Notes Shubuh: “Mau ga mau perbedaan itu tetap ada”
“Pak Ustadz, kenapa sih harus ada banyak mazhab? Kenapa tidak kita
kembalikan saja kepada al-Qur’an dan Hadits yang udah jelas-jelas
itu?”begitu tanya salah satu jama’ah Masjid al-Ikhlash Jatipadag, tadi
subuh ketika penulis mendapat kesempatan menjadi pembicara kajian subuh
disana.
Menjadi kebahagiaan tersendiri bisa hadir bersama
disana, bersama para jama’ah yang cerdas-cerdas dan kritis dan tetunya
bersama pengurus masjid yang profesional. Tidak heran jika Masjid
al-Ikhash Jatipadang ini menjadi Masjid nomer wahid se DKI Jakarta
nominasi Masjid Masyarakat.
Penulis hanya menjadi pengganti,
kebetulan pembicaranya berhalangan hadir, beliau adalah dosen kita di
LIPIA Jakarta, beliau sering mengisi kajian sejarah disana, namun ketika
penulis diminta untuk menggantikan beliau, penulis menawarkan untuk
mengganti tema sejarah dengan tema fiqih, dan begitulah akhirnya, subuh
tadi kita berbicara mengenai “Fiqih Subuh”
Semua yang
berkaitan tentang subuh penulis sampaikan, tentunya dengan berbasiskan
fiqih perbandingan (Fiqih Muqoronah), mulai dari penamaan sholat subuh,
waktunya, adzan, bacaannya, terakhir tentag qunut.
Dari awal,
jama’ah sudah kelihatan mengkerutkan dahi, mungkin merasa heran, karena
dari awal hingga akhir semua permasalahan termasuk dalam perkara yang
diperdebatkan.
Misalnya saja dalam perkara mana yang lebih
afdhol, apakah sholat subuh diwal waktu? Atau sedikit diakhirkan? Yang
dalam bahasa fiqih lebih dikenal dengan istilah at-Taghlis wa al-Isfar.
Jumhur Ulama (Maliki, Syafi’I, dan Ahamad) berpendapat bahwa awal waktu
itu yang lebih utama. Maksuda adalalah ketika waktu subuh telah datang
dan adzan sudah dikumandangkan maka setelah itu juga harus dilakukan
sholat subuh. Dengan meberi jedah sedikit untuk mereka yang mau
mengerkajan dua roka’at sebelum subuh.
Jumhur ulama
berdalihkan keumuman hadits nabi yang mengatakan bahwa “Pekerjaan yang
paling baik itu adalah sholat pada waktunya”.
Namun Imam Abu
Hanifah malah mengungkapkan bahwa yang paling baik itu adalah sedikit
menunda waktu subuh samapai agak sdikit terang, jangn terlalau gelap.
Atau dalam bahasa fiqihnya disebut dengan istilah al-Isfar.
Dan yang pasti Imam Abu Hanifah ketika berpendapat seperti ini tidak
dengan hawa nafsunya, beliau juga bersandar kepada hadits nabi yang
mengatakan:
أسفروا بالفجر فإنه أعظم للأجر
Artinya: “Akhirkanlah sedikit waktu subuh hingga sedikit terang, karena sesunggunya yang demikina lebih besar pahalanya”
Nah, sampai batasan ini saja sudah ada perbedaan. Belum lagi masalah
qunut yang sampai tiga bahkan empat pendapat. Pendapat yang meniadakan,
memustahabkan, menyunnahkan, dan bahkan dikalangan syafi’iyyah ada yang
mewajibkan.
Setelah penjelasan mengenai qunut ini selesai,
barulah dimulai diskusinya. Hingga ada yang mengacungkan jarinya dan
bertanya seperti pertanyaa diatas. Dan ada lagi pertnyaan lainnya. Dan
ada lagi Bapak-bapak yang bersikeras “Pokoknya ga ada qunut, Pak Ustadz”
:-)
Mengapa berbeda, mengapa tidak dikembalikan al-Qur’an dan Hadits?
Lho.. memangnya perbedaan diantara para ulama’ itu tidak berlandaskan
al-Qur’an atau hadits, Pak? Begitu sederhanaya jawab penulis. Mau atau
ga mau perbedaan itu harus tetap ada.
Yang subuhny memakai
qunut ada dalil dari haditsya, dan yang tidak memakai qunut juga ada
dalil dari haditsnya, dan dua-duanya adalah hadits nabi yang harus
diyakini kebenarannya. Jangan sampai gara-gara terlalu ta’asshub
terhadap golongan kita malah terjebak kepada kasus inkar hadits.
Bahaya,Bung.
Karena memang perbedaan itu sudah PASTI tidak
bisa kita hindari, maka yang harus jadi perhatian itu adalah bagaimana
membangun pribadi-pribadi yang berjiwa besar untuk menerima perbedaan
itu. Dan yang lebih penting adlah bagaimana semua periau kita
berlandaskan ilmu pengetahuan.
Jangan sampai gara-gara “ga tau
fiqih” lalu se’ena’e dewe mengatakan bahwa mereka salah, bid’ah, masuk
nerakah, ga usah sholat di Masjid A, mereka begini, begini, begini.
Heemm… ngeri sekali.
So.. yang salah bukan dari uama’-ulama’
kita. Yang salah juga bukan dari al-Qur’an dan Haditsnya. Yang salah
adalah kita semua yang kurang mau belajar, khususnya perkara fiqih.
Belajar fiqih hanya lewat TV sangat memprihatinkan sekali, apa lagi
belajar fiqih lewat majalah, aduhh… kurang sekali.
Sebelum
petanyaan itu lebih banyak lagi akhirnya penulis buru-buru pengajaian
itu, berharap ada rasa penasaran dihati mereka untuk lebih mendalamai
perkara fiqih ini.
Dan akhirnya penulis juga harus menyudahi tulisan ini, lain kali kita sambung lagi yah.. :-)
Wallahu A’lam Bisshowab
Saiyid Mahadhir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar