Hari itu dimana semua mata beriman menangis sedu ; mengiringi kepergian orang paling disayangi diantar mereka, dialah sebaik-baik pemimpin, sahabat, tetangga, seorang ayah dan suami. Akhlaqnya hanya mampu dilukiskan dengan Al-Qur’an. Rosulullah telah menghembuskan nafas terakhirnya. Namun beberapa hari kemudian jasad itu belum dikebumikan karena belum ada yang menggantikan posisi kepemimpinan kaum muslimin saat itu dan dikhawatirkan akan terjadinya hal-hal yang tak diinginkan bilamana jasad baginda Nabi buru-buru dikuburkan. Sampai pada akhirnya diawali Umar berbai’at ; bersumpah setia kepada “As-shiddiq” dengan nama asli Abdullah bin Khuhafah dan lebih dikenal “abu Bakar menjadi kholifaturrosul yang artinya pemimpin pewaris Kepemimpinan dari Rosulullah SAW.
Setelah Abu Bakar menjadi pemimpin, banyak
kebijakan-kebijakan beliau yang belum pernah dilakukan oleh Baginda Nabi. Hal ini
disebabkan ada perkara-perkara yang membutuhkan “Ijtihad”. Dengan berasaskan
Hadist Muaz bin Jabal RA. Rosulullah bertanya kepada Muaz sesaat sebelum saat
diutus ke Yaman. “dengan apa engkau memutuskan perkara?” Muaz menjawab ; Kitab
Allah, Rosul bertanya lagi “apabila belum ketemu?” ia menjawab dengan Sabdamu “bila
tidak” ia menjawab “dengan Ijtihad”. Inilah perjalanan dari yang kita sebut “Fiqh”
. sebenarnya Fiqh itu adalah hasil ijtihad manusia yang meruapakn hasil
pemahaman para Ulama salaf dalam mengambil kesimpulan terhadap Suatu perintah
atau larangan yang ada di Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu dari Zaman Abu
Bakar menjadi Kholifah sampai saat ini “Fiqh” berkamuflase sesuai dengan corak,
gaya, tempat dan waktu dimana muslim saat itu hidup.
Namun walau pun perkembangan Fiqh yang begitu
pesat yang ditandai banyaknya Mazhab-Mazhab yang bermunculan pada Zamannya. Tetapi
“Wahdahtul Islamiyah” ;persatuan Islam tentang dijunjung tinggi. “jikalau
hadist yang dipakai seseorang untuk hujjah itu Shohih, maka itu juga pendapatku”
itulah perkataan Imam besar As-Syafi’I. tiada lain agar yang dicari adalah
persatuan ummah.
Lihat bagaimana Negara –Negara jiran, atau
jauh disana. Walau disana banyak para alim Ulama yang berikhtilaf namun
lebarannya Cuma satu hari. Puasanya Cuma 29/30 hari. Takbirannya juga
bareng-bareng. Bila dibandingkan dengan Negara Timur Tengah, kita kalah jauh. Dari
segi kualitas maupun kuantitas. Orang-orang yang sangat berkompeten dalam
bidang nya sangat jarang ditengah kita. Mungkin faktornya juga terlalu banyak. Sangat
Ironi.
Tentulah hal ini tidak bias diambil alih oleh
golongan tertentu atau mazhab tertantu bahkan ulama tertentu. Tetapi Negara lah
yang menentukan. Negara dan Syari’ah adalah dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan. Bohong, menegakkan syari’ah tanpa Negara dan Zholim atau kafir
bila Negara tanpa Syari’ah. Dan pemimpin Negara adalah orang yang paling
bertanggung jawab. Ditangan pemimpinlah persatuan dan kesatuan umat ini berada.
Bila kita melihat sejarah, eksistensi suatu
mazhab dalam kurun waktu yang lama disokong oleh Negara. Karena Faktor terbesar
penyebarannya adalah Negara meresmikan dengan Mazhab apakah mereka akan
mengambil keputusan. Kita ambil contoh Negara Sudan ; pola dan manhaj mereka
mengambil hokum adalah Mazhab maliki, Malaysia dan bruneii Darussalam;
mengesahkan Negara mereka memakai Mazhab syafi’i.
Dengan kata lain bahwa Politik memiliki peran
yang sangat besar terhadap perkembangan Fiqh di suatu Negara atau bangsa. Jadi sangat
naïf bila seorang ulama yang mengharamkan Politik. Atau menjauhi politik. Tentulah
kita tidak lebih alim, hebat dari Rosulullah dan para sahabat, kita tidak lebih
hebat dari salafussholeh. Inilah tuntutan
zaman. Bahwa Politik dan Syari’ah harus jalan berbarengan. Walau dengan nama
berbeda, bahasa berlainan namun yang terpenting adalah esensi dari implementasi
dari Norma-norma dalam Al-qur’an dan sunnah.
Bila posisi kita tengah berada dalam sebuah
Jama’ah tertentu. Dan kita dikejar dalam mengambil keputusan. Rosulullah
mengatakan “istafti Qolbak” kira-kira kearah mana nurani kita menuju. Itu yang
kita pilih. “kita saling tolong menolong dalam hal-hal yang kita sepakati dan
saling mentoleransi dalam hal-hal perbedaan Furu’.
Kini sudah saat nya kita cari titik temu
bukan titik pemisah antara kita, jangan dengan atas nama golongan “ukhuwah kita”
tergadaikan, terpecah belah menyimpul senyum di wajah kuffar, tertunduk lesu
para pewaris negri. Semoga tulisan ini menjadi perekat di tengah perbedaan
pendapat para kaum muslimin, sebagai solusi bagi problematika yang dihadapi
ummat ini. Wallahu a’lam bishowab.
derysmono
derys_mono@yahoo.com
sms ( 0852 846 796 74 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar