Jumat, 03 November 2017

Islam dan Gender Oleh Derysmono


Islam dan Gender
Makalah ini ditulis untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Quranic Word View


Disusun Oleh
Derysmono
NIM. 163530026




INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
2017


ABSTRAK

Fakta membuktikan bahwa di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara Muslim, perempuan secara umum mengalami keterasingan. Di banyak negara dewasa ini, tidak ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan dibatasi haknya atas kepemilikan tanah, mengelola properti, dan bisnis.
Dari realita permasalahan di atas dan berbagai solusi yang ditawarkan namun belum membawa hasil yang signifikan, maka timbul pertanyaan: adakah alternatif lain yang bisa ditawarkan sebagai solusi ampuh dalam menghadapi permasalahan Keadilan terhadap Hak-hak wanita tersebut? Bagaimana Islam melihat masalah ini dari Aspek Keadilan Gender?
Menurut Heyzer gender adalah peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu tingkah laku sosial yang terstruktur. Sedangkan Illich berpendapat bahwa gender dimaksudkan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan secara sosial, yang mengacu pada unsur emosional, kejiwaan, dan tingkah laku. Di sisi lain, Lerner   mendefinisikan gender sebagai suatu tingkah laku yang sesuai dengan jenis kelamin pada suatu masyarakat yang dilaksanakan pada waktu tertentu.
Teori yang diangkat dalam tulisan ini adalah fungsionalisme struktural. Menurut teori struktural fungsional, masyarakat sebagai suatu sistem memiliki struktur yang terdiri dari banyak lembaga, di mana masing-masing lembaga memiliki fungsi sendiri-sendiri. Struktur dan fungsi, dengan kompleksitas yang berbeda-beda ada pada setiap masyarakat baik masyarkat modern maupun masyarakat primitif yang mana teori ini diawali oleh Auguste Comte, Emile Durkheim dan Herbert Spencer kemudian dikembangkan oleh Malinowski, Radcliffe-Brown ‎ . Teori ini berbeda dengan Teori Ketidaksamaan menurut jenis kelamin sebagaimana diungkapkan oleh Stephen K. Sanderson baik itu Teori Gender Femisin Marxis maupun Teori Gender Feminis Kapitalis.
Dalam pembahasan ini metodologi penelitian yang digunakan adalah Tematik Analisis sehingga solusi yang dihasilkan dari penelitian ini lebih relevan dan tepat sasaran.
 Terlepas adanya perbedaan pendapat dari Tokoh “feminis muslim” dan gender cendikiawan muslim kaitannya gender dalam perspektif Islam,  namun isu gender yang dibawa mengindikasikan gender yang hanya menuntut kepada hak seseorang dan melupakan kewajiban.
Gender dalam Islam yang didasari teori struktural fungsional teosentris yaitu bagaimana masing-masing orang memiliki peran berbeda yang berkeadilan berdasarkan “agama”, yang mana seorang manusia tidak hanya menuntut hak tapi juga ada kewajiban, sehingga dalam aplikasinya dapat  meminimalisir ketidakadilan terhadap perempuan dan laki-laki. Dan pada akhirnya diharapkan masing-masing hak perempuan dan lelaki terpenuhi. 


















BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Menurut Andik Wahyun Muqoyyidin bahwa masalah “gender tidak hanya sekedar menarik untuk didiskusikan, lebih dari sekedar itu gender adalah isu aktual. Isu gender telah mendorong satu kesadaran yang khas bukan hanya semata-mata karena pandangan filosofis atau wacana, tapi punya implikasi praktis yang memang sangat dituntut. Dari segi wacana, isu ini sudah berkembang sangat pesat dan progresif, bahkan cenderung liberal.”  Apalagi masalah ini akan bertambah menarik dibahas dari pandangan Islam, agama yang membawa keadilan dan rahmah bagi seluruh manusia dan alam. 
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sejauh   tidak menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan dan laki-laki. Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan gender telah menciptakan ketidak-adilan, terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender merupa-kan sistem atau struktur sosial di mana kaum laki-laki atau perempuan menjadi korban. Ketidakadilan tersebut termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak perlu berpartisipasi dalam pembuatan atau pengam-bilan keputusan politik,  stereotip, diskriminasi  dan kekerasan.

Adapun agama sering dituduh sebagai sumber terjadinya ketidak adilan dalam masyarakat, termasuk ketidak adilan relasi antara laki-laki dan perempuan yang sering disebut dengan ketidakadilan gender. Gender adalah jenis kelamin bentukan yang dikonstruksi oleh budaya   dan adat istiadat, seperti laki-laki kuat, berani, cerdas, menguasai, sedangkan perempuan itu lemah, penakut, kurang cerdas (bodoh), dikuasai dll. Isu gender menguat ketika disadari bahwa perbedaan gender   antara manusia laki-laki dan perempuan telah melahirkan  ketidak  adilan  dalam  berbagai  bentuk  seperti marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinate atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, stereotype atau pencitraan yang negatif bagi perempuan Citra perempuan yang dimaksud hanya bergelut  3R  (dapur,  sumur,kasur),  kekerasan,  dan  double  burden (beban  ganda) terhadap  perempuan  yang bermuara pada perbuatan tidak adil yang dibenci oleh Allah Ta’ala.
Adapun Agama Islam sudah menjadi prinsip pokok ajarannya adalah prinsip egalitarian yakni persamaan antar manusia, baik laki- laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, dan keturunan.Hal ini diisyaratkan dalam (QS. al-Hujurat [49]: 13)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
 “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu.”
Ayat tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan baik dalam hal ibadah (dimensi spiritual) maupun dalam aktivitas sosial (urusan karier profesional). Ayat tersebut juga sekaligus mengikis tuntas pandangan yang menyatakan bahwa antara keduanya terdapat perbedaan  yang memarginalkan salah satu diantara keduanya. persamaan tersebut meliputi berbagai hal misalnya dalam bidang ibadah. Siapa yang rajin ibadah, maka akan mendapat pahala lebih banyak tanpa melihat jenis kelaminnya. Perbedaan kemudian ada disebabkan kualitas nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt., Ayat ini juga mempertegas misi pokok al-Qur’an diturunkan adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk   diskriminasi seksual, warna kulit, etnis dan ikatan-ikatan primordial lainnya. Namun demikian sekalipun secara teoritis al-qur’an mengandung prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun ternyata dalam tatanan implementasi seringkali prinsip-prinsip tersebut terabaikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Gender?
2. Bagaimana Konsep Gender?
3. Bagaimana Pendangan Islam terhadap Gender?
4. Bagaimana Konsep Teori Struktural Fungsional Dan Gender?
5. Apa Pandangan Ulama Kontemporer tentang gender?




BAB II
 PEMBAHASAN
A. DEFENISI GENDER
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin.   Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.    Dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.  Sedangkan Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap  laki- laki  dan  perempuan  (cultural  expectations  for  women  and  men).
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan  kolektif  dalam  membedakan  laki-laki  dan  perempuan.
Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa yang kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).
Dari berbagai definisi tersebut dapat dipahami bahwa gender adalah   suatu   konsep   yang   digunakan   untuk   mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya.   Gender   dalam   arti   ini   adalah   suatu   bentuk   rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.Dalam konteks tersebut, gender harus dibedakan dari jenis kelamin (seks).Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat  pada  jenis  kelamin  tertentu.  Sedangkan  konsep  gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan   yang   dikonstruksi   secara   sosial   maupun   kultural, misalnya  perempuan  dikenal  lembut  dan  cantik.  Tidak  berlebihan jika dikatakan bahwa gender adalah interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa gender pada hakikatnya lebih menekankan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non biologis lainnya. Hal ini berarti bahwa gender   lebih   menekankan   aspek   maskulinitas   atau   feminitas seseorang  dalam  budaya  tertentu.  Dengan  demikian,  perbedaan gender pada dasarnya merupakan konstruksi yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dilegitimasi secara sosial dan budaya.Pada gilirannya, perbedaan gender dianggap kodrati hingga melahirkan ketidakseimbangan perlakuan jenis kelamin.
A. KONSEP GENDER
Kata gender berasal dari bahasa Inggris, gender yang berarti jenis kelamin. Dalam  Webster’s  New World Dictionary,  gender diartikan  sebagai  perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,  perilaku,  mentalitas, dan karakteristik  emosional  antara  laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Intro- duction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). H.T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan ke- hidupan   kolektif  yang  sebagai  akibatnya   mereka  menjadi   laki-laki  dan perempuan.
Mansour Faqih dalam bukunya Analisis Gender & Transformasi Sosial mengemukakan konsep gender yakni suatu  sifat yang melekat  pada  kaum laki-laki  maupun  perempuan  yang  dikonstruksi  secara  sosial  maupun cultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional,  atau  keibuan.  Sementara  laki-laki  dianggap  kuat,  rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.
Berdasarkan  definisi di atas  maka  dapat  disimpulkan  bahwa  gender adalah  peran  antara  laki-laki  dan  perempuan  yang  merupakan  hasil konstruksi sosial budaya. Suatu peran maupun  sifat dilekatkan kepada laki- laki  karena  berdasarkan  kebiasaan  atau  kebudayaan  biasanya  peran maupun   sifat tersebut  hanya  dilakukan  atau  dimiliki  oleh  laki-laki  dan begitu juga dengan perempuan. Suatu peran dilekatkan pada perempuan karena berdasarkan kebiasaan atau kebudayaan yang akhirnya membentuk suatu  kesimpulan  bahwa  peran  atau  sifat itu hanya  dilakukan  oleh  perempuan.
Sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti “jenis kelamin”) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara  gender lebih banyak berkonsentrasi kepada  aspek  sosial,  budaya,  psikologis,  dan  aspek-aspek  non  biologis lainnya. Gender secara umum digunakan  untuk mengidentifikasi  perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya. Sementara itu, sex secara umum  digunakan  untuk  mengidentifikasi  perbedaan  laki-laki  dan  per- empuan dari segi anatomi biologi.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara sex dan gender yakni “sex” membedakan laki-laki dan perempuan dilihat dari ciri-ciri biologis yang merupakan ketentuan  Tuhan yang disebut kodrat. Sedangkan “gender” membedakan laki-laki dan  perempuan berdasarkan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non biologis lainnya, bisa dipertukarkan dan bukan merupakan kodrat Tuhan

B. KONSEP GENDER DALAM ISLAM
1. Perspektif gender dalam Al-Qur’an tidak sekedar mengatur keserasian  relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan  dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu Al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikro-kosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep   berpasang-pasangan (azwâj) dalam al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga binatang (QS. Al-Syura[42]: 11), dan tumbuh-tumbuhan QS. Thaha: 53. Bahkan kalangan sufi menganggap makhluk-makhluk juga berpasang-pasangan.13 Langit diumpamakan dengan suami yang menyimpan air QS. Al-Thariq: 11 dan bumi diumpamakan isteri yang menerima limpahan air yang nantinya melahirkan janin atau berbagai tumbuh-tumbuhan QS. al- Thariq: 12.  Satu-satunya yang tidak mempunyai pasangan ialah Sang Khaliq Yang Maha Esa, QS. Al-Ikhlas: 14.   Secara  umum  tampaknya  Al-Qur’an  mengakui  adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya. Perbedaan tersebut  dimaksudkan  untuk  mendukung  obsesi  al-Qur’an,  yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga QS. Al-Rum: 21, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri damai  penuh  ampunan  Tuhan  (baldatunThayyibatun  wa  rabbun ghafûr) QS. Saba: 15.
Al-Qur’an juga berobsesi untuk mengalihkan pola hidup yang bercorak kesukuan (tribalism) yang rawan terhadap berbagai ketegangan dan kezaliman, menuju ke pola hidup ummah, seperti disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 213 artinya sebagai berikut:
“Manusia itu adalah ummat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembiran dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkaran yang mereka perselisih- kan.Tidaklah  berselisih tentang  kitab  itu melainkan  orang  yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya.dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
Pola hidup ummah adalah pola hidup yang lebih mendunia dan lebih   menjunjung   tinggi   prinsip-prinsip   keadilan.   Dalam   pola kesukuan, promosi karier hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan perempuan sulit sekali memperoleh kesempatan itu. Dalam pola hidup ummah, laki-laki dan perempuan terbuka peluang untuk memperoleh kesempatan itu secara adil.

Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang  mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, telah turun dua surat yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu surat Al-Mumtahanah dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, hingga diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat Al-Nisa’ al-Kubro, sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti surat al-Tholak, disebut surat al-Nisa’ al Sughro. Surat Al Nisa’ ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.
Maka, pada ayat pertama surat al-Nisa’ kita dapatkan, bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh, pasti akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu  (nafsun wahidah), yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu robbakum).
Kesetaraan yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur.  Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan  komposisi kimia dalam tubuh.
Hal ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia ini dalam semua bidang.  Al Qur’an telah meletakkan batas yang jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam masyarakat dan keluarga.

2. Di dalam ayat-ayat Al Qur an maupun hadits nabi yang merupakan sumber ajaran Islam terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan yang akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kemerdekaan, kesetaraan dsb. Berkaitan dengan nilai keadilan dan kesetaraan, Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan diskriminasi di antara umat manusia. Berikut ini yang diketahui mengenai kesetaraan gender dalam Al Qur an.
Gender adalah pandangan atau keyakinan yang yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkahlaku maupun berpikir. Misalnya pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri, lemah lembut atau keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk yang sensitif, emosional selalu memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumahtangga, rasional dan tegas.
3. Al Qur an mengatur tentang keadilan  Gender
Dalam Surat Al Isra ayat 70 yakni bahwa Allah swt telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dalam kedudukan yang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memilki akal, perasaan dan menerima petunjuk.
Artinya : “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Al Qur an tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Allah Swt, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat  dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang banyak menyudutkan kaum perempuan sudah selayaknya diubah, karena Al Qur an selalu menyerukan keadilan, keamanan dan ketentraman, mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan.
Islam menegaskan bahwa diskriminasi peran dan relasi gender adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang harus dieliminir (QS.An Nisaa [4]:75)
C. KONSEP TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN GENDER
Fungsionalisme struktural  adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar.  Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial pada abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Émile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, di mana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, di mana ini menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan di mana di dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.
Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah
1- Visi substantif mengenai tindakan sosial dan
2- Strateginya dalam menganalisis struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.
D. Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Kepemimpinan Wanita
Ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda terhadap kepemimpinan wanita dalam berpolitik. Beliau menjelaskankan bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, bertindak sebagai orang dewasa terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala dia melakukan penyimpangan. “Karena Allah telah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni, karena kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh karena itu kenabian hanya diberikan kepada kaum laki-laki.
Laki-laki menjadi pemimpin wanita yang dimaksud ayat ini adalah kepemimpinan dirumah tangga, karena laki-laki telah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu katsir ini menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang dalam kepemimpinan politik, yang dilarang adalah kepemimpinan wanita dalam puncak tertinggi atau top leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa bermusyawarah, dan juga wanita dilarang menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi memperbolehkan wanita berpolitik. 
Al-Qordhawi juga menambahkan bahwa wanita boleh berpolitik dikarenakan pria dan wanita dalam hal mu’amalah memiliki kedudukan yang sama hal ini dikarenakan keduanya sebagai manusia mukallaf yang diberi tanggung jawab penuh untuk beribadah, menegakkan agama, menjalankan kewajiban, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang kuat atas larangan wanita untuk berpolitik. Namun yang menjadi larangan bagi wanita adalah menjadi imam atau khilafah (pemimpin negara).
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al-Qur’an banyak menceritakan persamaan kedudukan wanita dan pria, yang membedakannya adalah ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada yang membedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, warna kulit dan suku. Kedudukan wanita dan pria adalah sama dan diminta untuk saling bekerjasama untuk mengisi kekurangan satu dengan yang lainnya, sebagai mana di jelaskan dalam (QS.At-Taubah [9]:71) yang berbunyi:
Artinya: ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Islam sebenarnya tidak menempatkan wanita berada didapur terus menerus, namun jika ini dilakukan maka ini adalah sesuatu yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam Al-Ghazali bahwa pada dasarnya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam hal memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya. Akan tetapi jika itu dilakukan oleh istri maka itu merupakan hal yang baik. Sebenarnya suamilah yang berkewajiban untuk memberinya/menyiapkan pakaian yang telah dijahid dengan sempurna, makanan yang telah dimasak secara sempurna. Artinya kedudukan wanita dan pria adalah saling mengisi satu dengan yang lain, tidak ada yang superior. Hanya saja laki-laki bertanggung jawab untuk mendidik istri menjadi lebih baik di hadapan Allah SWT.
Sebenarnya hanyalah permainan kaum feminis saja yang menyatakan bahwa laki-laki superior dibandingkan dengan wanita, agar mereka dapat melakukan hal-hal yang melampaui batas, dengan dalih bahwa wanita dapat hidup tanpa laki-laki, termasuk dalam hal seks, sehingga muncullah fenomena lesbian percintaan sesama jenis, banyaknya fenomena kawin cerai karena sang istri menjadi durhaka terhadap suami, padahal dalam rumah tangga pemimpin keluarga adalah laki-laki, sedangkan dalam hal berpolitik tidak ada larangan dalam Islam untuk berpolitik dan berkarier.
Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan ada tujuh syarat seorang kepala negara atau (Khalifah) dapat di bai’at yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Syarat muslim merupakan syarat mutlak untuk mengangkat pemimpin dalam sebuah negara yang mayaritas penduduk islam, dan dilarangkan mengangkat pimpinan dari kalangan kafir.
Kedua laki-laki, wanita dalam hal ini dilarang menjadi khalifah, imam, ulil amri, atau kepala negara dalam hal ini kepala negara tidak dimaksud Presiden, yang dimaksud disini adalah kepemimpinan yang dapat mengambil keputusan tanpa dimusyawarahkan terlebih dahulu, sedangkan presiden dalam membuat keputusan harus dilakukan dengan bermusyawarah terlebih dahulu terhadap pembantu-pembantunya baik menteri, staff ahli, maupun dengan penasihat pribadinya.
Ketiga baligh, dengan syarat baligh maka pemimpin dibebani oleh hukum, sehingga apa yang di pikulnya atau diamanahi kepada mereka maka akan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum, baik hukum dunia, maupun hukum dihadapan Allah.
Keempat berakal, orang yang hilang akalnya dilarang menjadi pemimpin karena akan mengambil keputusan yang tidak tepat, dan kehilangan akal akan membebaskan seseorang dari hukum, sehingga tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya. Kelima adil,  yaitu pemimpin yang konsisten dalam menjalani agamanya hal ini termaktub dalam surah (An-Nahl [16]:90) yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
                Keenam, merdeka terbebas dari perbudakan sehingga dapat mengambil keputusan tanpa interfensi dari tuannya. Dan seorang hamba sahaya dilarang diangkat menjadi pemimpin karena dia tidak memiliki wewenang untuk mengatur orang lain dan bahkan terhadap dirinyapun tidak memiliki wewenang.
            Ketujuh, mampu melaksanakan amanat khilafah, jika tidak mampu menjalankan amanat maka tunggulah hasilnya. Sebagaimana di jelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari ” Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari).
            Qardhawi dalam hal ini kembali mempertegas bahwa kepemimpinan kepala negara dimasa sekarang ini kekuasaannya tidak sama dengan seorang ratu atau khalifah di sama lalu yang identik dengan seorang imam dalam shalat. Sehingga kedudukan wanita dan pria dalam hal perpolitikan adalah sejajar karena sama-sama memiliki hak memilih dan hak dipilih. Dengan alasan bahwa wanita dewasa adalah manusia mukallaf (diberi tanggung jawab) secara utuh, yang dituntut untuk beribadah kepada Allah, menegakan agama, dan berdakwah. 











BAB III
KESIMPULAN
Perspektif gender dalam Al-Qur’an tidak sekedar mengatur keserasian  relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan  dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu Al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikro-kosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep   berpasang-pasangan (azwâj) dalam al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga binatang QS. Al-Syura: 11, dan tumbuh-tumbuhan QS. Thaha: 53. Bahkan kalangan sufi menganggap makhluk-makhluk juga berpasang-pasangan.
Gender tidak bersifat biologis melainkan dikonstruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa secara lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu gender dapat berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat kita jumpai nilai dan aturan agama maupun adat kebiasaan yang dapat mendukung atau melarang keikutsertaan perempuan dalam pendidikan formal sebagai akibat ketidaksamaan kesempatan, maka dalam banyak masyarakat dapat dijumpai ketimpangan partisipasi dalam pendidikan formal.
Pada dasarnya secara fungsional dan tugasnya setiap wanita memiliki kewajiban yang mulia yang tidak bisa tergantikan, demikian pula dengan laki-laki, namun pada harkat dan martabat baik laki-laki maupun perempuan adalah sama.
Maka Gender dalam Islam yang didasari teori struktural fungsional teosentris yaitu bagaimana masing-masing orang memiliki peran berbeda yang berkeadilan berdasarkan “agama”, yang mana seorang manusia tidak hanya menuntut hak tapi juga ada kewajiban, sehingga dalam aplikasinya dapat  meminimalisir ketidakadilan terhadap perempuan dan laki-laki. Dan pada akhirnya diharapkan masing-masing hak perempuan dan lelaki terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA
As-Siba’i, Mustafha, Al-Mar’ah bainal Fiqh wal Qanun, (Bairut: Dar Al-Waraq, 1999)
Echols, John M. dan Shadily Hassan, Kamus Inggeris Indonesia   (Cet. I; Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983),
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)
Ilyas, Yunahar, Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Qur’an; Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
Leila Ahmed, Wanita & Gender Dalam Islam, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000)
Lindsey, Linda L. Gender Roles a Sociological Perspective (New Jersey: Prentice Hall, 1990) .
Lips, Hilary  M.  Sex  &  Gender  an  Introduction  (California,  London, Toronto: Mayfield Publishing Company, 1993)
Muqoyyidin,  Andik Wahyun, Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Gerakan Feminisme Islam, Jurnal Al-Ulum STAIN Watampone, Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013
Neufeldt, Victoria,  (ed.),  Webster's  New  World  Dictionary  (New  York: Webster's New World Cleveland,1984)
Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dan Pustaka Pelajar, 1996), Hal. 2
Parsons, Alcott,  "The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press, 1975.
Ridlo, M. Subkhi, LSIP (Lembaga Studi Islam dan Politik) Perempuan, Agama dan Demokrasi, Cordaid, Cet.I, Yogyakarta Oktober 2007
Shofan, Moh. Menggugat Penafsiran Maskulinitas al-Qur’an: Menuju Kesetaraan Gender, dalam Jalan Ketiga Pemikiran Islam: Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006)
Suhra,  Sarifah,  Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam, Jurnal Al-Ulum STAIN Watampone, Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013 
Showalter, Elaine, (Ed.)., Speaking of Gender, (New York & London: Routledge, tt) Hal. 102.
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Para- madina, 2001)
Urry, John (2000). "Metaphors". Sociology beyond societies: mobilities for the twenty-first century. Routledge. p. 23. ISBN 978-0-415-19089-3.
Wilson, H.T.  Sex  and  Gender,  Making  Cultural  Sense  of  Civilization (Leiden, New York, Kobenhavn, Koln: EJ. Brill, 1989)
Zainuddin, Muhammad dan Maisaroh, Ismail. 2005. Posisi Wanita Dalam Sistem PolitikIslam

http://kepemimpinan-fisipuh.blogspot.com/2009/03/pengertian-pemimpin-dalam-bahasa.html diakses 28/10/2016.

http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/kesetaraan-gender-dalam-pandangan-islam.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Fungsionalisme_struktural#cite_note-1

http://nurhajs.blogspot.co.id/2013/11/gender-dalam-perspektif-islam.html
http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/04/kesetaraan-gender-dalam-pandangan-islam.html

http://mimbar.lppm.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/396/254 diakses 28/10/2016.

Tidak ada komentar: