kutub Ilmiyyah, 1988) 
Sa’ati, Ibnu, Nihayatul Wusul ila I’lmil Ushul,   (Bairut: darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2004)
As-Shalih, Dr. Subhi,  Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Penerjemah: Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 
As-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981),
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013),  hlm. 188. 
Syarifuddin, Amir,  Usul Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009). Jilid-2,
As-Syasyi, Ahmad Muhammad, Ushul As-Syasyi, (Bairut: Dar Al-Maghrib, 2000)
Yahya,  Mukhtar, dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: PT. Ma‟arif,1993). 
Az-Zaidi, Muhammad Murtadha,  Taajul A'rus min Jawahiril Qomus, (Dar Hidayah)
Zamroni, Anang, Suratno, Mendalami Fiqh 2, (Ttp: PT Serangkai Tiga Pustaka mandiri, 2013) 
Az-Zarkasyi, Al-Bahr Al-Muhit fii ilmil Ushul, (Bairut:Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2000) .

Tidak ada komentar: