Sabtu, 19 Mei 2012

Notes Shubuh: “Mau ga mau perbedaan itu tetap ada”

“Pak Ustadz, kenapa sih harus ada banyak mazhab? Kenapa tidak kita kembalikan saja kepada al-Qur’an dan Hadits yang udah jelas-jelas itu?”begitu tanya salah satu jama’ah Masjid al-Ikhlash Jatipadag, tadi subuh ketika penulis mendapat kesempatan menjadi pembicara kajian subuh disana.

Menjadi kebahagiaan tersendiri bisa hadir bersama disana, bersama para jama’ah yang cerdas-cerdas dan kritis dan tetunya bersama pengurus masjid yang profesional. Tidak heran jika Masjid al-Ikhash Jatipadang ini menjadi Masjid nomer wahid se DKI Jakarta nominasi Masjid Masyarakat.

Penulis hanya menjadi pengganti, kebetulan pembicaranya berhalangan hadir, beliau adalah dosen kita di LIPIA Jakarta, beliau sering mengisi kajian sejarah disana, namun ketika penulis diminta untuk menggantikan beliau, penulis menawarkan untuk mengganti tema sejarah dengan tema fiqih, dan begitulah akhirnya, subuh tadi kita berbicara mengenai “Fiqih Subuh”

Semua yang berkaitan tentang subuh penulis sampaikan, tentunya dengan berbasiskan fiqih perbandingan (Fiqih Muqoronah), mulai dari penamaan sholat subuh, waktunya, adzan, bacaannya, terakhir tentag qunut.

Dari awal, jama’ah sudah kelihatan mengkerutkan dahi, mungkin merasa heran, karena dari awal hingga akhir semua permasalahan termasuk dalam perkara yang diperdebatkan.

Misalnya saja dalam perkara mana yang lebih afdhol, apakah sholat subuh diwal waktu? Atau sedikit diakhirkan? Yang dalam bahasa fiqih lebih dikenal dengan istilah at-Taghlis wa al-Isfar.

Jumhur Ulama (Maliki, Syafi’I, dan Ahamad) berpendapat bahwa awal waktu itu yang lebih utama. Maksuda adalalah ketika waktu subuh telah datang dan adzan sudah dikumandangkan maka setelah itu juga harus dilakukan sholat subuh. Dengan meberi jedah sedikit untuk mereka yang mau mengerkajan dua roka’at sebelum subuh.

Jumhur ulama berdalihkan keumuman hadits nabi yang mengatakan bahwa “Pekerjaan yang paling baik itu adalah sholat pada waktunya”.

Namun Imam Abu Hanifah malah mengungkapkan bahwa yang paling baik itu adalah sedikit menunda waktu subuh samapai agak sdikit terang, jangn terlalau gelap. Atau dalam bahasa fiqihnya disebut dengan istilah al-Isfar.

Dan yang pasti Imam Abu Hanifah ketika berpendapat seperti ini tidak dengan hawa nafsunya, beliau juga bersandar kepada hadits nabi yang mengatakan:

أسفروا بالفجر فإنه أعظم للأجر

Artinya: “Akhirkanlah sedikit waktu subuh hingga sedikit terang, karena sesunggunya yang demikina lebih besar pahalanya”

Nah, sampai batasan ini saja sudah ada perbedaan. Belum lagi masalah qunut yang sampai tiga bahkan empat pendapat. Pendapat yang meniadakan, memustahabkan, menyunnahkan, dan bahkan dikalangan syafi’iyyah ada yang mewajibkan.

Setelah penjelasan mengenai qunut ini selesai, barulah dimulai diskusinya. Hingga ada yang mengacungkan jarinya dan bertanya seperti pertanyaa diatas. Dan ada lagi pertnyaan lainnya. Dan ada lagi Bapak-bapak yang bersikeras “Pokoknya ga ada qunut, Pak Ustadz” :-)

Mengapa berbeda, mengapa tidak dikembalikan al-Qur’an dan Hadits?

Lho.. memangnya perbedaan diantara para ulama’ itu tidak berlandaskan al-Qur’an atau hadits, Pak? Begitu sederhanaya jawab penulis. Mau atau ga mau perbedaan itu harus tetap ada.

Yang subuhny memakai qunut ada dalil dari haditsya, dan yang tidak memakai qunut juga ada dalil dari haditsnya, dan dua-duanya adalah hadits nabi yang harus diyakini kebenarannya. Jangan sampai gara-gara terlalu ta’asshub terhadap golongan kita malah terjebak kepada kasus inkar hadits. Bahaya,Bung.

Karena memang perbedaan itu sudah PASTI tidak bisa kita hindari, maka yang harus jadi perhatian itu adalah bagaimana membangun pribadi-pribadi yang berjiwa besar untuk menerima perbedaan itu. Dan yang lebih penting adlah bagaimana semua periau kita berlandaskan ilmu pengetahuan.

Jangan sampai gara-gara “ga tau fiqih” lalu se’ena’e dewe mengatakan bahwa mereka salah, bid’ah, masuk nerakah, ga usah sholat di Masjid A, mereka begini, begini, begini. Heemm… ngeri sekali.

So.. yang salah bukan dari uama’-ulama’ kita. Yang salah juga bukan dari al-Qur’an dan Haditsnya. Yang salah adalah kita semua yang kurang mau belajar, khususnya perkara fiqih. Belajar fiqih hanya lewat TV sangat memprihatinkan sekali, apa lagi belajar fiqih lewat majalah, aduhh… kurang sekali.

Sebelum petanyaan itu lebih banyak lagi akhirnya penulis buru-buru pengajaian itu, berharap ada rasa penasaran dihati mereka untuk lebih mendalamai perkara fiqih ini.

Dan akhirnya penulis juga harus menyudahi tulisan ini, lain kali kita sambung lagi yah.. :-)

Wallahu A’lam Bisshowab
Saiyid Mahadhir

Tidak ada komentar: