Senin, 18 Juni 2012

Prof. Dr. HAMKA menjawab “hukum wanita menjadi pemimpin”


Pertanyaan : “ saya pernah mendengar bahwa di negara islam yang harus menjadi kepala negara harus laki-laki. Saya ingin tahu bagaimana hukumnya jika seorang raja diangkat dari wanita? Contohnya ialah dibawah ratu Elisabeth dan Ratu Wilhelmina ?
Jawab :
                Memang ada hadist Nabi bahwasanya “suatu kaum yang merajakan seorang wanita akan ditimpa kerugian”. Berdasarkan kepada hadist itu maka sudah tradisi ( sunnah ) bagi dunia Islam tidak mengangkat Raja perempuan, apalagi menjabat sebagai kholifah. Tetapi pernah dalam sejarah Islam di Mesir , yaitu pada tahun 1249 , terjadi seorang perempuan menjadi Raja. Namanya ialah “syajarotu durr” ( pohon permata ). Dia adalah selir dari Raja Al-Malikus Sholih. Suaminya pergi berperang ke mansyurah, melawan Raja Perancis Lodewijk IX dalam satu rentetan perang salib.

                Lalu datang lah berita bahawa Raja itu meninggal dalam peperangan tersebut, padahal putra yang berhak menjadi Raja bernama kholil masih kecil. Karena banyak sekali yang ingin menjadi raja sedang permaisuri tersebut melihat bahaya pertunpahan dara akan terjadi, beliau mengumumkan dirinya menjadi “shulthonah” ( raja ). Memakai gelar “ “Al-Mu’tashimat As-Sholihiyyah ummu Kholil, ‘ismat ddunya waddin malikatul muslimin”. Dia mnejadi Ratu Wanita berkuasa penuh sampai tahun 1257. Dia mati terbunuh karena kekuasaanya direbut oleh lawan politiknya.
                Menurut penyelidikan sejarah, baru sekali itulah ada Raja perempuan di negeri Islam. Salah satu Jasa Raja perempuan tadi adalah beliaulah yang pertama kali mengirimkan “mahmal” yaitu seekor unta dengan berbagai kebesaran membawa selubung Ka’bah ke mekkah. Adat itu berlaku sampai saat ini.
                Tetapi ahli Fiqh Indonesia sudah jauh lebih luas Ijtihadnya tentang :” kalau keadaan memerlukan , wanita boleh diangkat menjadi Raja, asal saja orang-orang besar yang berdiri dikelilingnnya sanggup memberikan fikiran-fikiran yang berharga kepada baginda.
                Setelah Iskandar Tsani ‘Aluddin Mogayat Syah, Sultan Aceh yang menggantikan mertuanya Iskandar Muda Mahkota Alam mangkat pada tahun 1641, maka orang-orang besar di Aceh termasuk Ulama-ulamannya telah setuju mengangkat perempuan menjadi Raja, yaitu istri dari Iskandar Tsani tersebut ( permaisuri ) dan dia adalah putri dari Sultan Iskandar Muda mahkota Alam ( Almarhum ) , sebab yang mangkat tidak mempunyai anak laki-laki. Sultanah wanita pertama di tanah air kita itu memakai gelar “shultanat Tajul Alam Shafiyyatuddin Syah”. Disebut juga Puteri Seri Alam Permaisuri. Baginda memerintah sampai tahun 1675. Artinya masa pemerintahannya 34 tahun.
                Dan setelah baginda mangkat orang-orang besar dan ulama memilih putrinya, artinya wanita lagi yang jadi penggantinya dengan gelar “sultanat Naqijatud Din Nurul ‘Alam”. Beliau mangkat tahun 1678, setelah tiga tahun memerintah. Dan yang menggantikannya sultanah perempuan juga “ Sultanat ‘inayat syah”, memerintah sampai tahun 1688 ( 10 tahun pemerintahan ). Sesudah itu memerintah juga Sultanah perempuan, yaitu “Sultanat kamalat Syah”, memerintah sampai tahun 1699 ( 10 tahun pemerintahan ).
                Setelah kita selediki sejarah Islam di Aceh dengan seksama, ternyata pemerintahan Raja-raja perempuan itu berjalan lancar, terutama pada masa pemerintahan Raja perempuan pertama. Sebab pembantu-pembantunya terdiri dari para ahli musyawarah yang bijak dan pandai. Niscaya kejadian ini tidak lah akan melanggar bunyi Hadist Nabi tadi, yang mengatakan Rugilah suatu kaum kalau yang mememimpinnnya itu wanita, yaitu kalau wanita itu memerintah menurut kehendaknnya sendiri, tidak dilengkapi dengan para ahli Musyawarah yang bijak, terdiri dari kaum laki-laki. Bahkan laki-laki sendiri pun niscaya dapat merugikan, kalau memerintah sendiriqan saja, tidak dilengkapai dengan ahli musyawarah yang bijaksana dan turut bertanggung jawab.
                Dalam penyelidikan kita dinegeri bugis terdapat juga “datuk-datuk wanita ,yang dilengapi dengan “selewatang”, perdana menteri atau menteri-menteri yang ahli.

( dari majalah “gema Islam” No.29 th II, tgl 1 April 1963 )
Ini diambil dari buku Prof. Dr. HAMKA “tanya jawab I” penerbit Bulan Bintang Jakarta 1967

Tidak ada komentar: