Kamis, 04 Mei 2017

*Tawuran; budaya Jahiliyah yang berbahaya*

Oleh Derysmono
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tawuran adalah perkelahian beramai-ramai; perkelahian massal: tiba-tiba terjadi -- antara kedua keluarga yang berselisih itu. Dalam hal ini Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam situsnya www.kpai.go.id mengatakan, Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
dari data yang ada menunjukkan bahwa, Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus. (sumber; www.kpai.go.id) dan kabar terakhir ini di Klaten, beberapa pelajar terlibat tawuran lihat; www.merdeka.com/…/tawuran-usai-kelulusan-11-pelajar-sma-mas….
Sungguh kejadian-kejadian ini mencoreng wajah pendidikan di Negeri kita, sudah seharusnya pemerintah yang mengusung tema “Revolusi mental” untuk merealisasikannya. Jika tidak maka tawuran-tawuran lainnya juga akan kembali terjadi dan tentunya banyak pihak akan rugi.
Lalu bagaimana sikap Islam dalam merespon masalah ini?

Allah berfirman,
“... dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar...” (QS.Al-An’am:151) dalam Ayat lain Allah juga berfirman; “...Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32)
Menurut para ahli tafsir, diantaranya adalah Ibnu Katsir rahimahullah, beliau mengatakan bahwa ayat ini berisi pelarangan keras agar seseorang tidak membunuh orang lain baik ia muslim maupun Non muslim yang dilindungi. Sebagaimana yang dinyatakan dalam shahih bukhari. Hal ini juga oleh beberapa ahli tafsir lainnya.
Jika kita memahami ayat ini maka perbuatan “tawuran” merupakan bagian dari melukai atau membunuh orang lain bahkan saling bunuh. Dan ini haram hukumnya.
Menurut KPAI, bahwa Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. (sumber:www.kpai.go.id)
Dari pemaparan di atas, maka kondisi seperti ini hampir mirip dengan kondisi jahiliyah yang mana pada saat itu orang-orang suka berperang, diantaranya bangsa Arab. Misalkan ada Perang Bu’ats yang terjadi antara Suku Aus dan Khazraj, Perang Fijar yang berlangsung antara Qays ‘Ilan melawan Kinanah dan Quraisy. Dan lain-lain. Dan jika kita lihat lebih dalam lagi kenapa perang-perang tersebut dapat terjadi belasan bahkan puluhan tahun lamanya. Diantaranya; “Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.” Maka, di dalam Islam, Fanatisme golongan itu dilarang, karena membuat orang saling membenci, melukai, membunuh dan seterusnya.
Allah ta’ala berfirman,
“...dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Kita dilarang saling tolong menolong dalam keburukan dan kebatilan, saling tolong menolong dalam tawuran, permusuhan, apa pun alasannya.
Semoga Allah memberikan perlindungan kepada bangsa ini, dan men jadikan pemuda-pemudanya sebagai generasi terbaik, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an, “Fityatun Aamanu birobbihim wa zidnahum huda” artinya pemuda yang beriman kepada Tuhannya dan kami tambahkan keimanan itu dengan hidayah.
Dalam menyikapi masalah ini, ada 4 hal yang ingin diberikan oleh penulis,
Pertama; bagi pemerintah harus ada upaya mewujudkan Kota Aman dari Tawuran atau kota ramah anak. Yang Alhamdulillah sudah sebagian wilayah yang mencoba menerapkan itu dan pemerintah pusat sudah seharusnya menjadikan ini sebagai program nasional. Dan dalam wujudkan ini, semua elemen harus berkontribusi baik pihak pemerintah pusat hingga tingkat bawah seperti rt dan rw. Dan jika di sekolah tentunya wali kelas atau ketua kelas.
Kedua; “revolusi mental” tidaklah cukup, tapi butuh juga “revolusi ruhiyyah” yaitu bagaimana meningkatkan kesadaran beragama seseorang agar lebih termotivasi berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk terutama tawuran. Dalam hal ini, perlunya peran Ulama, Ustazd, guru dan para pemuka agama yang ada dengan lebih menekankan lagi akan bahaya tawuran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga; Pentingnya menanamkan pemahaman yang komperhensif tetang “kepahlawan” atau “keberanian“ atau “Kejagoan”. Dari pemahaman yang menyimpang kepada pemahaman yang baik. Karena biasanya mereka yang tawuran, seolah-seolah menunjukkan mereka itu “jagoan” atau “berani” dan sebagainya.
Keempat: Perang orang tua sangat penting sekali dalam membantuk pribadi seorang anak. Terkadang mereka yang ikut nge-genk (berkelompok) biasanya kurangnya perhatian dari orang tuanya. Sehingga pelampiasan dari kurang perhatian ini tersalurkan melalui “tawuran”. Padahal “tawuran” itu merusak.
Demikian, semoga tulisan singkat ini bermanfaat untuk pembaca sekalian. Allahumma Shallahi A’la Muhammad Wa A’la A’lihi Washahbihi Ajma’in. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar: