Sabtu, 14 Desember 2013

Pemeliharaan Anak Yatim dalam perspektif AL-Qur'an

Konsep Pemeliharaan Anak Yatim Dalam Pespektif Al-Qur’an
Abstrak
    Setiap anak di dunia ini berhak mendapatkan perlindungan, perhatian, kasih sayang dan mendapatkan cinta dari orang tuanya. Terutama mereka dalam masa kanak-kanak yang indah, yang haus perhatian, kasih sayang, manja orang tuanya. Tapi, tak semua anak bisa merasakan hal tesebut, dikarenakan orang-orang yang seharusnya melindungi, mengasihi, menyayangi mereka kini telah tiada; menghadap Ilahi Robbi. Saat-saat dimana Tiada ada yang mengecup kening mereka, tiada ada yang mendekap mereka saat mereka kedinginan, tiada ada yang mengusap air mata mereka ketika sedang sedih. Oleh sebab itu, perlunya perhatian dari semua pihak dalam masalah pemeliharaan anak yatim.
    Pemeliharaan anak yatim yang ada saat ini, sering kali dipahami oleh sebagian masyarakat umum hanya sebatas pemberian dana santunan, oleh karena itu dibutuhkan konsep yang baik dalam hal ini, pertanyaannya konsep seperti apakah yang ideal dalam pemeliharaan anak yatim yang menjadikan anak yatim sebagai sumber daya manusia yang berprestasi dan berakhlaq mulia?
    "Sebaik-baik rumah kaum Muslimin ialah rumah yang di dalamnya anak yatim diperlakukan dengan sebaik-baiknya, dan sejelek-jelek rumah orang Islam ialah rumah yang di dalamnya anak yatim diperlakukan dengan jelek.(HR. Ibnu Mubarak, lihat juga tafsir Ibnu Katsir, h.509). sabda Rosulullah Shalallahu A’laihi Wasallam ini menjelaskan bahwa anak yatim haruslah dipelihara dengan baik. Diperhatikan seluruh kebutuhannya, baik pendidikan, kesehatan, dan kehidupannya.
Undang-undang Perlindungan Anak No.23 tahun 2002 ; Pasal 21;  Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.’’
Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada umat manusia agar mereka dapat hidup bahagia di dunia maupun akhirat serta dapat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Tidak terkecuali permasalahan pemeliharaan anak yatim,  Setidaknya ada 22 ayat yang pemakalah dapatkan dalam Al-Qur’an yang berkenaan tentang hal itu, jia disimpulkan pemeliharaan yang disebutkan tersebut meliputi : 1. Pemeliharaan hak beragama (hifzh al-dîn); 2. Pemeliharaan Jiwa (hifzh al-nafs); 3. Pemeliharaan akal (hifzh al-‘aql); 4. Pemeliharaan harta (hifzh al-mâl); 5. Pemeliharaan keturunan/ nasab (hifzh al-nasl) dan kehormatan (hifzh ‘ird). 
    Sesungguhnya pemerintah dan masyarakat telah saling membantu dalam pemeliharaan anak yatim. Sehingga tidak jarang banyak sekali bantuan sosial dari pemerintah yang diberikan kepada Yayasan, lembaga, organisasi masyarakat yang mengasuh anak yatim maupun piatu. Namun demikian, masih banyak permasalahan yang perlu diselesaikan. Misalnya, pendidikan anak yatim yang sering kali berakhir kepada ‘putus sekolah’ padahal bantuan pendidikan untuk mereka sangatlah banyak, yang seharusnya anak yatim mampu bersaing dalam dunia akademisi. Belum lagi permasalahan anak yatim sering kali menjadi korban kekerasan di masyarakat, begitu pula pengelolaan harta anak yatim yang sangat buruk di negeri ini, sehingga banyak harta ataupun bantuan-bantuan sosial untuk anak yatim yang raib entah kemana.
Dewasa ini, seluruh pihak yang bertanggung jawab ; baik pemerintah maupun masyakat hendaknya pertama; sama-sama berperan dalam menyebarkan pemahaman utuh tentang konsep pemeliharaan yang baik, yang mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua : harus adanya transparansi keuangan dalam pengelolaan dana, santunan, harta anak yatim dari yayasan, lembaga, ormas yang bersangkutan. Ketiga : seluruh tuntutan pembiayaan pendidikan, kesehatan, kehidupan anak yatim digratiskan dan semua ditanggung oleh Negara.






DAFTAR ISI
A.    Pendahuluaan
B.    Defenisi  Anak Yatim
C.    PEMBAHASAN
I.    Sekilas tentang Konsep Pemeliharaan Anak Yatim dari Perspektif ; Undang Undang di Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa ( Unicef )
1.    Konsep Pemeliharaan anak yatim dalam perspektif Undang Undang di Indonesia
2.    Konsep pemeliharaan anak yatim dalam perspektif Perserikatan Bangsa-Bangsa ( UNICEF )
3.    Konsep Pemeliharaan anak yatim dalam perspektif agama lain
a.    Agama Kristen
b.    Agama Hindu
c.    Agama Budha
d.    Agama Konghucu
D.    Konsep Al-Qur’an tentang pemeliharaan Anak Yatim   
a.    Konsep Pemeliharaan Anak Yatim dalam perspektif
b.    Hak-Hak Anak Yatim
E.    Penutup
1.    Kesimpulan
2.    Saran
3.    Referensi


Konsep Pemeliharaan Anak Yatim Dalam Pespektif Al-Qur’an
A.    Pendahuluaan
“Sesungguhnya Alquran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.”(Q. s., al-Isrâ [17]: 09).
Alquran memberikan petunjuk pada persoalan-persoalan akidah, syariah dan akhlak. Petunjuk inilah yang menjadikan agama Islam sebgai agama terbaik dan satu-satunya risalah umat yang abadi.
Salah satu tema pokok yang menjadi bahasan utama Alquran adalah permasalahan anak yatim. Dalam Alquran ada 22 ayat yang berkenaan dengan anak yatim, yaitu surah al-An’âm :  152, al-Isrâ  : 34, al-Fajr : 17, al-Dhuhâ : 6 dan 9, al-Ma’ûn :  2, al-Insân: 8, al-Balad : 15, al-Kahfi : 82, al-Baqarah: 83, 177, 215, dan 220, al-Nisâ : 2, 3, 6, 8, 10, 36, dan 127, al-Anfâl : 41, dan al-Hasyr :7

Pembinaan dan pengasuhan anak yatim harusnya Syamil, baik jasadi, aqli, ruhi.
B.    Seputar Anak Yatim
Pengertian Anak yatim
Kata “anak yatim” merupakan gabungan dari dua kata, yaitu “anak” dan “yatim”. Istilah “anak” dalam bahasa Arab disebut waladun dan jamaknya aulâdun yang berasal dari akar kata walada – yalidu – wilâdatan - maulidan.  Dalam bahasa Indonesia, anak berarti keturunan.
Kata al-yatīm berasal dari tiga akar, yaitu (1) yatama - yaitimu - yutman - yatman, (2) yatima - yaitamu - yutman - yatman, dan (3) yatuma - yaitumu - yutman - yatman. Secara etimologis, kata “yatim” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yutma – yatama – yatma yang berarti infirâd (kesendirian).  Yatîm merupakan isim fâ’il (menunjukkan pelaku) jamaknya yatâmâ atau aitâm.  Anak yatim berarti anak di bawah umur yang kehilangan ayah yang bertanggung jawab dalam perbelanjaan dan pendidikannya,  belum baligh (dewasa), baik ia kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan.   Senada dengan itu, Ibn Manzhur, dalam Lisān al-'Arab, menguraikan bahwa arti dasar dari al-yutmu adalah al-infirād (kesendirian) dan al-yatīmu adalah al-fardu (yang sendiri). Dengan demikian, ujar ar-Raghīb al-Ashfahānī dalam bukunya al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur'ān, setiap bentuk kesendirian disebut yatīm.
Selanjutnya, al-Ashfahānī menguraikan lebih jauh bahwa kata al-yutmu, jika ia dikenakan kepada manusia, menunjuk ke pengertian inqithā'u ash-shabīyyi 'an abīhi qabla bulūghihi (terputusnya seorang anak dari ayahnya --karena kematian sang ayah-- sebelum ia mencapai usia dewasa). Sebangun dengan penjelasan ini, Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menguraikan bahwa al-yatâmâ (anak-anak yatim) adalah mereka yang ayah-ayahnya telah wafat pada saat mereka sendiri masih lemah, belum dewasa, dan belum mampu bekerja.
Ahmad Mushthofâ al-Marâghiy dalam tafsirnya menyebutkan pengertian yatim, yakni seseorang yang ditinggal mati ayahnya secara mutlak (baik selagi masih kecil atau sebelum dewasa). Tetapi – lanjutnya – menurut tradisi adalah khusus untuk orang yang belum mencapai usia dewasa. 
Adapun anak yang bapak dan ibunya telah meninggal termasuk juga dalam kategori yatim dan biasanya disebut yatim piatu. Istilah yatim piatu ini hanya dikenal di Indonesia, sedangkan dalam literatur fiqh klasik hanya dikenal istilah yatim saja.  Santunan terhadap anak yatim piatu ini lebih diutamakan dari pada anak yatim, yang dalam kajian ushûl al-fiqh disebut mafhûm al-muwâfaqah fahwa al-khitâb (pemahaman yang sejalan dengan yang disebut, tetapi yang tidak disebut lebih utama). Hal ini disebabkan anak yatim piatu lebih memerlukan santunan daripada anak yatim. 
Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan anak yatim adalah anak kecil yang belum dewasa yang ditinggal mati ayahnya, sementara ia masih belum mampu mewujudkan kemashlahatan yang akan menjamin masa depannya. 
C.    PEMBAHASAN
Sekilas tentang Konsep Pemeliharaan Anak Yatim dari Perspektif ; Undang Undang di Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa ( Unicef )
1.    Konsep Pemeliharaan anak yatim dalam perspektif Undang Undang di Indonesia
sesungguhnya di dalam undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak tidak menyebutkan secara eksplisit anak yatim dengan kata ‘yatim’ atau ‘piatu’ atau semakna dengan itu akan tetapi dengan kata ‘anak’ pada umumnya yaitu anak yang masih berusia di bawah 18 tahun. Sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang pelindungan anak :
“Pasal 1 Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

“Pasal 21;  Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.’’
Namun demikian pemakalah mencoba untuk menyimpulkan dari undang-undang perlindungan anak yang berkaitan dengan tatacara pengasuhan, pengankatan anak, dan hak-hak anak yang dimaksudkan apabila anak itu diasuh oleh pihak lain selain orang tuanya.
Pemakalah mencoba mencantumkan undang-undang yang berkaitan dengan tema ‘pemeliharaan anak yatim’ yaitu pengasuhan dan pengangkatan anak dalam perspektif Undang-Undang  :
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak mengenai :
BAB VIII
PENGASUHAN DAN PENGANGKATAN ANAK

Bagian Kesatu
Pengasuhan Anak
Pasal 37
(1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.
(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan dan/atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu. (3) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) seyogyanya seagama dengan agama anak yang akan diasuh. (4) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan. (5) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan.(6) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam panti atau di luar panti sosial.


Pasal 38
(1) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. (2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak. 
     Tentunya, Pelaksanaan Undang-undang ini langsung dipantau Presiden Republik Indonesia melalui Komnas Perlindungan Anak sesuai dengan apa yang diatur oleh Undang-undang.
2. Konsep pemeliharaan anak yatim dalam perspektif Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengacu kepada ketentuan-ketentuan, Prinsip-prinsip Sosial dan Hukum yang terkait dengan Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, dengan Rujukan Khusus pada Pengangkatan Anak dan Adopsi secara Nasional maupun Internasinal, Ketentuan-Ketentuan Minimum PBB yang Baku bagi Pelaksanaan Penadilan Anak (ketentuan-ketentuan Beijing), dan Deklarasi tentang Perlindungan terhadap Wanita dan Anak-anak dalam Keadaan Darurat dan Konflik Bersenjata,
Mengakui bahwa, di semua negara di dunia, tendapat anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sangat sulit, dan bahwa anak-anak seperti itu membutuhkan perhatian khususMemperhatikan pentingnya nilai-nilai tradisi dan budaya dan setiap bangsa bagi perlindungan dan pengembangan anak yang serasi,
Mengakui pentingnya kerjasama internasional untuk meningkatkan kondisi kehidupan anak di setiap negara, khususnya di negara-negara berkembang,Telah menyetujui Konvensi Hak Anak. Anak yang dimaksudkan dalam konvensi ini adalah anak dengan makna umum tanpa melihat setatus apakah dia yatim atau tidak sebagaimana tertera pada  :BAGIAN I ( Pasal 1 ) “Yang dimaksud anak dalam Konvensi ini adalah setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai Iebih awal.”
    Senada dengan apa yang tertera pada undang-undang perlindungan Anak bahwa Negara dimintak untuk melindungi semua anak sebagaimana tertera di : Pasal 2. (1). Negara-negara Peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam Konvensi ini dan setiap anak dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa, asal-usul etnik atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau status lain dan anak atau dan orangtua anak atau walinya yang sah menurut hukum.
2. Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah yang layak untuk menjamin bahwa anak dilindungi terhadap semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada kedudukan, kegiatan, pendapat yang diekspresikan atau kepercayaan dan orangtua anak, walmnya yang sah, atau anggota keluarganya.
    Adapun konsep pengasuhan anak yang diatur dalam konvensi ini adalah sebagai berikut :
Pasal 9
1. Negara-negara Peserta akan menjamin bahwa seorang anak tidak akan dipisahkan dari orangtuanya diluar keinginan anak, kecuali bila pihak yang benwenang yang dapat melakukan peninjauan kembali menetapkan, sesuai dengan undang-undang dan prosedur yang berlaku, bahwa pemisahan tersebut diperlukan untuk kepentingan yang terbaik dari anak itu sendiri. Penetapan demikian mungkin diperlukan dalam suatu kasus khusus seperti kasus yang melibatkan penyalahgunaan atau penelantaran anak yang bersangkutan oleh orangtuanya, atau kasus dimana kedua orangtua anak hidup berpisah dan suatu keputusan harus diambil untuk menetapkan tempat tinggal anak tersebut.
    Dalam konvensi ini juga dijelaskan tentang tanggung jawab pengasuh anak, baik itu anak yatim atau yang lain :
Pasal 18
1. Negara-negara Peserta akan membuat upaya yang tenbaik guna menjamin pengakuan atas prinsip bahwa kedua orangtua memikul tanggungjawab bersama untuk membesarkan dan menumbuh kembangkan anak. Orang tua, atau kemungkinan, wali yang sah memikul tanggungjawab utama untuk membesarkan dan menumbuhkembangkan anak yang bersangkutan. Kepentingan terbaik dan anak akan menjadi perhatian utama orangtua atau wali.
2. Untuk menjamin dan meningkatkan hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini, Negara-negara Peserta akan memberi bantuan yang layak kepada orangtua dan wali yang sah dalam pelaksanaan tanggungjawab membesarkan anak dan akan menjamin pembangunan lembaga-lembaga, sarana-sarana dan pelayanan untuk perawatan anak
3. Negara-negara Peserta akan mengambil segala langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dan orangtua yang bekerja berhak untuk memperoleh manfaat dan jasa perawatan anak dan fasilitas-fasilitas yang berhak mereka peroleh. .
II.    Konsep Pemeliharaan anak yatim dalam perspektif agama lain
a.    Agama Kristen
Dalam Alkitab, kata Yatom ( י ת ו ם) yang diterjemahkan dengan kata yatim mempunyai arti menjadi sendiri. Kata ini diterjemahkan dengan όρφανος yang berarti tidak beribu dan tidak berbapa. Oleh karena itu sebutan “yatim” dalam Alkitab lebih cenderung menunjukkan pengertian’ tidak mempunyai orangtua’. Di pihak lain, kata yatim sering dihubungkan dengan janda (Ul 10:18; 24: 17f; 26:12, Yeh 22:7, Yak1:27, dll). Hal ini menunjukkan bahwa yatim termasuk orang yang lemah, tidak mampu, baik dari hukum maupun dari segi ekonomi.
Refleksi Teologis
Alkitab banyak menyebut akan tanggung jawab umat terhadap yatim piatu. Disini ada penekanan yaitu untuk mebela haknya, menegakkan keadilan bagi mereka (bnd. Kel 22:22; Ul 24:17; Yes 1:17), Allah sendiri membela dan menolong (Ul 10:18; Mzm 10:14; 68:6; 146:8), Allah akan murka kepada orang yang tidak mau membela yatim piatu (Yes 10:2; Yer 5:28). Yesus sangat senang menyambut anak-anak dan memberkatinya (Mat 19:13-15). Dengan tegas Yesus menyebutkan bahwa perbuatan kepada “yang hina” berarti juga merupakan perbuatan kepada diri-Nya sendiri (Mat 25:40). Berdasarkan ini jemaat mula-mula di himbau dan di dorong supaya melayani anak yatim piatu dengan sungguh dan disebut sebagai ibadah murni (Yak 1:27).
Berdasarkan ayat-ayat ini nyata bahwa anak yatim piatu adalah tanggung jawab bersama oleh umat Tuhan. Bukan hanya tanggung jawab, melainkan juga diperintahkan untuk melayani dan memperjuangkan hak, membantu dalam bidang sosial ekonomi dan religi. Dari kedua dasar itu bahwa anak yatim piatu adalah tanggung jawab bersama. Baik dalam masyarakat demikian juga berdasarkan Alkitab, bahwa umat Kristen harus melayani anak yatim piatu. Dengan begitu maka dalam kehidupan masa kini, sangat diperlukan perhatian terhadap anak yatim-piatu. Oleh karena itulah, berbagai usaha dilakukan seperti:
-    Program Pelayanan Gereja
-    Program Panti Asuhan
b.    Agama Hindu     
Dalam Agama Hindu ada sebuah Upacara ritual. Yang disebut Panca Yadnya ( 5 Upacara ) dalam upacara ini harus dipersembahkan korban suci yang disebut :Drewya Yadnya. Yaitu Suatu korban suci secara ikhlas dengan menggunakan barang-barang yang dimiliki kepada orang lain pada waktu, tempat, dan alamat yang tepat, demi kepentingan dan kesejahteraan bersama, masyarakat, Negara dan Bangsa. Pada umumnya Drewya Yadnya ini ditujukan kepada:
-  Orang sakit.
-  Orang yang menuntut ilmu.
- Anak- anak yatim-piatu.
-  Para tamu.
-  Para Pendeta.
-  Keluarga yang menderita karena ditinggal tugas.
    Pemalakah belum menemukan teks lain dalam kitab weda yang menjelaskan konsep pemeliharaan anak yatim.
c.    Agama Budha
sesungguhnya menemukan keterangan tentang pemeliharaan anak yatim pada ayat dalam Kitab Suci Budha tidaklah mudah,  (Tipitaka) Kesulitan ini dikarenakan banyaknya poin-poin dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, namun setidaknya pemakalah mendapatkan sedikit keterangan tentang pemeliharaan anak yatim dalam Sigalovada Sutta , sebagai seorang anak, ada 5 kewajiban kita kepada orang tua, yaitu ;
“O putra kepala keluarga, dalam lima cara seorang anak harus memperlakukan orang tuanya seperti arah Timur: dahulu aku dirawat oleh mereka, sekarang aku akan merawat mereka; aku akan memikul beban kewajiban-kewajiban mereka; aku akan mempertahankan keturunan dan tradisi keluarga; aku akan menjadikan diriku pantas menerima warisan; aku akan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan upacara agama setelah mereka meninggal dunia.”
O putra kepala keluarga, dalam lima cara inilah seorang anak memperlakukan orang tuanya seperti arah Timur. Dalam lima cara inilah orang tua menunjukkan kecintaan mereka kepadanya. Demikianlah arah timur ini dilindungi, diselamatkan dan diamankan olehnya.”
Dari teks di atas dapat disimpulkan bahwa bila seorang anak itu dapat berbuat baik kepada orang tuanya dengan lima hal diantaranya menyantuni anak yatim  :
melakukan perbuatan-perbuatan baik dan upacara agama setelah mereka meninggal dunia. Ketika orang tua meninggal dunia, anak wajib melakukan upacara agama. Selain itu anak juga harus melakukan pattidana atau pelimpahan jasa, misalnya  : “Berdana kepada korban bencana alam, anak yatim piatu, para tuna netra atau orang jompo”
d.    Agama Konghucu
     Pemakalah mendapatkan beberapa keterangan tentang anak yatim dalam Kitab Tiong Yong ; yaitu Kitab Suci Khonghucu sebagai berikut :
BAB X
Teraturnya Negara dan Kedamaian Dunia
Adapun yang dikatakan bahwa ‘kedamaian di dunia itu berpangkal pada teraturnya negara’ ialah :
“ bila para pemimpin dapat bersikap Cinta Kasih dan memperhatikan anak yatim piatu, niscaya rakyat juga tidak mau ketinggalan (mengikuti teladannya),
Itulah sebabnya maka dikatakan bahwa seorang Junzi mempunyai Jalan Suci yang bersifat siku. (Ajaran Besar 10.1)

III.    Konsep Al-Qur’an tentang pemeliharaan Anak Yatim
a.    Konsep Al-Quran tentang Pemeliharaan Anak Yatim
Sungguh problematika yang dihadapi anak yatim dalam masa kekinian amatlah kompleks dan memerlukan perhatian yang amat khusus. Dalam hal ini, agama Islam – dengan sumber utama pada ajaran Alquran – mengatur sedemikian rupa seluk beluk pemeliharaan anak yatim. Bentuk pemeliharaan akan dijabarkan dalam beberapa poin sebagai berikut:
1. Perawatan Diri Anak Yatim
Alquran memberikan perhatian yang amat besar pada anak yatim. Alquran memberikan tuntunan dengan menunjukkan jalan yang dapat ditempuh oleh seorang Muslim dalam memelihara anak yatim. Hal ini tidak lain agar seorang Muslim tidak terjebak dalam tata cara pengasuhan yang salah dan dapat menelantarkan si anak yatim, bahkan mungkin dirinya sendiri.
Salah satu cara agar tidak menelantarkan anak yatim yaitu dengan cara mengasuh mereka sesuai dengan tuntunan Alquran. Ayat-ayat yang memberikan informasi tentang perawatan diri anak yatim antara lain:
a. Surah Al-Baqarah [2] ayat 220
...وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللهُ لَأَعْنَتَكُمْ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ . (البقرة [2]: 220)
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim. Katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah hal yang baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu; dan Allah menegetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q. s., Al-Baqarah [2]: 220)
Dalam sebuah riwayat dikemukakan bahwa sebelum turunnya ayat-ayat tentang ancaman terhadap orang yang menzhalimi anak yatim, diceritakan ada sahabat Nabi yang bertakwa berusaha untuk menjauhi dosa tersebut dengan memisahkan makanan dan minumannya dari makanan dan minuman anak yatim. Jika makanan anak yatim itu bersisa, maka dibiarkannya sampai busuk karena takut dengan ancaman Allah jika makanan itu dimakannya. Lalu ia menghadap Rasulullah untuk menceritakan hal itu. Berdasarkan kejadian tersebut, turunlah ayat yang membenarkan penggunaan cara yang lebih baik dalam perawatan diri anak yatim. 
Sehubungan dengan ayat di atas, Ahmad Mushthofâ al-Marâghiy menjelaskan bahwa perlakuan yang baik terhadap anak yatim adalah semua hal yang dapat mendatangkan kemaslahatan untuk mereka, karena sebenarnya, bergaul dengan mereka dalam segala kegiatan, baik itu makan, minum maupun dalam hal usaha sama sekali tidak mendatangkan dosa. Anak yatim juga adalah saudara seagama. Makna persaudaraan dalam konteks ini adalah bergabung dalam masalah hak milik dan kehidupan. Artinya, persoalan makanan tak perlu dipermasalahkan. Hanya saja, pergaulan dengan mereka harus dilandasi dengan sikap saling memaafkan tanpa adanya keinginan untuk saling menguasai. 
Dalam ayat ini pula, Allah memperingatkan kepada manusia, bahwa Ia mengetahui segala apa yang ada dalam hati mereka, dengan maksud agar mereka selalu mawas diri dalam merawat anak yatim. Tak jarang, ketamakan membuat seseorang menjadi buta hati sehingga membuatnya ingin menguasai harta anak yatim dengan mengabaikan perawatan diri mereka, baik itu dalam hal makanan, minuman, dan segala hal lain, yang pada akhirnya justru akan merugikan anak yatim dan dirinya sendiri. 
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan merawat anak yatim dengan baik adalah memperlakukan mereka sebagaimana memperlakukan seorang anggota keluarga, tidak membedakan mereka dalam hal makanan, minuman, pakaian, sehingga anak yatim tidak merasa hina dan susah. Dengan bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap mereka, mereka akan merasakan sebagaimana kasih sayang kedua orang tua mereka dan akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda dari Allah swt bagi seorang Muslim yang mampu melaksanakan kewajiban tersebut. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda:
أَتُحِبُّ أَن يَلِيْنَ قَلْبُكَ , وَتُدْرِكَ حَاجَتَكَ ؟ ارْحَمْ الْيَتِيمَ , وَامْسَحْ رَأْسَهُ , وَأَطْعِمْهُ مِنْ طَعَامِكَ , يَلِنْ قَلْبُكَ وَتُدْرِكْ حَاجَتَكَ .
“Apakah kamu suka jika hatimu menjadi lembut serta terpenuhi segala keinginanmu? Sayangilah anak yatim, usaplah kepala mereka, serta beri makananlah mereka dari makananmu, niscaya hatimu akan lembut dan terpenuhi segala keinginanmu.” (H.R. al-Thabraniy dari Abu Darda) 
Dalam hadis di atas, Allah memberikan balasan bagi orang-orang yang bersedia mengasuh anak yatim berupa kelembutan hati dan terpenuhinya segala keinginan. Tentu saja, syarat yang paling utama untuk mendapatkan itu semua adalah keikhlasan hati dari seorang Muslim dalam merawat dan memelihara anak yatim.
b. Surah Al-Nisa [4] ayat 5
وَلاَ تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَاكْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفًا . (النساء [4]: 5)
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (anak-anak yatim) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah pada mereka kata-kata yang baik.” (Q. s., Al-Nisâ [4]: 5)
Dalam ayat di atas, terdapat perintah untuk merawat anak yatim, yakni dengan memberikan mereka pakaian dan rizki yang baik. Menurut Ahmad Mushthofâ al-Marâghiy, pengertian al-Rizqu disini adalah mencakup semua segi pembelanjaan, seperti makanan, tempat tinggal, kawin dan pakaian. Tetapi, yang disebutkan secara khusus hanyalah pakaian (al-kiswah), karena kebanyakan orang meremehkan masalah ini. Dalam ayat tersebut, digunakan istilah fîhâ bukan minhâ, sebagai isyarat yang menunjukan bahwa harta yang diambil sebagai objek rizki itu adalah melalui perniagaan, kemudian yang diberikan kepada anak yatim itu adalah keuntungan dari perniagaan tersebut, bukan dari modal. Karena jika diambil dari modal, maka otomatis harta mereka akan habis termakan. Artinya, para wali telah dipercayakan untuk mengurus harta anak yatim itu seperti halnya mereka mengurus harta mereka sendiri. Dengan demikian, mereka wajib untuk memenuhi segala kebutuhan si anak yatim tersebut. 
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam perawatan diri anak-anak yatim, mereka harus diberi makanan, pakaian serta jaminan tempat tinggal dan berbagai keperluan lainnya, yang kesemuanya diambil dari harta mereka sendiri. Ayat di atas ditujukan pada anak yatim yang memiliki harta warisan. Sementara ayat sebelumnya (al-Baqarah ayat 220), dijelaskan bahwa segala keperluan anak yatim ditanggung oleh si wali, dalam artian si anak yatim adalah orang miskin.
2. Pembinaan Pendidikan dan Moral Anak Yatim
Dalam ajaran Islam, pemeliharaan seorang anak tidaklah cukup hanya dengan nafkah lahirnya saja tanpa memperhatikan aspek pendidikan dan moralitas sang anak. Terlebih bagi anak yatim yang tidak memiliki orang tua lagi.
Alquran memberikan informasi mengenai pendidikan anak yatim antara lain:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيْلَ لاَتَعْبُدُوْا إِلاَّ اللهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبىَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَآتُوْا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلاَّ قَلِيْلاً مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُّعْرِضُوْنَ . (البقرة [2]: 83)
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil, yaitu: Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu selalu berpaling.” (Q. s., al-Baqarah [2]: 83)
Al-Marâghiy menjelaskan bahwa perintah berbuat baik pada anak yatim adalah dengan cara memperbaiki pendidikannya dan menjaga hak miliknya agar jangan sampai tersia-sia.  Dalam hal ini, Alquran dan Hadits Rasul penuh dengan wasiat untuk berbuat baik kepada anak yatim. Nabi besabda dalam salah satu hadisnya:
أَحَبُّ بُيُوتِكُمْ إِلَى اللهِ بَيْتٌ فِيْهِ يَتِيْمٌ مُكْرَمٌ .
“Rumah yang paling disukai oleh Allah adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang dimuliakan.” (H.R. Baihaqi dari Umar) 
Lebih lanjut al-Marâghiy menambahkan, rahasia yang terkandung dalam perintah untuk berbuat baik kepada anak yatim adalah bahwa pada umumnya anak yatim itu tidak memiliki orang yang dapat mengasihinya terutama dalam hal pendidikan dan pemenuhan-pemenuhan kebutuhannya serta pemeliharaan harta bendanya. Sedangkan ibunya, meskipun ia masih ada, tetapi pada umumnya kurang mantap dalam melakukan tugas mendidik anak dengan cara yang paling baik. Perlu dingat – lanjutnya – bahwa anak-anak yatim juga merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu umat atau bangsa. Apabila akhlak mereka rusak, maka akibatnya akan merambat kepada seluruh umat atau bangsa., sebab perbuatan mereka yang tidak baik merupakan akibat dari buruknya sistem pendidikan yang mereka tempuh, dan tentu saja hal ini akan berimbas pada terciptanya krisis akhlak di kalangan umat atau bangsa. 
Karenanya, kita harus menyadari bahwa anak yatim juga merupakan saudara kita. Kita patut bersyukur jika kita masih memiliki orang tua lengkap yang dapat mendidik kita dan membiayai pendidikan kita. Dan manifestasi dari syukur itu adalah dengan memperhatikan dan berbelas kasih pada anak yatim serta memperhatikan segala keperluan mereka agar mereka tidak merasa ditelantarkan. 
3. Investasi Harta Anak Yatim
Harta anak yatim adalah harta benda seorang anak yang telah ditinggal mati oleh ayahnya. Harta semacam ini tidak diperbolehkan agama untuk mengambilnya, walaupun si anak belum mengerti. Karena itu, selama anak tersebut belum dewasa, maka hartanya menjadi tanggung jawab kita sebagai orang Islam untuk menjaga dan memeliharanya. 
Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa pada suatu hari datang seorang sahabat dan bertanya pada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, aku ini orang miskin, tapi aku memelihara naka yatim dan hartanya, bolehkah aku makan dari harta anak yatim ini?” Rasulullah saw menjawab: “Makanlah dari harta anak yatim sekedar kewajaran, jangan berlebih-lebihan, jangan memubazirkan, jangan hartamu dicampur dengan harta anak yatim itu.” (H.R. Abu Dawud, al-Nasai, Ahmad dan Ibnu Majjah dari Abdullah bin Umar bin Khattab). Hadis ini menjelaskan bahwa memakan harta anak yatim diperbolehkan jika si pemelihara itu tidak mampu atau miskin. Apa yang dimakannya hanya sekedar upah lelah mengelola kepemilikan anak yatim itu. 
Alquran memberikan informasi yang lugas mengenai harta anak yatim, diantaranya:
Surah al-Nisâ [4] ayat 2:
وَآتُوْا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَتَبَدَّلُوْا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا . (النساء [4]: 2)
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, dan jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.” (Q. s., al-Nisâ [4]: 2)
Menurut al-Marâghiy, yang dimaksud dengan memberikan harta kepada anak-anak yatim adalah menjadikannya khusus untuk mereka, dan tidak boleh sedikit pun dimakan dengan cara yang batil (tidak sah). Para wali dan penerima wasiat (harta anak yatim), memiliki kewajiban untuk memeliharanya dan dilarang memperlakukannya dengan tidak baik. Sebab, anak yatim adalah orang lemah, tidak mampu memelihara hartanya sendiri dan mempertahankannya.
Dalam ayat di atas, juga dijelaskan larangan untuk mengganti harta halal, yaitu harta yang dihasilkan dengan jerih payah sendiri berkat kemurahan Allah, dengan harta yang haram, yaitu harta anak yatim yang dititipkan kepadanya. 
Dalam ayat diatas juga disebutkan istilah “memakan”. Yang dimaksud dengan istilah “memakan” ialah semua penggunaaan yang menghabiskan harta. Dan disini hanya disebutkan istilah memakan, karena sebagian besar penggunaan harta benda itu untuk tujuan makan.  Dengan demikian, yang dimaksud dengan larangan makan harta anak yatim adalah larangan untuk menghabiskan harta demi kepentingan pribadi.
b. Surah al-Nisâ [4] ayat 6:
وَابْتَلُوْا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوْا النِّكَاحِ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَأْكُلُوْهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوْا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللهِ حَسِيْبًا .
(النساء [4]: 6)
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah pada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas kesaksian itu).” (Q. s., al-Nisâ [4]: 6)
Ayat di atas menjelaskan tentang pemeliharaan harta anak yatim. Allah swt memberikan petunjuk kepada sang wali agar terlebih dahulu menguji kemampuan penggunaan harta anak yatim, sebelum hartanya diserahkan kepadanya. Kemudian, Allah melarang sang wali memakan sesuatu dari harta anak yatim secara berlebih-lebihan ketika anak yatim itu belum dewasa. Allah juga memerintahkan sang wali agar mengadakan saksi ketika serah terima, dan memperingatkan di akhir ayat agar sang wali ingat akan pengawasan Allah terhadap segala yang diperbuatnya atas harta anak yatim yang cenderung untuk kepentingan pribadi wali, karena semuanya kelak akan dihitung kembali di akhirat. 
c. Surah al-An’âm [6] ayat 152
وَلاَ تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلاَّ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ...(الأنعام [6]: 152)
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa…” (Q. s., al-An’âm [6]: 152)
Menurut al-Marâghiy, ayat di atas adalah merupakan larangan untuk mendekati harta anak yatim apabila berurusan atau bermuamalat dengannya, sekalipun dengan perantaraan wali ataupun wasiat, kecuali dengan perlakuan yang sebaik-baiknya dalam rangka memelihara kemaslahatan si anak yatim, baik itu untuk kepentingan pendidikan maupun pengajarannya. 
Dengan demikian, maksud ayat di atas adalah hendaknya harta anak yatim itu dipelihara dan janganlah mengizinkan si anak yatim itu menghambur-hamburkan hartanya, atau berlebih-lebihan dalam menggunakan hartanya, hingga ia dewasa. Apabila ia telah mencapai kedewasaan, maka hendaklah harta yang telah dititipkan itu diserahkan kembali kepada anak yatim tersebut. 
d. Surah al-Nisâ [4]: 10
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا . (النساء [4]: 10)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Q. s., al-Nisâ [4]: 10)
Al-Marâghiy menjelaskan bahwa zhulman dalam ayat ini artinya memakan hak-hak anak yatim dengan cara aniaya, tidak dengan cara baik-baik atau sekedar seperlunya, pada saat terpaksa atau dianggap sebagai upah pekerjaan pengasuh. Dan fî buthûnihim, artinya sepenuh perut mereka, dan nâran, artinya perbuatan yang menyebabkan seseorang merasakan azab neraka. 
Sedang menurut Sayyid Quthb, ayat ini menggambarkan perumpamaan orang yang memakan harta anak yatim dengan zhalim itu dengan gambaran yang menakutkan, gambaran api neraka di dalam perut dan gambaran api yang menyala-nyala sejauh mata memandang. Sesungguhnya harta anak-anak yatim yang mereka makan itu tidak lain adalah api neraka, dan mereka memakan api ini. Tempat kembali mereka adalah ke neraka yang membakar perut dan kulit mereka. Api di dalam dan api di luar. Itulah api neraka yang dipersonifikasikan. Sehingga, api neraka itu seakan-akan dirasakan oleh perut dan kulit, dan terlihat oleh mata, ketika ia membakar perut dan kulit.  
Keterangan di atas menunjukkan betapa Islam itu benar-benar melindungi serta memperhatikan anak yatim, dan memperingatkan pada umat Islam, seluruhnya tanpa terkecuali untuk berhati-hati jangan sampai memakan harta anak yatim tersebut. Dengan gambaran yang menakutkan serta ancaman yang keras, ayat ini bertjuan untuk mengingatkan agar para wali tidak berlaku semena-mena dengan harta anak yatim dan berupaya untuk menghindarkan diri dari ketamakan hati untuk menguasai harta anak yatim.
b.    Hak-hak Anak Yatim
Anak-anak – baik yang masih memiliki orang tua yang lengkap maupun yatim – adalah manusia masa depan yang dilahirkan oleh setiap ibu , yang “hitam putihnya” juga tidak terlepas dari pengaruh orang lain di lingkungan sekitarnya, terutama orang tua – bagi anak yang masih memiliki orang tua – maupun keluarga dan kerabat dekat.  Karena itu, anak yatim juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain seusianya. Mereka adalah “rijâl al-mustaqbal” yaitu generasi masa depan yang berkualitas. Hari depan umat dan bangsa kita semuanya tergantung pada mereka. Karenanya, untuk membentuk dirinya menjadi manusia yang tangguh dalam menghadapi tantangan persaingan pada era globalisasi serta arus informasi dan komunikasi yang akan datang, hak-hak mereka harus dipenuhi secara bertahap.
Berbicara mengenai hak-hak anak dalam Islam, pertama kali secara umum dibicarakan dalam apa yang disebut sebagai dharûriyyât khams (lima kebutuhan pokok). Lima hal yang perlu dipelihara sebagai hak setiap orang meliputi:
1. Pemeliharaan hak beragama (hifzh al-dîn);
2. Pemeliharaan Jiwa (hifzh al-nafs);
3. Pemeliharaan akal (hifzh al-‘aql);
4. Pemeliharaan harta (hifzh al-mâl);
5. Pemeliharaan keturunan/ nasab (hifzh al-nasl) dan kehormatan (hifzh ‘ird).
Sejak seorang anak lahir ke dunia, ia sudah memiliki hak asasi, yakni hak untuk memperoleh kasih sayang, kesehatan, pendidikan, serta bimbingan moral dari orang tuanya. Allah swt menyatakan hal ini dalam firman-Nya:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَتُكَلَّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ ...(البقرة [2]: 233)
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaran karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian…” (Q. s., al-Baqarah [2]: 233)
Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang anak berhak mendapat berbagai perawatan dan pendidikan sejak kecil hingga dewasa, menjadi generasi penerus para orang tua dan akhirnya menjadi pewaris langsung sifat-sifat utama kedua orang tuanya. 
Hak anak yang juga harus diperhatikan adalah tentang perawatan dirinya yang tentunya tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan akan sandang dan pangan saja, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan hidup lainnya, seperti kebutuhan akan tempat tinggal, obat-obatan, kesehatan, hiburan dan lain-lain. Kebutuhan jasmani harus dipenuhi, demikian juga kebutuhan rohani, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang, baik fisik maupun mentalnya.   Dalam hal ini, anak yatim yang telah kehilangan ayah yang bertanggung jawab atas dirinya, sehingga menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam dan yang menjadi pengasuhnya.
Hak anak untuk mendapatkan pendidikan juga merupakan hal yang amat penting dalam Islam, terutama bagi anak yatim. Mendidik anak yatim dengan baik adalah membimbing dan mengarahkan mereka kepada hal-hal yang baik lagi bermanfaat, dan memelihara serta memperingatkan mereka agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang merusak. 
Pendidikan moral dan agama anak yatim ini termasuk perkara yang wajib mendapatkan perhatian khusus dari para pemikir dan ulil amri di dalam umat. Diharapkan mereka tidak menjadi unsur perusak atau akar kesengsaraan dalam umat dengan menularkan benih-benih kerusakan akhlak mereka dalam pergaulan dengan umat lainnya. 
Selain hak atas pendidikan dan perawatan diri, anak juga mempunyai hak atas harta yang ditinggal orang tuanya, yang disebut harta warisan.   Pada zaman jahiliah, anak yatim diperlakukan seperti budak. Mereka tidak memiliki hak apapun; tidak mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan warisan. Namun ketika Islam datang, agama ini memberikan peraturan yang protektif terhadap masa depan anak yatim. Jika seorang anak ditinggal mati oleh orang tuanya, maka kaum kerabatnyalah yang mengurus hidupnya. Namun jika mereka tidak memiliki sanak famili, maka pemerintah dan umat Islamlah yang mengambil alih tugas ini. Mereka tidak hanya bertanggung jawab untuk merawatnya, namun juga mengurus hartanya. Kelak jika sang anak yatim telah dewasa, maka hartanya itu diserahkan sepenuhnya kepadanya. Dalam hal ini, si pengasuhnya itu tidak boleh memakan sedikitpun dari harta si anak yatim secara zalim. 
D.    Penutup
1.    Kesimpulan
• Anak yatim adalah anak kecil yang belum dewasa, laki-laki ataupun perempuan, yang ditinggal mati oleh ayahnya, sementara ia masih belum mampu mewujudkan kemaslahatan bagi masa depannya.
• Anak yatim juga memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya. Hanya saja, mereka memang memerlukan perhatian yang lebih, karena ketiadaan orang yang bertanggung jawab dalam menafkahi mereka. Selanjutnya tanggung jawab akan pemeliharaan mereka diserahkan sepenuhnya kepada keluarga terdekat mereka, dan jika tidak ada maka ia menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam.
• Alquran memberikan tuntunan tentang pemeliharaan anak yatim, meliputi:
1. Perawatan diri anak yatim, yakni memperlakukan mereka secara patut dan tidak membeda-bedakan dengan anggota keluarga lainnya, baik dalam hal pakaian, makan, minuman, maupun tempat tinggal, sehingga mereka tidak merasa terhina dan benar-benar dianggap sebagai bagian dari keluarga.
2. Pembinaan moral bagi anak yatim, yakni upaya untuk membantu mereka dari segi pendidikan dan pembinaan akhlak yang mulia. Anak yatim juga merupakan generasi penerus bangsa yang dipundaknyalah kelak tergantung kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Jika akhlak mereka buruk, maka akan berdampak pada masyarakat lain di sekitarnya.
3. Alquran memberikan tuntunan terhadap para wali anak yatim dalam penggunaan harta anak yatim dengan memberikan tanggung jawab pada mereka agar tidak mencampur adukkan harta wali yang kaya dengan harta anak yatim, untuk menghindarkan diri dari memakan hak anak yatim di luar ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Adapun bagi wali yang miskin, maka ia diperkenankan mempergunakan harta anak yatim itu apabila dalam keadaan terpaksa dan hanya seperlunya saja, dan berkeinginan untuk menggantinya jika ia sudah mampu. Wali juga harus mengadakan saksi saat tiba waktu pengembalian harta anak yatim, yakni ketika ia telah dewasa. Dan bagi orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, maka Allah telah menjanjikan pada mereka azab yang pedih, yang akan mereka rasakan kelak di akhirat.
2.    Saran
Memalui penjelesan singkat ini, setidaknya menambah wawasan kita tentang Syumuliyatul Islam dan keyakinan kita kepada Al-Qur’an, semakin lama Al-Qur’an digali kandungannya semakin banyak yang kita dapat, semakin jauh kita dari Al-Qur’an semakin jauh pula keberkahan ilmu dari diri kita, sudi kiranya ketika membaca makalah ini, pembaca member masukan dan komentar yang membangun, agar bila terdapat kesalahan ataupun kekeliruan dapat kita perbaiki bersama.
Adapun informasi dan referensi yang terbatas pada makalah ini, penulis mohon maaf, karena sesungguhnya tema pemeliharaan anak yatim ini, sangat menarik untuk didalami lagi, apalagi jika permasalahannya dilihat dari berbagai aspek. Semoga bermanfaat.













Referensi
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Qâmûs Al-‘Ashriy ( Kamus Kontemporer) Arab-Indonesia, cet. IV, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998.
Bachtiar, Siti Aisyah Nurmi, Hak Anak dalam Konvensi dan Realita, No. 03, Tahun XIV, Jakarta: Majalah Hidayatullah, 2001.
Bâqi, Fu’ad ‘Abd al-, Al-Mu’jam al-Mufahraz li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Indonesia: Maktabah Dahlan, t. th.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Farmawiy, Abd al-Hayy al-, Al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’iy, Dirâsah Manhajiyyah Maudhû’iyyah, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dengan judul Metode Tafsir Mawdhu’iy (Studi Pengantar), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Hasyimi, ‘Abd al-Hamid al-, al-Rasûlu al-‘Arabiyyu al- Murabbiy, diterjemahkan oleh Ibn Ibrahim dengan judul Mendidik Ala Rasulullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
Hazin, Nur Kholif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Terbit Terang, 1994.
Hayat, Zakiyatul, Pemeliharaan Anak Yatim Dalam Persfektif Alquran, Skripsi, Banjarmasin: IAIN Antasari, 2002.
Hidayat, Rachmat Taufiq, Khazanah Istilah Alquran, Bandung: Mizan, 1999.
HS, Fachruddin dan Irfan Fachruddin (penerj.), Pilihan Sabda Rasul (Hadis-hadis Pilihan), Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Jurjâniy, ‘Aliy ibn’ Muhammad al-, Kitab al-Ta’rîfât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1408 H/ 1988 M.
Lopa, Baharuddin, Alquran dan Hak-hak Azasi Manusia, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999.
Marâghiy, Ahmad Mushtofâ al-, Tafsir Al-Marâghiy, diterjemahkan oleh Bahran Abu Bakar dan Hery Noer Aly, cet. I, juz. I, II, IV, VIII, XII, Semarang: Toha Putra, 1986.
Math, Muhammad Faiz al-, Min Mu’jizât al-Islâm, diterjemahkan oleh Masykur Halim dengan judul Keistimewaan-keistimewaan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Mujieb, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
M.Z, Labib dan Muhtadin, 90 Dosa-dosa Besar, Surabaya: Tiga Dua, 1994.
Quthb, Sayyid , Fî Zhilâl al-Qur’ân, diterjemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil dan Muchotob Hamzah dengan judul Tafsir Fi Zhilal Alquran: Di bawah Naungan Alquran, jilid II dan IV, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan Alquran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XXII, Jakarta: Mizan, 2001.
Syaltut, Mahmud , Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, diterjemahkan oleh Herry Noer Ali dengan judul Tafsir Alquran al-Karim (Pendekatan Syaltut dalam Menggali Esensi Alquran), Bandung: Diponegoro, 1990.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, cet. ke-3, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, cet. I, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran Alquran, 1973.
http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=134:konvensi-hak-anak&catid=104:konvensi&Itemid=139
http://dehangbalinuse.blogspot.com/2013/01/tigakerangka-dasar-agama-hindu-d-alam.html
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/sigalovada-sutta/
http://ipgabi.blogspot.com/2009/05/kewajiban-anak-kepada-orang-tua.html


Tidak ada komentar: