Kamis, 28 Agustus 2014

METODOLOGI DAN CORAK TAFSIR Al-BAYAN KARYA : PROF.DR. TEUNGKU MUHAMAD HASBI ASH SHIDDIEQY





METODOLOGI  DAN  CORAK TAFSIR Al-BAYAN
KARYA : PROF.DR. TEUNGKU MUHAMAD HASBI ASH SHIDDIEQY


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah dan Pemikiran Tafsir Di Indonesia
Dosen Pengampu : DR. Nur Arfiyah Febriani, MA


Oleh :
Achmad Munir


PROGRAM  PASCA SARJANA INSTITUT  PTIQ
KONSENTRASI  ILMU  TAFSIR
2013

A.    Abstrak
kemunculan dan perkembangan tafsir Al-Qur'an di Indonesia, yang didasarkan pada tahun pada awal abad 20, terbagi dalam tiga generasi. Generasi pertama, kira-kira dari permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an. Dalam era ini telah ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir. Generasi kedua, merupakan penyempurnaan atas generasi pertama, yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an. Cirinya, biasanya mempunyai beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata, dan kadang-kadang disertai dengan indeks yang sederhana. Tafsir generasi ketiga, mulai muncul pada 1970-an merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang disertai juga dengan terjemahannya.[1]

B.      Pendahuluan
Al-Qur'an bagi kaum muslimin adalah  kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara Jibril selama kurang lebih 23 tahun. Dalam konteks penulis tafsir Indonesia dasawarsa enampuluhan, kita mengenal Tengku Muhamad Hasbi Ash Shiddiqy dengan dua karya tafsirnya; An-Nur dan Al-Bayan. Makalah ini selanjutnya akan mendeskripsikan beberapa hal tentang Tafsir Al-Bayan, menyangkut biografi penulis, pemikiran, karya, pendekatan tafsirnya, metode, madzhabnya.
Tafsir al-Bayan merupakan hasil karya kedua yang dikarang oleh Prof. T.M Hasbi ash Shiddieqy dalam bidang penafsiran al-Qur’an sesudah karyanya yang pertama yaitu Tafsir An-Nur yang diterbitkan pada tahun 1956. Pada Muqaddimah tafsir ini, Hasbi Ash Shiddieqy menulis: “Dengan inayah Allah Taala dan taufiq-Nya, setelah saya selesai dari menyusun Tafsir An-Nur yang menterjemahkan ayat dan menafsirkannya, tertarik pula hati saya kepada menyusun al-Bayan” . Karyanya yang kedua ini juga merupakan terjemahan dan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia yang diperkirakan dihasilkan oleh pengarang pada awal tahun 60-an lagi.
Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan sebab-sebab penulisan tafsir ini adalah untuk menyempurnakan sistem penerjemahan yang terdapat dalam Tafsir An-Nur karya pertamanya dalam bidang ini. Di samping itu ia juga merasa bahwa terjemahan-terjemahan al-Qur’an yang beredar ditengah-tengah masyarakat perlu dikaji dan ditinjau ulang.
C.     Biografi Penulis
Penulis tafsir ini adalah Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi bin Muhammad Husein bin Muhammad Mas’ud bin Abd. Rahman Ash Shiddieqy. Dilahirkan pada bulan Jumadil Akhir 1321H/ 10 Maret 1907 M di Lho Seumawe + 273 km sebelah timur Banda Aceh. Hasbi Ash Shiddieqy menuntut ilmu dari para ulama di beberapa pondok pesantren terkenal di Dayah, Blangkabu, Gendong, Krueng Mane, Kutaraja dsb. Dari silsilahnya diketahui bahwa ia adalah keturunan ke-37 dari Abu Bakar Ash Shiddieq Radhiyallahu anhu.[2]
Beliau mempelajari bahasa Arab daripada gurunya yang bernama Syeikh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berbangsa Arab. Pada tahun 1926 T.M Hasbi ash Shiddieqy berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pelajarannya di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati (1874-1943), yang dikenal sekarang dengan Alirsyad Al-Islamiyyah ,beliau seorang ulama yang berasal dari Sudan . Di Madrasah al-Irsyad Hasbi ash Shiddieqy mengambil takhassus dalam bidang pendidikan selama 2 tahun. Pengajiannya di al-Irsyad dan gurunya Ahmad Surkati banyak memberi didikan ke arah pembentukan pemikiran moden. Beliau juga pernah menuntut di Timur Tengah.
T.M Hasbi ash Shiddieqy merupakan seorang ulama Indonesia yang terkenal. Beliau memiliki keahlian dalam bidang ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadith, dan ilmu kalam. T.M Hasbi ash Shiddieqy telah dianugerahkan dua gelar Doktor Honoris Causa sebagai penghargaan di atas jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman Indonesia. Anugerah tersebut diperoleh dari Universitas Islam Bandung dan (UNISBA) pada 22 Maret 1975, dan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 29 Oktober 1975.
Hasbi Ash Shiddieqy meninggal dunia pada tanggal 9 Desember 1975. Jasad beliau dikebumikan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta.

D.    Pemikiran Penulis
Seperti ulama’ lainnya, Hasbi ash Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat dinamis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakupi semua aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun hubungannya dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber wahyu dari  Allah swt, difahami oleh umat Islam melalui metode ijtihad untuk diadaptasikan setiap perkembangannya yang berlaku dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh yang ditulis oleh ulama’ mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam mujtahid mazhab empat yaitu Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal. Menurut Hasbi ash Shiddieqy, kebanyakan umat Islam, khususnya di Indonesia tidak membedakan antara syariat  yang bersifat wahyu dari Allah swt dan fiqh yang merupakan ijtihad ulama’ terhadap syariat tersebut. Selama ini terdapat masyarakat Indonesia yang cenderung menganggap fiqh sebagai syariat. Akibatnya, kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh imam-imam mazhab diambil sebagai sumber syariat, walaupun kadang-kadang pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji dengan konteks terkini, kerana hasil ijtihad mereka tidak terlepas dari situasi dan keadaan sosial budaya serta lingkungan geografik. Tentu saja hal ini berbeda dengan keadaan masyarakat  sekarang.
Menurutnya, umat Islam harus mencipta hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang masyarakat Indonesia. Namun begitu, tidak berarti ijtihad ulama’ terdahulu harus dibuang sama sekali, tetapi harus diteliti dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik.
Untuk usaha ini, ulama’ harus mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Hasbi ash Shiddieqy berpendapat bahawa pintu ijtihad tidak pernah tertutup, kerana ijtihad adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan dari semasa ke semasa. Menurutnya, untuk menuju fiqh Islam yang berwawasan ke Indonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan.
Pertama: Ijtihad dengan mengklasifikasi hukum-hukum keluaran ulama’ mazhab terdahulu. Ini bertujuan agar dapat memilih pendapat yang masih sesuai untuk diterapkan dalam masyarakat.
Kedua: Ijtihad dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Hukum ini, menurut beliau berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat.
Ketiga: Ijtihad dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontemporer yang timbul akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Disebabkan kompleksnya permasalahan yang timbul akibat kemajuan, maka pendekatan yang dilakukan untuk mengatasinya tidak boleh dikhususkan hanya pada bidang-bidang tertentu saja. Oleh kerana itu, ijtihad tidak dapat dilaksanakan dengan efektif jika dilakukan secara individu. Hasbi ash Shiddieqy menawarkan gagasan ijtihad jama’i. Beranggota bukan hanya golongan ulama’, tetapi juga terdiri dari pelbagai kalangan muslim yang lain seperti, ahli ekonomi, sarjana, budayawan, dan ahli politik yang mempunyai visi dan wawasan terhadap permasalahan umat Islam. Mereka yang duduk dalam lembaga ijtihad masing-masing berusaha memberi buah fikiran yang sesuai dengan keahlian dan disiplin ilmu. Dengan demikian, rumusan ijtihad yang diputuskan oleh lembaga ini lebih mendekati kebenaran dan lebih sesuai dengan tuntutan situasi dan kemaslahatan masyarakat. Dalam gagasan ijtihad ini  metodologi pengambilan dan penetapan hukum (istinbat) mengambil dari yang telah dirumuskan oleh para ulama seperti qiyas, istihsan, masalah mursalah dan urf dan sebagainya.

E.      Analisis Kajian.
a .  Metodologi Penafsiran.
Metodologi yang ditempuh oleh Hasbi Ash-Shidieqiy dalam tafsir al-Bayan, dapat terlihat pada penuturannya pada lembaran pertama yang memuat kaidah-kaidah penafsiran beliau, yaitu:
• Menterjemahkan makna lafazh dan menterjemahkan kalimat-kalimat, baik di awal ayat, dipertengahan, maupun di akhir ayat.
• Menterjemahkan kalimat-kalimat yang mempunyai dua terjemahan dengan lengkap.
• Menterjemahkan makna ayat yang dapat diterjemahkan lebih dari satu macam, karena adanya gramatika bahasa baik karena nahwu, sharaf, balaghoh .
• Menerangkan pendapat-pendapat ulama ketika mengartikan suatu ayat, atau kalimat yang berbeda-beda.

Jika melihat apa yang telah dituturkan oleh beliau, kita dapat segera mengambil kesimpulan, bahwa tafsir al-bayan menggunakan metode ijmali. Jadi, tafsir al-ijmali ialah penafsiran al-qur'an dengan cara mengemukakan isi dan kandungan al-qur'an melalui pembahasan yang panjang dan luas, tidak secara rinci. Pembahasan tafsir al-ijmali hanya meliputi beberapa aspek dan dalam bahasa yang sangat singkat. Biasanya lebih mengedepankan arti kata-kata (al-mufradah), sabab an-nuzul dan penjelasan singkat. Adakalanya juga mengedepankan al-mufradat, lalu sabab an-nuzul dan al-ma'na, atau mendahulukan al-ma'na dan sabab al-nuzul. Dalam tafsir al-Bayan, metode ijmali sangat kuat sekali, ini terbukti ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat ke-2, "ini, adalah Al-Kitab (Al-qur'an) yang sempurna, tak ada yang diragukan tentang kebenaran isinya; yang memberikan petunjuk kepada para muttaqiin". Dalam catatan kaki dituliskan, "Dzalika, disini dapat diartikan 'ini'. Orang Arab mempergunakannya untuk ini dan itu. Jika diartikan dengan 'itu', padahal al-Qur'an ada di hadapan kita, maka adalah untuk ta'zhim”. Terkadang juga, dalam menjelaskan arti suatu lafazh, beliau memaparkan makna secara bahasa yang kemudian di sambung dengan berbagai pendapat para ulama dalam mengartikan lafazh tersebut, seperti tatkala menguraikan lafazh 'iblis' dalam surat al-Baqarah ayat  34  pada catatan kaki no. 52 hal 193. Pada aspek asbab an-nuzul, beliau tidak terlalu memberikan penekanan yang berarti, maksudnya bahwa tidak setiap ayat yang memiliki asbab an-nuzul beliau cantumkan dalam tafsirnya, hanya pada beberapa tempat saja beliau memaparkannya. Seperti dalam al-Baqarah ayat 14, beliau tidak mencantumkan asbab an-nuzul, padahal ada riwayat dari imam al-Wahidiy dan ats-Tsa'labiy yang menceritakan asbab an-nuzul ayat tersebut. Begitu juga dalam surat Ali-Imran ayat 12, beliau tidak menyinggung sedikitpun sabab an-nuzul ayat tersebut, padahal dalam Sunan Abu Daud dan al-Baihaqiy dalam kitabnya 'Ad-Dalail' dari jalan Ibnu Ishaq diceritakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan tentang kekalahan kaum kafir Quraisy dalam perang Badr yang dicela oleh kaum Yahudi bahwa kekalahan kaum kafir Quraisy disebabkan mereka tidak mengerti akan strategi perang. Kadang-kadang beliau mencantumkan sabab an-nuzul hanya mengambil semangatnya saja tanpa menerangkan secara detail jalan periwayatannya, hal ini sebagaimana terlihat tatkala menjelaskan tafsir surat al-Baqarah ayat 114 dalam catatan kaki no. 136, "Yakni : orang-orang musyrik akan memasuki al-Masjidil Haram dengan rasa ketakutan. Ayat ini dihadapkan kepada orang-orang musyrikin yang mengusir Nabi dari Mekkah dan mencegah Nabi salat dalam masjidil haram serta menghadang Nabi masuk ke Mekkah pada tahun Hudaibiyyah". Penjelasan ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh as-Suyuthi dalam 'Lubab an-Nuqul' dengan mengutip riwayat Ibnu Jarir melalui jalur periwayatan Ibnu Zaid. Metode penafsiran ijmali yang ditempuh oleh Hasbie ash-Shidiqie ditegaskan oleh beliau dalam pengantar tafsirnya, "Jelasnya, terjemahan saya lakukan adakalanya bersifat menterjemahkan lafazh ayat saja, adakalanya menterjemahkan makna ayat, yaitu: dengan memasukkan ke dalam terjemah lafazh, yaitu makna yang harus  dipandang ada”[3].


b.  Sumber Penafsiran.
Penyusun tafsir al-Bayan, Hasbie ash-Shidiqie mencoba untuk mengkolaborasikan/ memadukan dua sumber penafsiran, yaitu tafsir bir riwayah dan tafsir bi dirayah. Nuansa tafsir riwayat terlihat sebagaimana penuturannya pada pengantar tafsir, "Untuk membedakan antara ayat-ayat yang sebanding dengan ayat yang ada hubungannya dengan penafsiran ayat......., sedang ayat-ayat yang ada hubungannya dengan tafsir ayat, diawali dengan : "bacalah (perhatikan) ayat: .......". Metode tafsir riwayat, yaitu diantaranya tafsirul qur'an bil qur'an ini terlihat tatkala menafsirkan ayat 82 dari surat al-An'am," Segala mereka yang telah beriman dan tiada mencampuri iman mereka dengan sesuatu kezaliman ...", yang dimaksud suatu kezaliman diterangkan dalam catatan kaki no. 867, "Ya'ni : Syirik, baca ayat 13 surat 31 (Lukman). Tafsir tersebut sesuai dengan apa yang diriwayatkan  oleh  Imam Bukhari dalam shahihnya dari jalur periwayatan Qutaibah, yaitu tatkala para sahabat merasa gelisah dengan turunnya ayat 82 surat al-An'am tersebut karena merasa sulit untuk menghindari perbuatan zhalim, lalu Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud zhalim dalam ayat tersebut adalah perbuatan syirik. Begitu juga dalam ayat 36 surat an-Nisa, "Dan sembah olehmu Allah, janganlah kamu memperserikatkan sesuatu dengan Dia dan berbuat ihsanlah kepada kedua ibu bapak ...", dalam catatan kaki untuk ayat tersebut no. 555, beliau menuliskan : "baca : ayat 14 surat 31 (Lukman), ayat 23 surat 17 (al-Isra)". Kedua ayat tersebut mempunyai kesamaan dengan ayat 36 surat an-Nisa diatas. Hanya disayangkan, penafsiran ayat dengan ayat (tafsirul qur'an bil qur'an) yang beliau tempuh banyak terjebak pada penafsiran hasil pemikiran beliau, tanpa didukung dengan sumber riwayat yang terpercaya yang benar-benar mendukung akan tafsir tersebut[4].
Nuansa tafsir ayat dengan hadis dalam tafsir al-Bayan ini juga mendapat apresiasi yang cukup, seperti terlihat tatkala menafsirkan surat al-Fatihah ayat ke-7, " Yang bukan jalan orang-orang yang dibenci ...", ditafsirkan dalam catatan kaki no. 12, "ya'ni: orang-orang yang menyimpang dari jalan raya Islam, baik mereka dari agama Yahudi maupun dari agama lain". Sama seperti penjelasan Rasulullah saw tentang ma'na "al-maghdhub 'alaihim" adalah orang-orang Yahudi sebagaimana riwayat Abd bin Humaid dari ar-Rabi' bin Anas. Hanya dalam beberapa tempat, Hasbie tidak menyebutkan sunnah yang menjelaskan lafazh tertentu pada suatu ayat, seperti dalam surat al-Insyiqaq (84) ayat 7-8 yang luput dari perhatiannya, padahal Nabi ada menjelaskan lafazh 'uthiya' dengan menampakkan perbuatan dan lafazh 'yuhasabu' dengan arti disiksa. Untuk tafsir ayat dengan perkataan shahabat, dapat terlihat tatkala menafsirkan surat an-Naml ayat 8, "Sesungguhnya aku melihat nyala api ...", beliau mengutip pendapat Ibnu Abbas dalam catatan kaki no. 2040 bahwa yang dilihat oleh Musa adalah suatu sinar, bukan api.Kecenderungan Tafsir Al-Bayan  lebih banyak diwarnai  tafsir dirayah yang  sangat terlihat sekali dalam tafsirnya. Dalam banyak ayat beliau menjelaskan makna ayat bersumber dari pemikirannya. Terkadang juga beliau mengutip pendapat mufasir zaman klasik dan pertengahan seperti Fakhrudin ar-Razi dan Ibnu Katsir, juga pendapat mufassir mutaakhir seperti Rasyid Ridla dan Muhammad Abduh. Tafsir al-Qashimiy juga tidak luput dari sumber rujukannya. Untuk lebih memberikan bobot pada tafsirnya, tidak jarang beliau menganalisis dari segi bahasa dengan mengutip pendapat ahlinya, seperti ar-Raghib al-Ashfahani seperti tatkala menjelaskan kata hikmah[5].



c. Pendekatan Tafsir.
Pengertian pendekatan tafsir disini dimaknai sebagai titik pijak  dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda. Ada dua pendekatan: (1) berorientasi pada teks ayat yang kemudian disebut pendekatan tekstual dan (2) berorientasi pada konteks pembaca (penafsir), yang kemudian disebut pendekatan kontekstual. Tafsir al-Bayan tersebut  sangat terlihat tekstual sekali. Ini terlihat bahwa penafsir lebih berorientasi pada teks pada ayat. Analisis tafsirnya cenderung bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks) dimana ayat tersebut turun, yang ujung-ujungnya bermuara pada konteks ayat. Seperti terlihat dalam penafsiran surat al-A'raf ayat 96, "Sekiranya penduduk kota-kota –yang telah dibinasakan- beriman dan bertakwa tentulah Kami mudahkan bagi mereka segala kebajikan langit dan bumi ...", dalam catatan kaki, beliau menuliskan, " Ayat ini memberi pengertian bahwa penduduk kota yang beriman berjumlah kecil, tidak seluruhnya. Hanya penduduk kota Yunus yang beriman semuanya. Konteks ayat hanya berhenti sampai disana saja, tidak dieksplor lebih jauh, minimal zaman dimana beliau hidup yang mempunyai dinamika tersendiri yang cukup menarik perhatian bagi yang menginginkan perbaikan (maslahat) dan perubahan. Di ayat lain, tepatnya tatkala menafsirkan surat ar-Ruum ayat 41, "Telah lahir kerusakan di darat dan di laut disebabkan dosa-dosa yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia ...", dalam catatan kaki no. 2152, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah berjangkitnya berbagai kesukaran dan kemaksiatan. Tafsir tersebut sangat lepas dengan dimensi ruang dan waktu dimana mufassir tersebut hidup.

d. Relevansi Metodologi Penafsiran.
Beberapa aspek kajian ulumul Qur'an yang beliau terapkan dalam Tafsir al-Bayan cukup mendapatkan apresiasi yang memadai. Ilmu munasabah, khususnya munasabah bainas suwar (ayat) tidak pernah beliau lewatkan, sekalipun dengan penjelasan yang cukup global. Seperti tatkala menerangkan hubungan surat Ali Imran dengan surat al-Baqarah, "Surat ini sebagaimana surat yang telah lalu dimulai dengan menerangkan tentang al-Qur'an dan keadaan manusia dalam mengambil petunjuk dengan al-Qur'an itu. (1) dalam surat yang telah lalu diterangkan orang yang beriman kepada al-Qu'an, orang yang tidak beriman dan orang yang munafik. Dalam surat ini Allah menerangkan kaum yang tidak lurus perjalanannya, mengikuti hawa nafsu untuk menimbulkan fitnah, dan yang kokoh ilmunya lagi mengimani ayat-ayat muhkamah dan mutasyabihah yang semuanya itu dari Allah Swt. (2) Di dalam surat al-Baqarah, Tuhan memperingatkan kita dengan kejadian Adam, sedang dalam surat Ali-Imran ini Tuhan memperingatkan kita dengan kejadian Isa. Dasar penyerupaan antara keduanya, adalah keduanya dijadikan dalam penciptaan manusia tidak sesuia dengan sunnahtullah. (3) dalam kedua surat ini Allah menantang Ahlul Kitab. Dalam surat al-Baqarah Allah  memperpanjang uraian dalam tentang bangsa Yahudi dan memperpendek keterangan orang-orang Nashrani. Dalam surat Ali-Imran ini sebaliknya. (4)  Adapun munasabah bainal ayat, beliau tidak menerangkan tentang penjelasan antara ayat yang satu dengan ayat lainnya.
Aspek Sabab an-Nuzul pada dasarnya juga mendapat porsi yang cukup signifikan, hanya kadang-kadang beliau menyebutkan secara implisit dengan tidak menerangkan riwayat yang menjadi rujukannya, tetapi bila kita mencoba untuk mencocokkan, niscaya kita akan mendapatkan padanannya pada riwayat yang terpercaya, seperti pada tafsir surat al-Ahzab ayat 36, " Dan tiada patut bagi seseorang mukmin dan mukminah memilih tentang urusan mereka, sesuatu hukum yang lain ...", dalam catatan kaki no. 2206 disebutkan, "Ayat ini diturunkan di ketika Nabi meminang Zainab untuk Zaid, ...". dalam Lubabun Nuqul, as-Suyuthi menyebutkan sumber tersebut didapati pada Imam Thabraniy dengan sanad yang shahih dari jalan Qatadah.

F.      Karya-Karya PROF.DR. TEUNGKU MUHAMAD HASBI ASH SHIDDIEQY
Berikut beberapa karya beliau antara lain :
1.      Koleksi Hadis-hadis Hukum, 9 Jilid.
2.      Mutiara Hadis 1 (Keimanan).
3.      Mutiara Hadis 2 (Thaharah dan Shalat).
4.      Mutiara Hadis 3 (Shalat).
5.      Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf dan Haji).
6.      Mutiara Hadis 5 (Nikah dan Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar dan Sumpah, Pidana dan Peradilan, Jihad).
7.      Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an.
8.      Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
9.      Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir.
10.  Kriteria Antara Sunnah dan Bid‘ah.
11.  Pedoman Shalat
12.  Pedoman Puasa.
13.  Pedoman Zakat
14.  Pedoman Haji.
15.  Tafsir Al-Qur’an An-Nur.

G.            Penutup
Tafsir al-Bayan tentunya mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh karya-karya tafsir Indonesia yang lainnya, apalagi kalau ditinjau dari metodologis penuturannya, lebih memudahkan bagi para pengkaji tafsir pemula tanpa disibukkan dengan penjelasan bertele-tele dan panjang lebar, yang justru membingungkan para pengkaji itu sendiri. Dengan bahasa yang mudah dicerna, apalagi untuk objek dimana tafsir itu lahir, penjelasan/ tafsir yang padat dan ringkas untuk disesuaikan kebutuhan, juga penbahasan ulumul Qur'an dan sejarah Tafsir pada lembaran-lembaran pertama sebelum masuk pada kajian tafsir, menambah nilai plus untuk tafsir buah karya Prof. TM Hasbie Ash-Shidiqie ini. Tentunya, kekurangan-kekurangan yang ada dalam tafsir ini tidak dapat kita pungkiri juga, bahwa disana harus ada penyempurnaan dan penekanan pada aspek-aspek kajian Ulum Tafsir/ Qur'an yang merupakan suatu tuntutan ilmiyah suatu penulisan atau tafsir, karena tafsir ini tentunya tidak terlepas dari kesalahan dan kekurangannya.


DAFTAR  PUSTAKA
1.      Ash-Sidiqie, Hasbie, Tafsir al-Bayan, Bandung : PT. Al-Ma'arif, 1966.
2.      As-Suyuthi, Jalaluddin, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Beirut: Dar Ihya al-Ulum,1978.
3.      Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta: Teraju 2003.
4.      Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur 2007.
5.      Federspiel, Howard M, Kajian Al-Qur’an Di Indonesia, Mizan, Jakarta, 1996.




[1] Howard M. Federspiel,Kajian Al-Qur’an Di Indonesia, Mizan, Jakarta, 1996, hal.137.
[2] DR. Abdul Halim Hanafi, Sejarah Ulama-Ulama Indonesia, Obor, Jakarta, 1999, hal.320.
[3] Ash-Sidiqie, Hasbie, Tafsir al-Bayan, Bandung : PT. Al-Ma'arif, 1966, hal. 7- 8.

[4] Makalah seminar, Moh Manshur, Perbandingan Tafsir ulama Indonesia, UIN Wali Songo, 1992.
[5] Ibid.

Tidak ada komentar: