“Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari?, Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa di pulau ini kalian lebih terlantar dari pada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang kalian, tanpa kekuatan selain dari barang-barang yang kalian rampas dari tangan musuh kalian. Seandainya pada hari-hari ini kalian masih tetap sengsara seperti ini, tanpa adanya perubahan yang berarti, niscaya nama baik kalian akan hilang, rasa gentar yang ada pada hati musuh akan berganti menjadi berani kepada kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian.”
Kalimat
tersebut diucapkan setelah kapal yang digunakan menyeberangi selat, sehingga
satu-satunya pilihan bagi 7000 pasukan Islam saat itu hanyalah menghadapi
100.000 pasukan Visigoth guna menaklukkan negeri Andalusia, atau syahid disana.
Pidato terkenal ini dikobarkan oleh seorang panglima perang yang tercatat
dengan tinta emas dalam sejarah penyebaran Islam: Thariq bin Ziyad.
Thariq
bin Ziyad
Nama
lengkapnya adalah Thariq bin Ziyad bin Abdullah bin Walgho bin Walfajun bin
Niber Ghasin bin Walhas bin Yathufat bin Nafzau. Beliau merupakan putra suku
Ash-Shadaf, suku Barbar, penduduk asli daerah Al-Atlas, Afrika Utara. Ia lahir
sekitar tahun 50 Hijriah. Ia ahli menunggang kuda, menggunakan senjata, dan
ilmu bela diri. Beliau adalah salah seorang Panglima Perang Islam pada masa
pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik atau al-Walid I (705-715 M) dari
bani Umayah.
Pada
bulan Rajab 97 H atau Juli 711 M, beliau mendapat perintah dari Gubernur Afrika
Utara, Musa bin Nusair untuk mengadakan penyerangan ke semenanjung Andalusia
(Semenanjung Iberia yang sekarang meliputi negara Spanyol dan Portugis).
Bersama 7.000 pasukan yang dipimpinnya, Thariq bin Ziyad menyeberangi selat Gibraltar
(berasal dari kata “Jabal Thariq” yang berarti “Gunung Thariq”) menuju
Andalusia.
[Beliau
mengatakan, “Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya dua
pilihan, menaklukkan negeri ini dan menetap di sini serta mengembangkan Islam,
atau kita semua binasa (syahid).”
Karuan
saja pidato ini membakar semangat jihad pasukannya. Mereka segera menyusun
kekuatan untuk menggempur pasukan kerajaan Visigoth, Spanyol, di bawah pimpinan
Raja Roderick. Atas pertolongan Allah swt, 100.000 pasukan Raja Roderick
tumbang di tangan pasukan muslim. Raja Roderick pun menemui ajal di medan
pertempuran ini.
Dimulainya
penyebaran Islam di Eropa Barat
Dalam
kitab Tarikh al-Andalus, disebutkan bahwa sebelum meraih keberhasilan ini,
Thariq telah mendapatkan firasat bahwa ia pernah bermimpi melihat Rasulullah
saw bersama keempat khulafa’ al-rasyidin berjalan di atas air hingga
menjumpainya, lalu Rasulullah saw. memberi tahukan kabar gembira bahwa ia akan
berhasil menaklukkan Andalusia. Kemudian Rasulullah saw. menyuruhnya untuk
selalu bersama kaum muslimin dan menepati janji.
Setelah
meraih kemenangan ini, Thariq menulis surat ke Musa, mempersembahkan kemenangan
kaum muslimin ini. Dalam suratnya itu ia menulis:
“Saya
telah menjalankan perintah anda. Allah telah memudahkan kami memasuki negeri
Andalusia.”
Setahun
kemudian, Musa bin Nusair bertolak membawa 10.000 pasukan menyusul Thariq.
Sejak saat itu, satu demi satu kota-kota di Andalusia berhasil diduduki tentara
Thariq dan Musa; Toledo, Elvira, Granada, Cordoba dan Malaga. Lalu dilanjutkan
Zaragoza, Aragon, Leon, Asturia, dan Galicia. Dan penyebaran Islam ke Eropa pun
dimulai dari Andalusia.
Pasukan
Musa dan pasukan Thariq bertemu di Toledo. Keduanya bergabung untuk menaklukkan
Ecija. Setelah itu mereka bergerak menuju wilayah Pyrenies, Perancis. Hanya
dalam waktu 2 tahun, seluruh daratan Spanyol berhasil dikuasai. Beberapa tahun
kemudian Portugis mereka taklukkan dan mereka ganti namanya dengan Al-Gharb
(Barat).
Sungguh
itu keberhasilan yang luar biasa. Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad
berencana membawa pasukannya terus ke utara untuk menaklukkan seluruh Eropa.
Sebab, waktu itu tidak ada kekuatan dari mana pun yang bisa menghadap mereka.
Namun, niat itu tidak tereaslisasi karena Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik
memanggil mereka berdua pulang ke Damaskus. Thariq pulang terlebih dahulu
sementara Musa bin Nusair menyusun pemerintahan baru di Spanyol.
Setelah
bertemu Khalifah, Thariq bin Ziyad ditakdirkan Allah swt. tidak kembali ke
Eropa. Ia sakit dan menghembuskan nafas. Thariq bin Ziyad telah menorehkan
namanya di lembar sejarah sebagai putra asli Afrika Utara muslim yang
menaklukkan daratan Eropa.
Wilayah
Al-Andalus (abad 7 hingga 10)
Sejarawan
Barat beraliran konservatif, W. Montgomery Watt dalam bukunya Sejarah Islam di
Spanyol, mencoba meluruskan persepsi keliru para orientalis Barat yang menilai
umat Islam sebagai yang suka berperang. Menurutnya,
“Mereka
(para orientalis) umumnya mengalami mispersepsi dalam memahami jihad umat
Islam. Seolah-olah seorang muslim hanya memberi dua tawaran bagi musuhnya,
yaitu antara Islam dan pedang. Padahal, bagi pemeluk agama lain, termasuk ahli
kitab, mereka bisa saja tidak masuk Islam meski tetap dilindungi oleh suatu
pemerintahan Islam.”
Peperangan
dalam Islam adalah untuk menghidupkan manusia bukan untuk memusnahkan. Itu
sebabnya, ketika kaum muslimin menang perang dan menguasai wilayah tidak
bertujuan menjajahnya. Berbeda dengan ideologi Kapitalisme yang memang tujuan
mereka berperang adalah untuk menguasai wilayah dan menjajahnya (baca: menguras
seluruh potensi wilayah itu untuk kepentingan bangsanya).
Merah
tua: Ekspansi wilayah Islam di zaman Rasulullah, 622-632
Merah muda: Ekspansi wilayah Islam di zaman Khulafaur Rasyidin, 632-661
Oranye: Ekspansi wilayah Islam di zaman Kekhilafahan Bani Umayyah, 661-750
Merah muda: Ekspansi wilayah Islam di zaman Khulafaur Rasyidin, 632-661
Oranye: Ekspansi wilayah Islam di zaman Kekhilafahan Bani Umayyah, 661-750
Sejarah
Andalusia
Al-Andalus,
was the Arabic name given to those parts of the Iberian Peninsula governed by
Muslims, or Moors, at various times in the period between 711 and 1492.
(Wikipedia)
I.
Periode Kekuasaan Bani Umayyah Damaskus (711-755)
Pada periode ini Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus.
Pada periode ini Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus.
Wilayah
Kekhalifahan Bani Umayyah
Pada
periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna,
gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar.
Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite penguasa,
terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Disamping itu, terdapat perbedaan
pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat
di Kairawan. Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai
daerah Spanyol ini. Oleh karena itu, terjadi dua puluh kali pergantian wali
(gubernur) Spanyol dalam jangka waktu yang amat singkat.
Gangguan
dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal
di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah tunduk kepada pemerintahan
Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri. Setelah berjuang lebih dari 500
tahun, akhirnya mereka mampu mengusir Islam dari bumi Spanyol. Karena seringnya
terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar, maka dalam
periode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang
peradaban dan kebudayaan.
Perbedaan
pandangan politik juga menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Hal ini
ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama, antara Barbar asal Afrika
Utara dan Arab. Konflik perang saudara diantara berbagai kelompok Muslim di
Iberia itu berakibat hilangnya kendali kekhalifahan di wilayah itu, hingga
Yusuf Al-Fihri memenangkan perseteruan itu dan menjadi pemimpin independen di
wilayah Andalusia.
II.
Periode Kerajaan Cordoba (756-1013)
Di
tahun 750, kekuasaan khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus digantikan
dengan kekuasaan Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Abdurrahman
Ad-Dakhil, keturunan Bani Umayyah yang selamat, berhasil menurunkan Yusuf Al-Fihri
dan memproklamirkan dirinya sebagai Amir kerajaan Andalusia yang berpusat di
Cordoba dan melepaskan diri dari Kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 756.
Amir
Kerajaan Cordoba berturut-turut: Abdurrahman I (756-788), Hisyam I (788-796),
Al-Hakam I (796-822), Abdurrahman II (822-852), Muhammad I (852-886),
Al-Mundhir (886-888), Abdullah ibn Muhammad (888-912)
Kemudian
semenjak kekuasaan Abdurrahman III di tahun 929, sebutan penguasa Amir kemudian
digantikan dengan titel Khalifah: Abdurrahman III (912-961), Al-Hakam II
(961-976), Hisyam I (976-1008), Muhammad II (1008-1009), Sulaiman II
(1009-1010), Hisyam II (1010-1012), Sulaiman II (1012-1016), Abdurrahman IV
(1017), Abdurrahman V (1023-1024), Muhammad III (1024-1025), Hisyam III
(1026-1031).
Awal
dari kehancuran khilafah Bani Umayyah di Spanyol adalah ketika Hisyam naik
tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh karena itu kekuasaan aktual berada di
tangan para pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjuk Ibn Abi Amir sebagai
pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil
menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan
menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas
keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar al-Manshur Billah. Ia wafat
pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat
mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun 1008
M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu.
Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan
akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri.
Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup
memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah
Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Spanyol sudah terpecah dalam
banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
III.
Periode Kerajaan-Kerajaan Lokal
Kekhalifahan
Cordoba runtuh dengan terjadinya perang saudara antara 1009 hingga 1013,
meskipun belum sepenuhnya berakhir hingga 1031. Negeri Andalusia kemudian
terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negera kecil di bawah pemerintahan
raja-raja golongan atau Al-Mulukuth Thawaif, yang berpusat di suatu kota
seperti Kerajaan Malaga, Zaragoza, Valencia, Badajoz, Sevilla, dan Toledo.
Perpecahan
Negeri2 Andalusia di tahun 1031 (wilayah berwarna putih, merah, kuning, dan
biru di bagian utara termasuk kerajaan Kristen)
Para
raja-raja kecil itu digelar Mulukuth Thawaif (Raja Lokal) kemudian berseteru
dan berperang satu sama lain tanpa sebab yang jelas. Hanyalah karena ingin
saling menguasai. Kisah-kisah pengkhianatan, kisah-kisah perebutan puteri
cantik dan perebutan harta mewarnai semua perseteruan itu. Mereka tak sadar
umat Kristen telah mempersiapkan kekuatan untuk merebut kembali Spanyol.
Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada diantara pihak-pihak yang bertikai
itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan
kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya
orang-orang Kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan.
Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus
berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sastrawan
untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.
IV.
Periode Kekuasaan Dinasti-dinasti dari Maroko
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan dinasti Murabithun (086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas “undangan” penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul beban berat perjuangan mempertahankan negeri-negerinya dari serangan-serangan orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Karena perpecahan di kalangan raja-raja muslim, Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia berhasil untuk itu.
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang dominan, yaitu kekuasaan dinasti Murabithun (086-1143 M) dan dinasti Muwahhidun (1146-1235 M). Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas “undangan” penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul beban berat perjuangan mempertahankan negeri-negerinya dari serangan-serangan orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Karena perpecahan di kalangan raja-raja muslim, Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol dan ia berhasil untuk itu.
Akan
tetapi, penguasa-penguasa sesudah ibn Tasyfin adalah raja-raja yang lemah. Pada
tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun di
Spanyol dan digantikan oleh dinasti Muwahhidun. Pada masa dinasti Murabithun,
Saragossa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya tahun 1118 M. Di Spanyol sendiri,
sepeninggal dinasti ini, pada mulanya muncul kembali dinasti-dinasti kecil,
tapi hanya berlangsung tiga tahun.
Pada
tahun 1146 M penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut
daerah ini. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumart (w. 1128). Dinasti
ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al-Mun’im. Antara tahun 1114 dan
1154 M, kota-kota muslim penting, Cordova, Almeria, dan Granada, jatuh ke bawah
kekuasaannya. Untuk jangka beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak
kemajuan. Kekuatan-kekuatan Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi tidak
lama setelah itu, Muwahhidun mengalami keambrukan.
Pada
tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de
Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami Muwahhidun menyebabkan penguasanya
memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara tahun 1235 M.
Keadaan Spanyol kembali runyam, berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam
kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan
Kristen yang semakin besar. Yang pertama hancur adalah Toledo yang jatuh pada
tahun 1085 di mana Raja Al Qadir Adzdzunnuniyah menyerah kepada Raja Leon
Alfonso VII. Kemudian Mustansir al-Mudiayah menyerah kepada Ramire II dari
Aragon. Kerajaan Cordova yang terbesar di Andalusia jatuh pada tahun 1236 dan
Kerajaan kedua terbesar Sevilla luluh-lantak dan takluk pada tahun 1248.
Masjid
Cordova
Keruntuhan
Cordova tidak saja diratapi oleh Umat Islam, tetapi juga seorang penulis Kriten
Stanley Lane Poole dalam bukunya “The Mohammadan Dynasties” mengakui betapa
mundurnya peradaban Andalusia setelah runtuhnya kerajaan Islam Cordova.
Pengakuan dunia Kristen terhadap peradaban Islam Cordova dapat dibuktikan
dengan permintaan Inggris agar pemuda pemuda Inggris dapat menuntut ilmu di
Universitas Cordova. Surat Raja Inggris itu diterima oleh Sultan Hisyam III
yang berbunyi antara lain,
“Kami
telah mendengar kemajuan Ilmu dan industri di Negara Paduka Yang Mulia.
Karenanya kami bermaksud mengirim putera-puteri terbaik kami untuk menimba ilmu
di Negara Paduka Yang Mulia agar ilmu pengetahuan tersebar ke negeri kami yang
dikelilingi kebodohan dari empat penjuru. (Wajah Dunia Islam oleh Dr Muhammad
Sayid al-Wakil).
V.
Periode Keraajaan Granada
Sisa-sisa umat Islam di Andalusia itu masih dapat bertahan dan bangun kembali di Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman an-Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Universitas Granada dan Istana Al Hambra yang termasyhur itu pun dibangun walau di tengah ancaman tentara musuh.
Sisa-sisa umat Islam di Andalusia itu masih dapat bertahan dan bangun kembali di Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492). Peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman an-Nasir. Akan tetapi, secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Universitas Granada dan Istana Al Hambra yang termasyhur itu pun dibangun walau di tengah ancaman tentara musuh.
Sisa
wilayah Islam tahun 1300 M
Istana
Al-Hambra
Kekuasaan
Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini berakhir karena
perselisihan orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan. Abu Abdullah
Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain
sebagai penggantinya menjadi raja. Dia memberontak dan berusaha merampas
kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh
Muhammad ibn Sa’ad. Abu Abdullah kemudian meminta bantuan kepada Ferdenand dan
Isabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan
penguasa yang sah dan Abu Abdullah naik tahta. Tentu saja, Ferdenand dan
Isabella yang mempersatukan dua kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu
tidak cukup merasa puas. Keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam
di Spanyol. Abu Muhammad Abdullah IX tidak kuasa menahan serangan-serangan
orang Kristen tersebut dan pada akhirnya mengaku kalah. Akhirnya keemasan
Granda Kerajaan Islam terakhir di Andalusia setelah ratusan tahun memencarkan
sinarnya ke seluruh penjuru Eropa hilang dan sirna. Dengan demikian berakhirlah
kekuasaan Islam di Spanyol tahun 1492 M.
Umat
Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi
meninggal Spanyol. Umat Islam pun terusir dengan pedihnya dari bumi Andalusia.
Hanya yang mau meninggalkan Islam (murtad) yang boleh tinggal. Yang tetap
beriman kepada Allah bersama Raja Abu Muhammad di persilahkan naik ke kapal dan
berlayar menuju Afrika Utara menyeberangi Selat Gibraltar. Kalau dulu Tariq
menyeberanginya dengan kepala tegak penuh semangat dan optimisme, namun Abu
Muhammad berlayar dengan sedih dan menundukkan kepala dengan penuh keaiban.
Tanggal 2 Januari 1492 itu tercatat sebagai pemurtadan besar-besaran yang
pernah terjadi dalam sejarah. Baik Cordova maupun Granada hancur lebur bersama
kitab-kitabnya berikut peradabannya. Pada tahun 1609 M, boleh dikatakan tidak
ada lagi umat Islam di daerah ini.
Mengenai
jatuhnya Granada yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan ini, ilmuwan
sekelas Emmanuel Deutch berkomentar,
“Semua
ini memberi kesempatan bagi kami (bangsa Barat) untuk mencapai kebangkitan
(renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Oleh karena itu, sewajarnyalah
jika kami selalu mencucurkan airmata manakala kami teringat saat-saat terakhir
jatuhnya Granada.” (M. Hashem, Kekaguman Dunia Terhadap Islam, hlm. 100)
Perkembangan
Iptek (masih ngopi utuh2 dari artikelnya
islamuda.com )
Membicarakan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Spanyol, tak bisa lepas dari
kerja besar pembangunan peradaban yang dilakukan para pembawa risalah Islam ke
kawasan Eropa itu. Tak bisa juga dipisahkan dari kajian etika serta syari’at
Islam yang didakwahkan para da’i. Itulah yang mendorong semangat para ilmuwan
Muslim Spanyol: Pengetahuan itu satu karena dunia juga satu, dunia satu karena
Allah juga satu. Prinsip “tauhid” semacam ini yang menjadi koridor berpikir
para ilmuwan muslim dalam mengembangkan sains dan teknologi.
Tak
mengherankan jika temuan-temuan para ilmuwan muslim pada zaman ini sangat
revolusioner. Jauh sebelum Wilbur Wright dan Oliver Wright menemukan pesawat
terbang pada abad 20, usaha menemukan alat transportasi penerbangan sudah
dilakukan oleh Abu Abbas Al-Fernass. Bahkan ia sudah mencoba terbang, meski
kendaraan yang ditemukannya tak sempurna. Sayangnya, sejarah peradaban dunia
Islam yang berbasis di Andalusi, Spanyol itu, tak terekam oleh Barat. Sementara
catatan-catatan sejarah Islam, ditutup rapat untuk tak dijadikan referensi.
Toh
sejarah tak bisa berdusta. Demikian halnya dalam pengembangan ilmu kedokteran
oleh para pakar muslim. Selain Ibnu Rusyd, adalah Az-Zahrawi yang dikenal
sebagai orang pertama yang memperkenalkan teknik pembedahan manusia. Az-Zahrawi
yang lahir dekat Cordova pada 936 Masehi, dikenal sebagai penyusun ensiklopedi
pembedahan yang karya ilmiahnya itu dijadikan referensi dasar bedah kedokteran
selama ratusan tahun. Sejumlah universitas, termasuk yang ada di Barat,
menjadikannya sebagai acuan.
Demikian
halnya kontribusi ilmuwan Islam di bidang astronomi. Adalah Az-Zarqalli,
astronom muslim kelahiran Cordova yang pertama kali memperkenalkan astrolabe.
Yaitu suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur jarak sebuah bintang dari
horison bumi. Penemuan ini menjadi revolusioner karena sangat membantu navigasi
laut. Dengan demikian, transportasi pelayaran berkembang pesat selepas penemuan
astrolabe. Sementara pakar geografi, Al-Idrisi, yang lahir di Ceuta pada 1099
Masehi, setelah menuntut ilmu di Cordova juga menemukan dan memperkenalkan
teknik pemetaan dengan metode proyeksi. Suatu metode yang sama dengan yang
dikembangkan Mercator, empat abad kemudian.
Eropa
Berhutang Budi Temuan sains dan teknologi, serta kajian filsafat Muslim
Spanyol, mengalir ke seluruh kawasan ibarat mengairi kekeringan kehidupan
intelektual Eropa. Para pelajar dari Eropa Barat memenuhi
perpustakaan-perpustakaan serta kampus-kampus perguruan tinggi yang dibangun
oleh ilmuwan muslim di sana. Pola pendidikan yang dikembangkan para
ilmuwan muslim di sana, sungguh memikat para pelajar dari Eropa. Dalam kitabnya
yang berjudul Muqaddimah, ulama Muslim terkemuka Ibnu Khaldun menilai metode
pendidikan yang dikembangkan saat itu sebagai “Mengarahkan seseorang untuk
mengerti sesuatu melalui apa yang dikerjakannya”. Secara sederhana Ibnu Khaldun
menyebutnya sebagai “Metode belajar dengan hati” atau “Learning by doing” dalam
bahasa kita sekarang.
Kondisi
inilah yang mencerahkan paradigma berpikir orang-orang Eropa. Menurut
Montgomery, cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak
dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam
yang menjadi “dinamo”nya, Barat bukanlah apa-apa. Inilah yang sesungguhnya
menjadi momentum Eropa memasuki masa Renaissance. Pada abad sembilan, demikian
Montgomery, Universitas Cordoba menjadi gerbang Eropa memasuki zaman
pencerahan. Sayangnya orang-orang Eropa merasa pencerahan mereka berawal pada
abad enam belas dari Florence di Italy.
Yaitu
pada saat pemimpin Eropa bersepakat ‘meninggalkan’ agama dalam segala aspek
kehidupan dan mengembangkan apa yang disebut sekularisme. Akibatnya, keagungan
peraaban Islam yang dibangun di Spanyol berakhir dengan tragis. Yaitu pada saat
penguasa di sana menghancurkan semua karya pemikiran para ilmuwan muslim. Tidak
hanya karya-karyanya yang dimusnahkan, para ilmuwannya pun disingkirkan. Ibnu
Massarah diasingkan, Ibnu Hazm diusir dari tempat tinggalnya di Majorca,
kitab-kitab karya Imam Ghazali dibakar, ribuan buku dan naskah koleksi
perpustakaan umum al Ahkam II dihanyutkan ke sungai. Ibnu Tufail, Ibnu Rushdy
disingkirkan. Nasib yang sama, juga dialami Ibnu Arabi.
Akhirnya,
kebijakan bumi hangus tersebut telah menyebabkan kesulitan merekonstruksi
perjalanan sejarah Islam di Sevila, Cordoba, dan Andalusia sebagai bukti
keagungan peradaban Islam di Spanyol tidak bias dipungkiri, meski kemudian
sirna dihancurkan dalam Perang Salib.
Referensi tulisan ini diambil dari beberapa sumber di internet:
-http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-159.html
-http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-159.html
Tulisan
ini masih belum selesai disusun sih tapi sudah setengah jadi ya saya terbitkan
dulu saja, jika kira2 ada kesalahan dalam tulisan ini silakan dikoreksi.
Kebenaran datangnya dari Allah, sedangkan kesalahan datangnya dari syaitan dan
kehilafan saya.
Update:
Sebuah tulisan dari buku “Sorotan
Total Ulama Salaf: Koreksi Terhadap Hadits-hadits, Filosof, Sastrawan, Kisah,
dan Kitab-kitab Populer” yang ditulis oleh Abdul Aziz bin Muhammad
as-Sadhan yang mengomentari kisah heroik “Thariq bin Ziyad Membakar
Perahu-perahu”, berikut saya lampirkan sebagai pembanding:
Sebagian
ahli sejarah berpendapat batalnya riwayat yang menyebutkan, bahwa Thariq
membakar perahu dan mereka beralasan dengan dalil-dalil berikut ini:
·
Sesungguhnya
berita tentang pembakaran, tidak seorangpun yang menyebutkan baik dari
tentaranya Thariq bin Ziyad atau orang yang hidup semasa dengannya, akan tetapi
pernyataan ini dikatakan setelah meninggalnya Thariq bin Ziyad berabad-abad
lamanya.
·
Thariq
tidak mengatakan “sesungguhnya aku telah membakar perahu-perahu atau
memerintahkan hal itu, akan tetapi sebagian mutaakhirin (generasi belakangan
ini) memahami hal itu dari khutbahnya yang disampaikan yang berbunyi
“wahai sekalian manusia dimana tempat kamu lari? lautan
dibelakang kalian dan musuh di depan kalian”
lalu mereka memahami dari perkataan ini, bahwa laut di
belakang mereka dan tidak ada sarana untuk membawa mereka kepada musuh yang
menyerang dari arah barat, ini adalah pemahaman yang keliru pada hakekatnya
perahu-perahu itu bukan milik Thariq, bagaimana mungkin dia bertindak
sekehendak hatinya.
·
Tidak
seorang pun dari pemimpinnya menghukum Thariq (atas tindakannya), baik itu
pemimpin umum Musa bin Nushair atau Khalifah al-Walid bin Abdul Malik
·
Apakah
tidak mungkin bagi Thariq kalau dia menyuruh (membiarkan) perahu-perahu lalu
mendatangi musuh dari arah barat lalu dia mampu meraih kemenangan sedang itu lebih
utama daripada dia harus membakarnya dan merugikan muslimin
·
Apakah
Thariq tidak mengharapkan bantuan? dan inilah yang terjadi, lalu dengan alat
apa bantuan ini dapat diangkut? pada dasarnya bantuan ini dapat diangkut dengan
perahu-perahu tersebut.
·
Dari
mana Musa bin Nushair bisa membawa perahu-perahu yang mengangkutnya ke Andalus
bersama sisa pasukannya ketika dia khawatir akan nasib muslimin yang masuk
terlalu jauh ke dalam Andalus? sungguh proses pemindahan itu bersandarkan pada
perahu itu sendiri.
·
Tidak
mungkin bagi pemimpin yang berpandangan jauh seperti Thariq tidak memikirkan
masa yang akan datang lalu membiarkan pasukannya yang kecil di negara Andalus
yang sangat luas. Andalus di belakangnya Eropa, negara yang senantiasa ingin
menikan dan dengki serta menunggu kesempatan untuk menerkamnya.
·
Dengan
membakar perahu-perahu itu, bukan merupakan cara yang tepat untuk membangkitkan
semangat pada diri kaum muslimin. Sungguh mereka telah mengetahui, bahwa tujuan
jihad adalah salah satu dari dua kebaikan (yaitu mendapat kemenangan atau mati
syahid).
·
Pembakaran
perahu itu tidak banyak berguna tatkala hal ini menimbulkan efek samping
negatif dalam jiwa muslimin.
Sesudah
membawakan dalil-dalil ini, peneliti sampai pada sebuah kesimpulan yaitu “kalau
begitu, Thariq tidak membakar perahu-perahu dan perahu-perahu tersebut masih
tetap ada pada orang-orang muslim (pasukannya), dan bantuan ke Andalus dapat
disalurkan melalui perahu-perahu tersebut dan pemimpin mereka bersama sisa
pasukan dapat pergi ke Andalus dengan perahu tersebut juga.
Masalah
pembakaran perahu-perahu adalah perkara yang dibuat-buat oleh sebagian mereka
untuk memunculkan ruh pengorbanan dan keberanian dari Thariq. Mereka yang
mensponsori berita ini adalah mereka yang mempunyai target-target kedepan dalam
memotivasi umat Islam agar menyelisihi islam dan melakukan aksi tanpa
perhitungan, dan melarang kaum muslimin dalam memakai peralatan-peralatan canggih
dalam berperang dan kalaupun menggunakannya tanpa batas dan
memusnahkannya. [Mafhumat Asasiyah fi at-Tarikh al-Islami ditulis
oleh Mahmud Syakir, majalah al-Faishal no.163, at-Tarikh al-Andalusi
oleh Dr. al-Haji, hal.62, lihat buku "Qishashu La Tatsbut" oleh
Masyur Hasan, hal.95-109]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar