Musafir: Bagusnya Puasa atau Berbuka? penulis : M. Sayid Mahadir
Musafir itu adalah orang yang sedang dalam perjalanan, perjalanan
disini bukan perjalanan yang singkat, jika pejalanan dari Pulo gadung
mengarah ke Snayan Kota maka itu belum dinamakan safar. Jumhur ulama’
sering mengungkap bahwa musafir itu adalah orang yang menempuh perjalan
yang jauh, sehingga dia dibolehkan untuk menjama’ dan mengqoshor sholat.
Setidaknya riwayat yang masyhur dari kalangan Syafi’iyyah jaraknya
tidak boleh kurang dari 83 km.
Jika mudik dari Jakarta ke
Palembang, sepertinya ini sudah masuk dalam katagori safar, dan orang
yang melakukan perjalanan itu dinamakan musafir. Nah, jika dalam kondisi
seperti nanti di bulan puasa, kira-kira bagusnya tetap berpuasa atau
berbuka saja?
Yang jelas, jika seorang musafir berpuasa,
puasanya itu sah, ini menurut Jumhur Ulama’, karena memang ada sebagian
pendapat yang menganggap bahwa puasa orang musafir itu tidak sah, dan
mereka tetap harus mengqodho’nya walaupun mereka sudah berpuasa, menurut
pendapat ini, mereka sedang melakukan perjalanan itu wajib berbuka,
tnapa membedakan kodisi perjalanannya. Pendapat ini dimotori oleh
kelompok Zhohiri, yang pimpinannya kita kenal dengan Ibnu Hazm.
Beberapa Kondisi Perjalan
Pertama: Perjalanan yang tidak meng-enakkan.
Tidak mengenakkan baik dari sisi cuaca, atau perjalan dengan
menggunakan kendaraan yang tidak mnyaman. Kondisi pertama misalnya
melakukan perjalan dalam keadaan musim panas dan kemarau, sehingga baru 1
jam perjalan kita sudah merasa habis tenaga, atau akses perjalanannya
hanya bisa ditempuh denga sepeda, atau dengan perahu dan semisalnya,
sehingga kita membutuhkan banyak tenaga untuk bisa samapai ke rumah.
Dalam kondisi seperti ini para Ulama’ memberikan pendapat berbuka
lebih bak baginya ketimbang puasa, landasannya adalah hadits yang
menceritan bahwa pernah sekali Ramadhan Rosul saw. melihat seseorang
dalam kondisi yang lemah ditengah keramain, lalu Rosul saw. bertanya:
“Kenapa ini”? Sedang puasa ya Rosul”, begitu jelas orang-orang
disekitanya. Lalu Rosul saw. mengatakan:
ليس من البر الصوم في السفر
“Bukanlah sebuah kebaikan berpusa dalam kondisi safar” (HR. Bukhori Muslim)
Para Ulama’ berpendapat bahwa hadits ini berlaku dalam kondisi
perjalanan yang tidak mengenakkan seperti yang diatas. Akan tetapi jika
perjalanannya mengenakkan tidak demikian.
Kedua: Perjalanan yang mengenakkan
Misalnya perjalan yang ditempuh dengan pesawat terbang, pesawat Garuda
lagi (bukan iklan:-) ), jaraknya juga tidak berjam-jam, cuacanya juga
bagus, pokoknya semuanya bagus, sehingga sebab perjalanan itu serasa
tidak ada. Tau-tau sudah sampai.
Dalam kondisi seperti ini
berpuasa lebih baik, begitu tutur Ulama’. Walaupun sah-sah saja sih
kalau mau berbuka. Mereka berlandsakan keumuman ayat:
وأن تصوموا خير لكم
“Dan berpuasa itu lebih bak bagi kalian” (QS. al-Baqoroh: 184)
Ketiga: Perjalan dalam kondisi yang sangat tidak mengenakkan dan bahkan rasanya sudah tidak kuasa untuk bertahan.
Jika semua hal yang tidak mengenakkan sudah bercampur dalam
perjalanan, kondisi cuaca yang sangat panas, belum lagi kondisi
kendaraan yang digunakan juga lemot, ditambah kondisi badan yang semakin
melemah, maka dalam hal ini Ulama’ berpendat malah wajib untuk berbuka
dan dilarang untuk melanjutkan puasa.
Pernah suatu waktu,
ketika itu Rosul saw. keluar bersama para sahabat dalam ekpedisi
penaklukan kota mekkah (Fathu Makkah), kondisi alam sangat panas, belum
lagi ditambah dengan panasnya padang pasir, sehingga Nabi dan para
sahabat seakan lemah sekali, dan tatkala sampai di sebuah tempat yang
dikenal dengan Kuro’ al-Ghomim, Rosul saw. meninta kepada para sahabat
untuk dihadirkan air, lal Rosul saw. mengankat air itu agar bisa dilihat
oleh para sahabat, alu Rosul saw. membatalkan puasanya dan berbuka. Tak
urung yag lainpun ikut berbuka.
Tapi tak lama ada sebagian
sahabat yang berujar, “Ya, Rosul, spertinya sahabat yang lain masih ada
yang berpuasa”, lalu Rosul saw. bersabda:
ألئك العصاة، ألئك العصاة،
" Mereka itu (yang masih puasa) adalah orang-orang yang bermaksiat, dan
mereka itu (yang masih puasa) dalah orangorang yang bermaksiat” (HR.
Bukhori dan Muslim)
Hadits inilah yang dijadikan landasan oleh
para Ulama’ agar mereka berbuka saja dan mmang harus berbuka, jika
kondisi perjalanan itu dikhwatirkan bisa berujung kepada kematian.
Secara umum memang kondisi safar itu mendapat keringan untuk tidak
berpuasa, berpuasa boleh tidak berpuasa juga boleh. Untuk itu perilaku
saling menyalahkan juga tidak dibenarkan. Bagi yang mau berbuka
silahkan, hanya saja mereka juga harus tetap menghormati orang yang
masih berpuasa, dengan tidak seenaknya menyantap makanan di tegah
keramain orang, dan semisalnya.
Pun begitu bagi yang berpuasa,
jangan merasa paling benar dan paling sholeh ketika melihat teman kita
yang berbuka dalam kondisi perjalanan.
Secara umum Rosul saw.
pernah bersabda teruntuk bagi mereka yang musafir: “Jika kalian mau,
maka berpuasalah, atau jika kalian mau, silahkan untuk berbuka” (HR.
Bukhori dan Muslim)
wallahu A’lam Bis Showab
Saiyid Mahadhir
“Menuju Ramadhan dengan Keilmuan”
Twitter: @SaiyidMahadhir
0857 187 325 86 (sms)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar