METODOLOGI DAN
CORAK TAFSIR Al-BAYAN
KARYA : PROF.DR. TEUNGKU MUHAMAD
HASBI ASH SHIDDIEQY
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah dan Pemikiran Tafsir Di
Indonesia
Dosen Pengampu : DR. Nur Arfiyah Febriani, MA
Oleh
:
Achmad
Munir
PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PTIQ
KONSENTRASI ILMU
TAFSIR
2013
A.
Abstrak
kemunculan dan perkembangan tafsir Al-Qur'an di
Indonesia, yang didasarkan pada tahun pada awal abad 20, terbagi dalam tiga
generasi. Generasi pertama, kira-kira dari permulaan abad ke-20 sampai awal
tahun 1960-an. Dalam era ini telah ditandai dengan adanya penerjemahan dan
penafsiran yang masih didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung
pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir. Generasi kedua, merupakan
penyempurnaan atas generasi pertama, yang muncul pada pertengahan tahun
1960-an. Cirinya, biasanya mempunyai beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan
kata perkata, dan kadang-kadang disertai dengan indeks yang sederhana. Tafsir
generasi ketiga, mulai muncul pada 1970-an merupakan penafsiran yang lengkap,
dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang disertai juga dengan
terjemahannya.[1]
B.
Pendahuluan
Al-Qur'an
bagi kaum muslimin adalah kalamullah
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara Jibril selama kurang
lebih 23 tahun. Dalam konteks penulis tafsir Indonesia dasawarsa enampuluhan,
kita mengenal Tengku Muhamad Hasbi Ash Shiddiqy dengan dua karya tafsirnya;
An-Nur dan Al-Bayan. Makalah ini selanjutnya akan mendeskripsikan beberapa hal
tentang Tafsir Al-Bayan, menyangkut biografi penulis, pemikiran, karya,
pendekatan tafsirnya, metode, madzhabnya.
Tafsir al-Bayan merupakan hasil karya kedua yang dikarang oleh Prof. T.M
Hasbi ash Shiddieqy dalam bidang penafsiran al-Qur’an sesudah karyanya yang
pertama yaitu Tafsir An-Nur yang diterbitkan pada tahun 1956. Pada Muqaddimah
tafsir ini, Hasbi Ash Shiddieqy menulis: “Dengan inayah Allah Taala dan
taufiq-Nya, setelah saya selesai dari menyusun Tafsir An-Nur yang
menterjemahkan ayat dan menafsirkannya, tertarik pula hati saya kepada menyusun
al-Bayan” . Karyanya yang kedua ini juga merupakan terjemahan dan tafsir
al-Qur’an dalam bahasa Indonesia yang diperkirakan dihasilkan oleh pengarang
pada awal tahun 60-an lagi.
Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan sebab-sebab penulisan tafsir ini adalah
untuk menyempurnakan sistem penerjemahan yang terdapat dalam Tafsir An-Nur
karya pertamanya dalam bidang ini. Di samping itu ia juga merasa bahwa
terjemahan-terjemahan al-Qur’an yang beredar ditengah-tengah masyarakat perlu
dikaji dan ditinjau ulang.
C.
Biografi Penulis
Penulis tafsir ini adalah Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi bin Muhammad
Husein bin Muhammad Mas’ud bin Abd. Rahman Ash Shiddieqy. Dilahirkan pada bulan
Jumadil Akhir 1321H/ 10 Maret 1907 M di Lho Seumawe + 273 km sebelah timur
Banda Aceh. Hasbi Ash Shiddieqy menuntut ilmu dari para ulama di beberapa
pondok pesantren terkenal di Dayah, Blangkabu, Gendong, Krueng Mane, Kutaraja
dsb. Dari silsilahnya diketahui bahwa ia adalah keturunan ke-37 dari Abu Bakar
Ash Shiddieq Radhiyallahu anhu.[2]
Beliau mempelajari bahasa Arab daripada gurunya yang bernama Syeikh
Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berbangsa Arab. Pada tahun 1926 T.M
Hasbi ash Shiddieqy berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pelajarannya di
Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syeikh
Ahmad Surkati (1874-1943), yang dikenal sekarang dengan Alirsyad Al-Islamiyyah
,beliau seorang ulama yang berasal dari Sudan . Di Madrasah al-Irsyad Hasbi ash
Shiddieqy mengambil takhassus dalam bidang pendidikan selama 2 tahun.
Pengajiannya di al-Irsyad dan gurunya Ahmad Surkati banyak memberi didikan ke
arah pembentukan pemikiran moden. Beliau juga pernah menuntut di Timur Tengah.
T.M Hasbi ash Shiddieqy merupakan seorang ulama Indonesia yang terkenal.
Beliau memiliki keahlian dalam bidang ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadith,
dan ilmu kalam. T.M Hasbi ash Shiddieqy telah dianugerahkan dua gelar Doktor
Honoris Causa sebagai penghargaan di atas jasa-jasanya terhadap perkembangan
Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman Indonesia.
Anugerah tersebut diperoleh dari Universitas Islam Bandung dan (UNISBA) pada 22
Maret 1975, dan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 29 Oktober 1975.
Hasbi Ash Shiddieqy meninggal dunia pada tanggal 9 Desember 1975. Jasad
beliau dikebumikan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta.
D.
Pemikiran Penulis
Seperti
ulama’ lainnya, Hasbi ash Shiddieqy berpendirian bahwa syariat Islam bersifat
dinamis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakupi
semua aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia
maupun hubungannya dengan Tuhannya. Syariat Islam yang bersumber wahyu dari Allah swt, difahami oleh umat Islam melalui
metode ijtihad untuk diadaptasikan setiap perkembangannya yang berlaku dalam
masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudian melahirkan fiqh. Banyak kitab fiqh
yang ditulis oleh ulama’ mujtahid. Di antara mereka yang terkenal adalah imam-imam
mujtahid mazhab empat yaitu Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad ibn
Hanbal. Menurut Hasbi ash Shiddieqy, kebanyakan umat Islam, khususnya di
Indonesia tidak membedakan antara syariat
yang bersifat wahyu dari Allah swt dan fiqh yang merupakan ijtihad
ulama’ terhadap syariat tersebut. Selama ini terdapat masyarakat Indonesia yang
cenderung menganggap fiqh sebagai syariat. Akibatnya, kitab-kitab fiqh yang
ditulis oleh imam-imam mazhab diambil sebagai sumber syariat, walaupun
kadang-kadang pendapat imam mazhab tersebut ada yang perlu diteliti dan dikaji
dengan konteks terkini, kerana hasil ijtihad mereka tidak terlepas dari situasi
dan keadaan sosial budaya serta lingkungan geografik. Tentu saja hal ini berbeda
dengan keadaan masyarakat sekarang.
Menurutnya, umat Islam harus
mencipta hukum fiqh yang sesuai dengan latar belakang masyarakat Indonesia.
Namun begitu, tidak berarti ijtihad ulama’ terdahulu harus dibuang sama sekali,
tetapi harus diteliti dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari
sikap fanatik.
Untuk usaha ini, ulama’ harus
mengembangkan dan menggalakkan ijtihad. Hasbi ash Shiddieqy berpendapat bahawa
pintu ijtihad tidak pernah tertutup, kerana ijtihad adalah sesuatu yang tidak
dapat dielakkan dari semasa ke semasa. Menurutnya, untuk menuju fiqh Islam yang
berwawasan ke Indonesiaan, ada tiga bentuk ijtihad yang perlu dilakukan.
Pertama: Ijtihad
dengan mengklasifikasi hukum-hukum keluaran ulama’ mazhab terdahulu. Ini
bertujuan agar dapat memilih pendapat yang masih sesuai untuk diterapkan dalam
masyarakat.
Kedua: Ijtihad
dengan mengklasifikasikan hukum-hukum yang semata-mata didasarkan pada adat
kebiasaan dan suasana masyarakat di mana hukum itu berkembang. Hukum ini,
menurut beliau berubah sesuai dengan perubahan masa dan keadaan masyarakat.
Ketiga: Ijtihad
dengan mencari hukum-hukum terhadap masalah kontemporer yang timbul akibat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Disebabkan
kompleksnya permasalahan yang timbul akibat kemajuan, maka pendekatan yang
dilakukan untuk mengatasinya tidak boleh dikhususkan hanya pada bidang-bidang
tertentu saja. Oleh kerana itu, ijtihad tidak dapat dilaksanakan dengan efektif
jika dilakukan secara individu. Hasbi ash Shiddieqy menawarkan gagasan ijtihad
jama’i. Beranggota bukan hanya golongan ulama’, tetapi juga terdiri dari
pelbagai kalangan muslim yang lain seperti, ahli ekonomi, sarjana, budayawan,
dan ahli politik yang mempunyai visi dan wawasan terhadap permasalahan umat
Islam. Mereka yang duduk dalam lembaga ijtihad masing-masing berusaha memberi
buah fikiran yang sesuai dengan keahlian dan disiplin ilmu. Dengan demikian,
rumusan ijtihad yang diputuskan oleh lembaga ini lebih mendekati kebenaran dan
lebih sesuai dengan tuntutan situasi dan kemaslahatan masyarakat. Dalam gagasan
ijtihad ini metodologi pengambilan dan
penetapan hukum (istinbat) mengambil dari yang telah dirumuskan oleh para ulama
seperti qiyas, istihsan, masalah mursalah dan urf dan sebagainya.
E.
Analisis Kajian.
a . Metodologi Penafsiran.
Metodologi yang ditempuh oleh Hasbi Ash-Shidieqiy
dalam tafsir al-Bayan, dapat terlihat pada penuturannya pada lembaran pertama
yang memuat kaidah-kaidah penafsiran beliau, yaitu:
• Menterjemahkan makna lafazh dan menterjemahkan kalimat-kalimat,
baik di awal ayat, dipertengahan, maupun di akhir ayat.
• Menterjemahkan kalimat-kalimat yang mempunyai dua
terjemahan dengan lengkap.
• Menterjemahkan makna ayat yang dapat
diterjemahkan lebih dari satu macam, karena adanya gramatika bahasa baik karena
nahwu, sharaf, balaghoh .
• Menerangkan pendapat-pendapat ulama ketika
mengartikan suatu ayat, atau kalimat yang berbeda-beda.
Jika melihat apa yang telah dituturkan oleh beliau,
kita dapat segera mengambil kesimpulan, bahwa tafsir al-bayan menggunakan
metode ijmali. Jadi, tafsir al-ijmali ialah penafsiran al-qur'an dengan cara
mengemukakan isi dan kandungan al-qur'an melalui pembahasan yang panjang dan
luas, tidak secara rinci. Pembahasan tafsir al-ijmali hanya meliputi beberapa
aspek dan dalam bahasa yang sangat singkat. Biasanya lebih mengedepankan arti
kata-kata (al-mufradah), sabab an-nuzul dan penjelasan singkat. Adakalanya juga
mengedepankan al-mufradat, lalu sabab an-nuzul dan al-ma'na, atau mendahulukan
al-ma'na dan sabab al-nuzul. Dalam tafsir al-Bayan, metode ijmali sangat kuat
sekali, ini terbukti ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat ke-2, "ini,
adalah Al-Kitab (Al-qur'an) yang sempurna, tak ada yang diragukan tentang
kebenaran isinya; yang memberikan petunjuk kepada para muttaqiin". Dalam
catatan kaki dituliskan, "Dzalika, disini dapat diartikan 'ini'. Orang
Arab mempergunakannya untuk ini dan itu. Jika diartikan dengan 'itu', padahal
al-Qur'an ada di hadapan kita, maka adalah untuk ta'zhim”. Terkadang juga,
dalam menjelaskan arti suatu lafazh, beliau memaparkan makna secara bahasa yang
kemudian di sambung dengan berbagai pendapat para ulama dalam mengartikan
lafazh tersebut, seperti tatkala menguraikan lafazh 'iblis' dalam surat
al-Baqarah ayat 34 pada catatan kaki no. 52 hal 193. Pada aspek
asbab an-nuzul, beliau tidak terlalu memberikan penekanan yang berarti,
maksudnya bahwa tidak setiap ayat yang memiliki asbab an-nuzul beliau cantumkan
dalam tafsirnya, hanya pada beberapa tempat saja beliau memaparkannya. Seperti
dalam al-Baqarah ayat 14, beliau tidak mencantumkan asbab an-nuzul, padahal ada
riwayat dari imam al-Wahidiy dan ats-Tsa'labiy yang menceritakan asbab an-nuzul
ayat tersebut. Begitu juga dalam surat Ali-Imran ayat 12, beliau tidak
menyinggung sedikitpun sabab an-nuzul ayat tersebut, padahal dalam Sunan Abu
Daud dan al-Baihaqiy dalam kitabnya 'Ad-Dalail' dari jalan Ibnu Ishaq
diceritakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan tentang kekalahan kaum kafir
Quraisy dalam perang Badr yang dicela oleh kaum Yahudi bahwa kekalahan kaum kafir
Quraisy disebabkan mereka tidak mengerti akan strategi perang. Kadang-kadang
beliau mencantumkan sabab an-nuzul hanya mengambil semangatnya saja tanpa
menerangkan secara detail jalan periwayatannya, hal ini sebagaimana terlihat
tatkala menjelaskan tafsir surat al-Baqarah ayat 114 dalam catatan kaki no.
136, "Yakni : orang-orang musyrik akan memasuki al-Masjidil Haram dengan
rasa ketakutan. Ayat ini dihadapkan kepada orang-orang musyrikin yang mengusir
Nabi dari Mekkah dan mencegah Nabi salat dalam masjidil haram serta menghadang
Nabi masuk ke Mekkah pada tahun Hudaibiyyah". Penjelasan ini sesuai dengan
apa yang dipaparkan oleh as-Suyuthi dalam 'Lubab an-Nuqul' dengan mengutip
riwayat Ibnu Jarir melalui jalur periwayatan Ibnu Zaid. Metode penafsiran
ijmali yang ditempuh oleh Hasbie ash-Shidiqie ditegaskan oleh beliau dalam
pengantar tafsirnya, "Jelasnya, terjemahan saya lakukan adakalanya
bersifat menterjemahkan lafazh ayat saja, adakalanya menterjemahkan makna ayat,
yaitu: dengan memasukkan ke dalam terjemah lafazh, yaitu makna yang harus dipandang ada”[3].
b. Sumber Penafsiran.
Penyusun tafsir al-Bayan, Hasbie ash-Shidiqie
mencoba untuk mengkolaborasikan/ memadukan dua sumber penafsiran, yaitu tafsir
bir riwayah dan tafsir bi dirayah. Nuansa tafsir riwayat terlihat sebagaimana
penuturannya pada pengantar tafsir, "Untuk membedakan antara ayat-ayat
yang sebanding dengan ayat yang ada hubungannya dengan penafsiran ayat.......,
sedang ayat-ayat yang ada hubungannya dengan tafsir ayat, diawali dengan :
"bacalah (perhatikan) ayat: .......". Metode tafsir riwayat, yaitu
diantaranya tafsirul qur'an bil qur'an ini terlihat tatkala menafsirkan ayat 82
dari surat al-An'am," Segala mereka yang telah beriman dan tiada
mencampuri iman mereka dengan sesuatu kezaliman ...", yang dimaksud suatu
kezaliman diterangkan dalam catatan kaki no. 867, "Ya'ni : Syirik, baca
ayat 13 surat 31 (Lukman). Tafsir tersebut sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dalam shahihnya dari jalur periwayatan Qutaibah, yaitu tatkala para
sahabat merasa gelisah dengan turunnya ayat 82 surat al-An'am tersebut karena
merasa sulit untuk menghindari perbuatan zhalim, lalu Nabi menjelaskan bahwa
yang dimaksud zhalim dalam ayat tersebut adalah perbuatan syirik. Begitu juga
dalam ayat 36 surat an-Nisa, "Dan sembah olehmu Allah, janganlah kamu memperserikatkan
sesuatu dengan Dia dan berbuat ihsanlah kepada kedua ibu bapak ...", dalam
catatan kaki untuk ayat tersebut no. 555, beliau menuliskan : "baca : ayat
14 surat 31 (Lukman), ayat 23 surat 17 (al-Isra)". Kedua ayat tersebut
mempunyai kesamaan dengan ayat 36 surat an-Nisa diatas. Hanya disayangkan,
penafsiran ayat dengan ayat (tafsirul qur'an bil qur'an) yang beliau tempuh
banyak terjebak pada penafsiran hasil pemikiran beliau, tanpa didukung dengan
sumber riwayat yang terpercaya yang benar-benar mendukung akan tafsir tersebut[4].
Nuansa tafsir ayat dengan hadis dalam tafsir
al-Bayan ini juga mendapat apresiasi yang cukup, seperti terlihat tatkala
menafsirkan surat al-Fatihah ayat ke-7, " Yang bukan jalan orang-orang
yang dibenci ...", ditafsirkan dalam catatan kaki no. 12, "ya'ni:
orang-orang yang menyimpang dari jalan raya Islam, baik mereka dari agama
Yahudi maupun dari agama lain". Sama seperti penjelasan Rasulullah saw
tentang ma'na "al-maghdhub 'alaihim" adalah orang-orang Yahudi
sebagaimana riwayat Abd bin Humaid dari ar-Rabi' bin Anas. Hanya dalam beberapa
tempat, Hasbie tidak menyebutkan sunnah yang menjelaskan lafazh tertentu pada
suatu ayat, seperti dalam surat al-Insyiqaq (84) ayat 7-8 yang luput dari
perhatiannya, padahal Nabi ada menjelaskan lafazh 'uthiya' dengan menampakkan
perbuatan dan lafazh 'yuhasabu' dengan arti disiksa. Untuk tafsir ayat dengan
perkataan shahabat, dapat terlihat tatkala menafsirkan surat an-Naml ayat 8,
"Sesungguhnya aku melihat nyala api ...", beliau mengutip pendapat
Ibnu Abbas dalam catatan kaki no. 2040 bahwa yang dilihat oleh Musa adalah
suatu sinar, bukan api.Kecenderungan Tafsir Al-Bayan lebih banyak diwarnai tafsir dirayah yang sangat terlihat sekali dalam tafsirnya. Dalam
banyak ayat beliau menjelaskan makna ayat bersumber dari pemikirannya.
Terkadang juga beliau mengutip pendapat mufasir zaman klasik dan pertengahan
seperti Fakhrudin ar-Razi dan Ibnu Katsir, juga pendapat mufassir mutaakhir
seperti Rasyid Ridla dan Muhammad Abduh. Tafsir al-Qashimiy juga tidak luput
dari sumber rujukannya. Untuk lebih memberikan bobot pada tafsirnya, tidak
jarang beliau menganalisis dari segi bahasa dengan mengutip pendapat ahlinya,
seperti ar-Raghib al-Ashfahani seperti tatkala menjelaskan kata hikmah[5].
c. Pendekatan Tafsir.
Pengertian pendekatan tafsir disini dimaknai sebagai
titik pijak dari proses tafsir. Itu
sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir
yang berbeda-beda. Ada dua pendekatan: (1) berorientasi pada teks ayat yang
kemudian disebut pendekatan tekstual dan (2) berorientasi pada konteks pembaca
(penafsir), yang kemudian disebut pendekatan kontekstual. Tafsir al-Bayan
tersebut sangat terlihat tekstual
sekali. Ini terlihat bahwa penafsir lebih berorientasi pada teks pada ayat.
Analisis tafsirnya cenderung bergerak dari refleksi (teks) ke praksis (konteks)
dimana ayat tersebut turun, yang ujung-ujungnya bermuara pada konteks ayat.
Seperti terlihat dalam penafsiran surat al-A'raf ayat 96, "Sekiranya
penduduk kota-kota –yang telah dibinasakan- beriman dan bertakwa tentulah Kami
mudahkan bagi mereka segala kebajikan langit dan bumi ...", dalam catatan
kaki, beliau menuliskan, " Ayat ini memberi pengertian bahwa penduduk kota
yang beriman berjumlah kecil, tidak seluruhnya. Hanya penduduk kota Yunus yang
beriman semuanya. Konteks ayat hanya berhenti sampai disana saja, tidak
dieksplor lebih jauh, minimal zaman dimana beliau hidup yang mempunyai dinamika
tersendiri yang cukup menarik perhatian bagi yang menginginkan perbaikan
(maslahat) dan perubahan. Di ayat lain, tepatnya tatkala menafsirkan surat
ar-Ruum ayat 41, "Telah lahir kerusakan di darat dan di laut disebabkan
dosa-dosa yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia ...", dalam catatan
kaki no. 2152, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah
berjangkitnya berbagai kesukaran dan kemaksiatan. Tafsir tersebut sangat lepas
dengan dimensi ruang dan waktu dimana mufassir tersebut hidup.
d.
Relevansi Metodologi Penafsiran.
Beberapa aspek kajian ulumul Qur'an yang beliau
terapkan dalam Tafsir al-Bayan cukup mendapatkan apresiasi yang memadai. Ilmu munasabah,
khususnya munasabah bainas suwar (ayat) tidak pernah beliau lewatkan, sekalipun
dengan penjelasan yang cukup global. Seperti tatkala menerangkan hubungan surat
Ali Imran dengan surat al-Baqarah, "Surat ini sebagaimana surat yang telah
lalu dimulai dengan menerangkan tentang al-Qur'an dan keadaan manusia dalam
mengambil petunjuk dengan al-Qur'an itu. (1) dalam surat yang telah lalu
diterangkan orang yang beriman kepada al-Qu'an, orang yang tidak beriman dan
orang yang munafik. Dalam surat ini Allah menerangkan kaum yang tidak lurus
perjalanannya, mengikuti hawa nafsu untuk menimbulkan fitnah, dan yang kokoh
ilmunya lagi mengimani ayat-ayat muhkamah dan mutasyabihah yang semuanya itu
dari Allah Swt. (2) Di dalam surat al-Baqarah, Tuhan memperingatkan kita dengan
kejadian Adam, sedang dalam surat Ali-Imran ini Tuhan memperingatkan kita
dengan kejadian Isa. Dasar penyerupaan antara keduanya, adalah keduanya
dijadikan dalam penciptaan manusia tidak sesuia dengan sunnahtullah. (3) dalam
kedua surat ini Allah menantang Ahlul Kitab. Dalam surat al-Baqarah Allah memperpanjang uraian dalam tentang bangsa
Yahudi dan memperpendek keterangan orang-orang Nashrani. Dalam surat Ali-Imran
ini sebaliknya. (4) Adapun munasabah
bainal ayat, beliau tidak menerangkan tentang penjelasan antara ayat yang satu
dengan ayat lainnya.
Aspek Sabab an-Nuzul pada dasarnya juga mendapat
porsi yang cukup signifikan, hanya kadang-kadang beliau menyebutkan secara
implisit dengan tidak menerangkan riwayat yang menjadi rujukannya, tetapi bila
kita mencoba untuk mencocokkan, niscaya kita akan mendapatkan padanannya pada
riwayat yang terpercaya, seperti pada tafsir surat al-Ahzab ayat 36, " Dan
tiada patut bagi seseorang mukmin dan mukminah memilih tentang urusan mereka,
sesuatu hukum yang lain ...", dalam catatan kaki no. 2206 disebutkan,
"Ayat ini diturunkan di ketika Nabi meminang Zainab untuk Zaid, ...".
dalam Lubabun Nuqul, as-Suyuthi menyebutkan sumber tersebut didapati pada Imam
Thabraniy dengan sanad yang shahih dari jalan Qatadah.
F.
Karya-Karya
PROF.DR. TEUNGKU MUHAMAD HASBI ASH SHIDDIEQY
Berikut beberapa karya beliau antara
lain :
1.
Koleksi Hadis-hadis Hukum, 9 Jilid.
2.
Mutiara Hadis 1 (Keimanan).
3.
Mutiara Hadis 2 (Thaharah dan Shalat).
4.
Mutiara Hadis 3 (Shalat).
5.
Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa,
Iktikaf dan Haji).
6.
Mutiara Hadis 5 (Nikah dan Hukum
Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar dan Sumpah, Pidana dan Peradilan,
Jihad).
7.
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an.
8.
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.
9.
Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir.
10. Kriteria
Antara Sunnah dan Bid‘ah.
11. Pedoman
Shalat
12. Pedoman
Puasa.
13. Pedoman
Zakat
14. Pedoman
Haji.
15. Tafsir
Al-Qur’an An-Nur.
G.
Penutup
Tafsir al-Bayan tentunya mempunyai
kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh karya-karya tafsir Indonesia yang
lainnya, apalagi kalau ditinjau dari metodologis penuturannya, lebih memudahkan
bagi para pengkaji tafsir pemula tanpa disibukkan dengan penjelasan
bertele-tele dan panjang lebar, yang justru membingungkan para pengkaji itu
sendiri. Dengan bahasa yang mudah dicerna, apalagi untuk objek dimana tafsir
itu lahir, penjelasan/ tafsir yang padat dan ringkas untuk disesuaikan
kebutuhan, juga penbahasan ulumul Qur'an dan sejarah Tafsir pada
lembaran-lembaran pertama sebelum masuk pada kajian tafsir, menambah nilai plus
untuk tafsir buah karya Prof. TM Hasbie Ash-Shidiqie ini. Tentunya,
kekurangan-kekurangan yang ada dalam tafsir ini tidak dapat kita pungkiri juga,
bahwa disana harus ada penyempurnaan dan penekanan pada aspek-aspek kajian Ulum
Tafsir/ Qur'an yang merupakan suatu tuntutan ilmiyah suatu penulisan atau
tafsir, karena tafsir ini tentunya tidak terlepas dari kesalahan dan
kekurangannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ash-Sidiqie, Hasbie, Tafsir al-Bayan, Bandung : PT.
Al-Ma'arif, 1966.
2.
As-Suyuthi, Jalaluddin, Lubab an-Nuqul fi Asbab
an-Nuzul, Beirut: Dar Ihya al-Ulum,1978.
3.
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta:
Teraju 2003.
4.
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung:
Tafakur 2007.
5. Federspiel,
Howard M, Kajian Al-Qur’an Di Indonesia, Mizan, Jakarta, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar