oleh sayid Mahadir
Malam ini malam nisfhu sya'ban,
masjid-masjid pada ramai, bahkan terlihat ada yang malah sholat
dilapangan, karena musholanya full, pemandangan yang bagus sekali, jika
seandaninya yang sepertiini isa dipertahankan untuk amlam-malam lainnya.
Ada banyak pertanyaan yang masuk tentang malam nishfu Sya'ban, hanya saja kali ini kita akan menyimak bersama tulisan Ust. Ahmad Sarwat, Lc, terkait tentang nishfu sya'ban. Beliau adalah ustad kita di Rumah Fiqih Indonesia, tempat dimana kami sering berdiskusi masalah fiqih.
Berikut penjelsannya:
Sebenarnya kalau dilihat dari kaca mata para ahli hadits, praktek
ibadah ritual yang dilakukan oleh sebagian saudara kita di malam
ke-15bulan Sya”ban (nisfu sya”ban), tidak didukung dengan hadits yang
mencapai derajat shahih kepada Rasulullah SAW. Namun bukan berarti apa
yang dikerjakan itu otomatis menjadi haram atau kemungkaran yang harus
diperangi. Sebab ternyata kita menemukan dalil-dalil yang meski tidak
sampai derajat shahih, tetapi juga tidak sampai dhaif apalagi palsu.
Hadits-hadits itu mencapai derajat hasan. Setidaknya, kesimpulan kita
adalah bahwa derajat kekuatan tiap hadits itu memang jadi perbedaan
pandangan kalangan ahli hadits.
Walhasil, perkara ini memang
menjadi wilayah khilaf di kalangan ulama. Sebagian mentsabatkan hal itu
namun sebagian tidak. Dan selama suatu masalah masih menjadi khilaf
ulama, setidaknya kita tidak perlu langsung menghujat apa yang dilakukan
oleh saudara kita bila ternyata tidak sama dengan apa yang kita yakini.
Dalil Tentang Keutamaan Bulan Sya”ban dan Khususnya Nisfu Sya”ban
Dalil-dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang level keshahihannya itu antara lain adalah hadits-hadits berikut ini:
Sesungguhnya Allah ”Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu
sya”ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani
Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani dan
Ahmad)
Namun Al-Imam At-Tirmizy menyatakan bahwa riwayat ini didhaifkan oleh Al-Bukhari.
Selain hadits di atas, juga ada hadits lainnya yang meski tidak sampai derajat shahih, namun oleh para ulama diterima juga.
“Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada
malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku
menyangka beliau telah diambil. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari
sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, “Wahai Asiyah, (atau
Wahai Humaira”), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan
hakmu kepadamu?” Aku menjawab, “Tidak ya Rasulallah, namun Aku
menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama
sekali.” Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kamu malam apa ini?” Aku
menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Ini
adalah malam nisfu sya”ban (pertengahan bulan sya”ban). Dan Allah muncul
kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya”ban dan mengampuni orang yang
minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang
yang hasud sebagaimana perilaku mereka.” (HR Al-Baihaqi)
Al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini lewat jalur Al-”Alaa” bin Al-Harits
dan menyatakan bahwa hadits ini mursal jayyid. Hal itu karena Al-”Alaa”
tidak mendengar langsung dari Aisyah ra.
Ditambah lagi dengan
satu hadits yang menyebutkan bahwa pada bulan Sya”ban amal-amal manusia
dilaporkan ke langit. Namun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan
bahwa hal itu terjadi pada malam nisfu sya”ban.
“Dari Usamah bin
Zaid ra bahwa beliau bertanya kepada nabi SAW, “Saya tidak melihat
Andaberpuasa (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya”ban.” Beliau menjawab,
“Bulan sya”ban adalah bulan yang sering dilupakan orang dan terdapat di
antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya
amal-amal kepada rabbul-alamin. Aku senang bila amalku diangkat
sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR An-Nasai)
Dari tiga
hadits di atas, kita bisa menerima sebuah gambaran para para ahli hadits
memang berbeda pendapat. Dan apakah kita bisa menerima sebuah riwayat
yang dhaif, juga menjadi ajang perbedaan pendapat lagi. Sebab sebagian
ulama membolehkan kita menggunakan hadits dhaif (asal tidak parah),
khususnya untuk masalah fadhailul a”mal, bukan masalah aqidah asasiyah
dan hukum halam dan haram.
Anggaplah kita meminjam pendapat
yang menerima hadits-hadits di atas, maka kita akan mendapati bahwa
memang ada kekhususan di bulan sya”ban khususnya malam nisfu sya”ban. Di
antaranya adalah Allah SWT mengampuni dosa-dosa yang minta ampun. Dan
bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat di malam itu dan memperlama
shalatnya. Dan bahwa bulan Sya”ban adalah bulan diangkatnya amal-amal
manusia.
Namun semua dalil di atas belum sampai kepada bagaimana bentuk teknis untuk mengisi malam nisfu sya”ban itu.
Ritual Khusus Malam Nisfu Sya”ban
Yang menjadi pertanyaan, adakah anjuran untuk berkumpul di
masjid-masjid membaca doa-doa khusus di malam itu? Dan sudahkah hal itu
dilakukan di zaman nabi SAW? Ataukah ada ulama di masa lalu yang
melakukannya di masjid-masjid sebagaimana yang sering kita saksikan
sekarang ini?
Anjuran untuk berkumpul di malam nisfu sya”ban memang
ada, namun dari segi dalilnya, apakah terkoneksi hingga Rasulullah SAW,
para ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil itudhaif. Di antaranya
hadits berikut ini:
“Dari Ali bin Abi Thalib secara marfu”
bahwa Rasululah SAW bersabda, “Bila datang malam nisfu sya”ban, maka
bangunlah pada malamnya dan berpuasa lah siangnya. Sesungguhnya Allah
SWT turunpada malam itu sejak terbenamnya matahari kelangit dunia dan
berkata, “Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah
yang minta rizki, Aku akan memberinya riki.Adakah orang sakit, maka Aku
akan menyembuhkannya, hingga terbit fajar. (HR Ibnu Majah dengan sanad
yang dhaif)
Sedangkan pemandangan yang seperti yang kita lihat
sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus
di malam nisfu sya”ban di masjid-masjid, belum kita temui di zaman
Rasulullah SAW maupun di zaman shahabat. Kita baru menemukannya di zaman
tabi”in, satu lapis generasi setelah generasi para shahabat.
Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman
59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin
Mi”dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam
nisfu sya”ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.
Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga
hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz,
seperti Atho” bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang
mengatakan bahwa hal itu bid”ah.
Al-Qasthalany kemudian meneruskan
di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk
teknis ibadah di malam nisfu sya”ban.
1. Bentuk Pertama
Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah
pandangan Khalid bin Mi”dan, Luqman bin ”Amir. Dianjurkan pada malam itu
untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman,
memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah
di masjid.
Praktek sepertiini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih
dan beliau berkomentar tentang hal ini, “Amal seperti ini bukan
bid”ah.” Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam
kitabnya.
2. Bentuk kedua
Pendapat ini didukung oleh
Al-Auza”i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup
dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak
perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun
istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak
dianjurkan.
Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya”ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.
Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab
Syafi”i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh
pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba”in
an-nawawiyah, al-majmu”), punya pendapat menarik tentang ritual khusus
di malam nisfu sya”ban.
Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk
ritual yang bid”ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya
adalah bid”ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak
dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid”ah. Keduanya tidak ada
dalilnya dari Rasulullah SAW.
Beliau mengingatkan untuk tidak
terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam
kitabIhya” Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya
Abu Talib Al-Makki.
Ustadz ”Athiyah Shaqr
Beliau
adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa lalu. Dalam
pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan
shalat sunnah di malam nisfu sya”ban antara Maghri dan Isya” demi untuk
bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian
juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa,
meminta ampun kepada Alla. Semua itu memang dianjurkan.
Namun lafadz doa panjang umur dan sejenisnya, semua itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah SAW.
Dr. Yusuf al-Qaradawi
Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah
berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya”ban bahwa tidak pernah
diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di
masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya”ban, membaca doa tertentu dan
shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang
Islam.
Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat
dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan
niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang
tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan
tabi’ tabi`in).
Kesimpulan
Dan memang masalah ini
adalah mahallun-khilaf” sepajang zaman. Tidak akan ada penyelesaiannya,
karena masing-masing pihak berangkat dengan ijtihad dan dalil
masing-masing, di mana kita pun berhusnudzdzhan bahwa mereka punya niat
yang baik serta mereka memiliki kapasitas dan otoritas dalam berijtihad.
Lepas dari keyakinan kita masing-masing yang merupakan hak kita untuk
mengikutinya, namun hak kita dibatasi oleh adanya hak saudara kita dalam
kebebasan berekspresi dalam ijtihad mereka, selama masih dalam koridor
manhaj yang benar.
Wallahu a”lam bishshawab, wassalamu ”alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar