Rabu, 04 Juli 2012

Posisi politik dalam “isbat Ramadhan” [ Mengungkap peranan politik dalam menyatukan Ummat ]


Hari itu dimana semua mata beriman menangis sedu ; mengiringi kepergian orang paling disayangi diantar mereka, dialah sebaik-baik pemimpin, sahabat, tetangga, seorang ayah dan suami. Akhlaqnya hanya mampu dilukiskan dengan Al-Qur’an. Rosulullah telah menghembuskan nafas terakhirnya. Namun beberapa hari kemudian jasad itu belum dikebumikan karena belum ada yang menggantikan posisi kepemimpinan kaum muslimin saat itu dan dikhawatirkan akan terjadinya hal-hal yang tak diinginkan bilamana jasad baginda Nabi buru-buru dikuburkan. Sampai pada akhirnya diawali Umar berbai’at ; bersumpah setia kepada “As-shiddiq” dengan nama asli Abdullah bin Khuhafah dan lebih dikenal “abu Bakar menjadi kholifaturrosul yang artinya pemimpin pewaris Kepemimpinan dari Rosulullah SAW.


Setelah Abu Bakar menjadi pemimpin, banyak kebijakan-kebijakan beliau yang belum pernah dilakukan oleh Baginda Nabi. Hal ini disebabkan ada perkara-perkara yang membutuhkan “Ijtihad”. Dengan berasaskan Hadist Muaz bin Jabal RA. Rosulullah bertanya kepada Muaz sesaat sebelum saat diutus ke Yaman. “dengan apa engkau memutuskan perkara?” Muaz menjawab ; Kitab Allah, Rosul bertanya lagi “apabila belum ketemu?” ia menjawab dengan Sabdamu “bila tidak” ia menjawab “dengan Ijtihad”. Inilah perjalanan dari yang kita sebut “Fiqh” . sebenarnya Fiqh itu adalah hasil ijtihad manusia yang meruapakn hasil pemahaman para Ulama salaf dalam mengambil kesimpulan terhadap Suatu perintah atau larangan yang ada di Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu dari Zaman Abu Bakar menjadi Kholifah sampai saat ini “Fiqh” berkamuflase sesuai dengan corak, gaya, tempat dan waktu dimana muslim saat itu hidup.

Namun walau pun perkembangan Fiqh yang begitu pesat yang ditandai banyaknya Mazhab-Mazhab yang bermunculan pada Zamannya. Tetapi “Wahdahtul Islamiyah” ;persatuan Islam tentang dijunjung tinggi. “jikalau hadist yang dipakai seseorang untuk hujjah itu Shohih, maka itu juga pendapatku” itulah perkataan Imam besar As-Syafi’I. tiada lain agar yang dicari adalah persatuan ummah.

Lihat bagaimana Negara –Negara jiran, atau jauh disana. Walau disana banyak para alim Ulama yang berikhtilaf namun lebarannya Cuma satu hari. Puasanya Cuma 29/30 hari. Takbirannya juga bareng-bareng. Bila dibandingkan dengan Negara Timur Tengah, kita kalah jauh. Dari segi kualitas maupun kuantitas. Orang-orang yang sangat berkompeten dalam bidang nya sangat jarang ditengah kita. Mungkin faktornya juga terlalu banyak. Sangat Ironi.

Tentulah hal ini tidak bias diambil alih oleh golongan tertentu atau mazhab tertantu bahkan ulama tertentu. Tetapi Negara lah yang menentukan. Negara dan Syari’ah adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Bohong, menegakkan syari’ah tanpa Negara dan Zholim atau kafir bila Negara tanpa Syari’ah. Dan pemimpin Negara adalah orang yang paling bertanggung jawab. Ditangan pemimpinlah persatuan dan kesatuan umat ini berada. 

Bila kita melihat sejarah, eksistensi suatu mazhab dalam kurun waktu yang lama disokong oleh Negara. Karena Faktor terbesar penyebarannya adalah Negara meresmikan dengan Mazhab apakah mereka akan mengambil keputusan. Kita ambil contoh Negara Sudan ; pola dan manhaj mereka mengambil hokum adalah Mazhab maliki, Malaysia dan bruneii Darussalam; mengesahkan Negara mereka memakai Mazhab syafi’i.

Dengan kata lain bahwa Politik memiliki peran yang sangat besar terhadap perkembangan Fiqh di suatu Negara atau bangsa. Jadi sangat naïf bila seorang ulama yang mengharamkan Politik. Atau menjauhi politik. Tentulah kita tidak lebih alim, hebat dari Rosulullah dan para sahabat, kita tidak lebih hebat dari  salafussholeh. Inilah tuntutan zaman. Bahwa Politik dan Syari’ah harus jalan berbarengan. Walau dengan nama berbeda, bahasa berlainan namun yang terpenting adalah esensi dari implementasi dari Norma-norma dalam Al-qur’an dan sunnah. 

Bila posisi kita tengah berada dalam sebuah Jama’ah tertentu. Dan kita dikejar dalam mengambil keputusan. Rosulullah mengatakan “istafti Qolbak” kira-kira kearah mana nurani kita menuju. Itu yang kita pilih. “kita saling tolong menolong dalam hal-hal yang kita sepakati dan saling mentoleransi dalam hal-hal perbedaan Furu’. 

Kini sudah saat nya kita cari titik temu bukan titik pemisah antara kita, jangan dengan atas nama golongan “ukhuwah kita” tergadaikan, terpecah belah menyimpul senyum di wajah kuffar, tertunduk lesu para pewaris negri. Semoga tulisan ini menjadi perekat di tengah perbedaan pendapat para kaum muslimin, sebagai solusi bagi problematika yang dihadapi ummat ini. Wallahu a’lam bishowab.  


derysmono
derys_mono@yahoo.com
sms ( 0852 846 796 74 )


Tidak ada komentar: