Rabu, 20 Juni 2012

Musafir: Bagusnya Puasa atau Berbuka? penulis : M. Sayid Mahadir

Musafir itu adalah orang yang sedang dalam perjalanan, perjalanan disini bukan perjalanan yang singkat, jika pejalanan dari Pulo gadung mengarah ke Snayan Kota maka itu belum dinamakan safar. Jumhur ulama’ sering mengungkap bahwa musafir itu adalah orang yang menempuh perjalan yang jauh, sehingga dia dibolehkan untuk menjama’ dan mengqoshor sholat. Setidaknya riwayat yang masyhur dari kalangan Syafi’iyyah jaraknya tidak boleh kurang dari 83 km.

Jika mudik dari Jakarta ke Palembang, sepertinya ini sudah masuk dalam katagori safar, dan orang yang melakukan perjalanan itu dinamakan musafir. Nah, jika dalam kondisi seperti nanti di bulan puasa, kira-kira bagusnya tetap berpuasa atau berbuka saja?

Yang jelas, jika seorang musafir berpuasa, puasanya itu sah, ini menurut Jumhur Ulama’, karena memang ada sebagian pendapat yang menganggap bahwa puasa orang musafir itu tidak sah, dan mereka tetap harus mengqodho’nya walaupun mereka sudah berpuasa, menurut pendapat ini, mereka sedang melakukan perjalanan itu wajib berbuka, tnapa membedakan kodisi perjalanannya. Pendapat ini dimotori oleh kelompok Zhohiri, yang pimpinannya kita kenal dengan Ibnu Hazm.

Beberapa Kondisi Perjalan

Pertama: Perjalanan yang tidak meng-enakkan.

Tidak mengenakkan baik dari sisi cuaca, atau perjalan dengan menggunakan kendaraan yang tidak mnyaman. Kondisi pertama misalnya melakukan perjalan dalam keadaan musim panas dan kemarau, sehingga baru 1 jam perjalan kita sudah merasa habis tenaga, atau akses perjalanannya hanya bisa ditempuh denga sepeda, atau dengan perahu dan semisalnya, sehingga kita membutuhkan banyak tenaga untuk bisa samapai ke rumah.

Dalam kondisi seperti ini para Ulama’ memberikan pendapat berbuka lebih bak baginya ketimbang puasa, landasannya adalah hadits yang menceritan bahwa pernah sekali Ramadhan Rosul saw. melihat seseorang dalam kondisi yang lemah ditengah keramain, lalu Rosul saw. bertanya: “Kenapa ini”? Sedang puasa ya Rosul”, begitu jelas orang-orang disekitanya. Lalu Rosul saw. mengatakan:

ليس من البر الصوم في السفر

“Bukanlah sebuah kebaikan berpusa dalam kondisi safar” (HR. Bukhori Muslim)

Para Ulama’ berpendapat bahwa hadits ini berlaku dalam kondisi perjalanan yang tidak mengenakkan seperti yang diatas. Akan tetapi jika perjalanannya mengenakkan tidak demikian.
Kedua: Perjalanan yang mengenakkan

Misalnya perjalan yang ditempuh dengan pesawat terbang, pesawat Garuda lagi (bukan iklan:-) ), jaraknya juga tidak berjam-jam, cuacanya juga bagus, pokoknya semuanya bagus, sehingga sebab perjalanan itu serasa tidak ada. Tau-tau sudah sampai.

Dalam kondisi seperti ini berpuasa lebih baik, begitu tutur Ulama’. Walaupun sah-sah saja sih kalau mau berbuka. Mereka berlandsakan keumuman ayat:

وأن تصوموا خير لكم

“Dan berpuasa itu lebih bak bagi kalian” (QS. al-Baqoroh: 184)
Ketiga: Perjalan dalam kondisi yang sangat tidak mengenakkan dan bahkan rasanya sudah tidak kuasa untuk bertahan.

Jika semua hal yang tidak mengenakkan sudah bercampur dalam perjalanan, kondisi cuaca yang sangat panas, belum lagi kondisi kendaraan yang digunakan juga lemot, ditambah kondisi badan yang semakin melemah, maka dalam hal ini Ulama’ berpendat malah wajib untuk berbuka dan dilarang untuk melanjutkan puasa.

Pernah suatu waktu, ketika itu Rosul saw. keluar bersama para sahabat dalam ekpedisi penaklukan kota mekkah (Fathu Makkah), kondisi alam sangat panas, belum lagi ditambah dengan panasnya padang pasir, sehingga Nabi dan para sahabat seakan lemah sekali, dan tatkala sampai di sebuah tempat yang dikenal dengan Kuro’ al-Ghomim, Rosul saw. meninta kepada para sahabat untuk dihadirkan air, lal Rosul saw. mengankat air itu agar bisa dilihat oleh para sahabat, alu Rosul saw. membatalkan puasanya dan berbuka. Tak urung yag lainpun ikut berbuka.

Tapi tak lama ada sebagian sahabat yang berujar, “Ya, Rosul, spertinya sahabat yang lain masih ada yang berpuasa”, lalu Rosul saw. bersabda:

ألئك العصاة، ألئك العصاة،

" Mereka itu (yang masih puasa) adalah orang-orang yang bermaksiat, dan mereka itu (yang masih puasa) dalah orangorang yang bermaksiat” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits inilah yang dijadikan landasan oleh para Ulama’ agar mereka berbuka saja dan mmang harus berbuka, jika kondisi perjalanan itu dikhwatirkan bisa berujung kepada kematian.

Secara umum memang kondisi safar itu mendapat keringan untuk tidak berpuasa, berpuasa boleh tidak berpuasa juga boleh. Untuk itu perilaku saling menyalahkan juga tidak dibenarkan. Bagi yang mau berbuka silahkan, hanya saja mereka juga harus tetap menghormati orang yang masih berpuasa, dengan tidak seenaknya menyantap makanan di tegah keramain orang, dan semisalnya.

Pun begitu bagi yang berpuasa, jangan merasa paling benar dan paling sholeh ketika melihat teman kita yang berbuka dalam kondisi perjalanan.

Secara umum Rosul saw. pernah bersabda teruntuk bagi mereka yang musafir: “Jika kalian mau, maka berpuasalah, atau jika kalian mau, silahkan untuk berbuka” (HR. Bukhori dan Muslim)

wallahu A’lam Bis Showab

Saiyid Mahadhir

“Menuju Ramadhan dengan Keilmuan”
Twitter: @SaiyidMahadhir
0857 187 325 86 (sms)

Tidak ada komentar: