Abstract
(Context) Problem utama umat Islam adalah lemahnya penghayatan terhadap
relevansi Alquran untuk masa sekarang maka harus ada upaya memahami Alquran
berdasarkan muatan legal-etisnya.
(Questions) Abdullah Saeed
mengalami kegelisahan yang berangkat dari pertanyaan sederhana “bagaimana
memahami Alquran agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat muslim kontemporer”?
(Statement) Menurut
Fazlurrahman corak penafsiran yang diwarisi dari tradisi keislaman zaman klasik
telah gagal memaparkan pesan-pesan al-Qur’an secara padat dan koheren. Oleh
karena itu, mereka tidak dapat menyajikan Alquran yang dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masa kini. Di lain pihak masih besarnya kekuatiran jika
penyajian Alquran yang relevan dengan masyarakat kontemporer malah akan
menyimpang dari otoritas pendapat tradisional.
(Theories) Abdullah Saeed
adalah seorang Kontekstualis dalam menafsirkan al-Qur’an yang konsep
penafsirannya mengarah pada jenis interpretasi yang menekankan konteks
sosio-historis dari kandungan legal-etis Alquran. Dalam argumentasi
Kontekstualis, untuk memahami kandungan legal-etis Alquran perlu
mempertimbangkan konteks politik, sosial, historis, budaya dan ekonomi ketika
Alquran diwahyukan, ditafsirkan dan diaplikasikan.
(Methodes) Dengan bahasa
yanglebih sederhana, langkah penafsiran Abdullah Said bisa disimpulkan melalui
poin-poin berikut ini:
1.
Bertemu dengan dunia teks
2.
Melakukan analisis kritis.
3.
Menemukan makna teks bagi penerima pertamanya.
4.
Menentukan makna dan aplikasi teks bagi masa kini.
(Analysis) Metode penafsiran al-Qur’an Abdullah Saeed adalah proses penafsiran
al-Qur’an yang bermuara pada metode kontekstual, yang cara kerjanya sama dengan
metode double movement-nya Fazlur Rahman. tidak heran apabila kemudian “metode
penafsiran” ini oleh kalangan tertentu dianggap memiliki akurasi dan validitas
yang tinggi ketika mengelola teks, dan metode ini biasa dikenal sebagai ”hermeneutika”.
Pada prinsipnya hermeneutika merupakan suatu metode atau cara guna menafsirkan
symbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk
dicari arti dan maknanya, yang mana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan
untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa
sekarang.
(Conclution) Tafsir
Hermeneutika bertumpu pada desakralisasi semua teks, syak (keraguan), mira’
(asumsi), dan dzon (dugaan). Adapun
langkah hermeneutis yang ditempuh Abdullah Saeed jika hanya berpijak pada
pendasaran hermeneutik semata, maka hal ini “tertolak“dalam hal menjadi bagian
dalam metode penafsiran, karena penafsiran pada dasarnya memiliki sisi
epistemology yang membedakan penafsiran dengan hermeneutik.
Interpreting the Qur'an
Towards A Contemporary Approach
A.
Pendahuluan
Alquran dan umat Islam adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Bagi umat Islam, ajaran etis Alquran bersifat mutlak dan bisa diaplikasikan di
segala ruang dan waktu (shâlih li kull zamân wa makân). Tapi fenomena dewasa
ini telah menunjukkan sebaliknya, relevansi Alquran mulai digugat dan
dipertanyakan. Bahkan dalam beberapa kasus, ajaran etis Alquran dijadikan
sebagai justifikasi terhadap tindakan yang bersifat destruktif. Polemik ini
kemudian menggugah para intelektualis muslim untuk lebih intens pada pengkajian
Alquran.
Menurut Fazlurrahman, problem utama umat Islam adalah lemahnya
penghayatan terhadap relevansi Alquran untuk masa sekarang. Oleh karena itu,
mereka tidak dapat menyajikan Alquran yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masa kini. Di lain pihak masih besarnya kekuatiran jika penyajian Alquran yang
relevan dengan masyarakat kontemporer malah akan menyimpang dari otoritas
pendapat tradisional.[1]
Penyimpangan—dalam arti perbedaan—sebenarnya tidak dapat
dihindarkan, tetapi mengikuti secara mutlak otoritas pendapat tradisonalis yang
sangat tekstualis dalam memahami suatu teks juga tidak akan menjawab persoalan.
Dalam hal ini, Abdullah Saeed menawarkan fresh perspective bagaimana memahami
legal-etis Alquran sebagaimana berikut:
I will refer to this approach as
'Contextualist'. The thrust of my argument, therefore, is towards a more
flexible approach to interpretation of these texts by taking consideration both
the socio-historical context of the Qur'an at the time of revelation in the
first/seventh century and the contemporary concerns and needs of Muslims today.
My main interest is how the meaning of the Qur'an can be related to the life of
the Muslim, in a sense its application to day-to-day practicalities in
different times, circumstances and places, particularly as it relates the
concerns and needs of the modern period.[2]
B.
Biografi Abdullah Saed
Abdullah Saeed adalah seorang professor Studi Arab dan Islam di
Universitas Melbourne Australia, sekaligus menjabat sebagai Direktur Pusat
Studi Islam Kontemporer di Universitas Melbourne. Abdullah Saeed lahir di
Maldives, pada tanggal 25 September 1964, dan dari masa kecil hingga remaja
dihabiskan di sebuah kota bernama Meedhoo yang merupakan bagian dari kota Addu
Atoll. Ia adalah seorang keturunan suku
bangsa Arab Oman yang bermukim di pulau Maldives. Namun kemudian, ia hijrah
meninggalkan tanah kelahirannya menuju Saudi Arabia untuk menuntut ilmu di sana.
Di Saudi Arabia, ia belajar bahasa Arab dan memasuki beberapa
lembaga pendidikan formal, di antaranya yaitu: Institut Bahasa Arab Dasar dan
Institut Bahasa Arab Menengah Madinah, serta Universitas Islam Saudi Arabia.
Selanjutnya, Abdullah Saeed meninggalkan Saudi Arabia menuju Australia. Di
negara Kanguru itu, ia memperoleh beberapa gelar akademis. Sampai sekarang ia
menetap dan mengajar pada salah satu universitas terkemuka dan terkenal di
sana. Saeed terlibat dalam berbagai kelompok dialog antar kepercayaan, antara
Kristen dan Islam, dan antara Yaiudi dan Islam. Karena kemahirannya dalam
beberapa bahasa seperti Inggris, Arab, Maldivia, Urdu, Indonesia dan Jerman,
membuatnya sedng mengunjungi beberapa negara: Amerika Utara, Eropa, Timur Tengai, Asia Selatan dan Asia
Tenggara. Bahkan dia memiliki banyak relasi pakar dan riset di seluruh dunia.
Karena kemahiran dan sepak terj ang dan keseriusannya di dunia keilmuatl, nama
Saeed menjadi popular dan diperhitungkan di dunia intemasional.
C.
Riwayat Pendidikan Abdullah Saeed
1.
Tahun 1977-1979, studi bahasa Arab di Institut Bahasa Arab
Universiras Islam di Madinah Saudi Arabia.
2.
Tahun 1979-1982, Ijazah Sekolah Menengah, di Institut Menengah di
Madinah Arab Saudi
3.
Tahun 1982-1986, BA (Bachelor
ofArts) dalam Studi Arab dan Islam, di Universiras Islam Madinah Saudi
Arabia.
4.
Talun 1986-1987, Sarjana Strata Satu (Masrer ofArrs heliminary)
dalam Jurusan studi Timur Tengah di Universitas Melboume Australia.
5.
Tahun 1992-1994, MA (Master
ofAts) dalam Jurusan Linguistik Terapan di Universitas Melboume
Australia.
6.
Tahun1988-1992, Ph.D. (Doctor
ofPhilosophy) dalam Studi Islam di Univenitas Melboume Australia.
D.
Kegelisahan Intelektual Abdullah Saeed
Kegelisahan Abdullah Saeed berangkat dari pertanyaan sederhana, “bagaimana
memahami Alquran agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat muslim kontemporer”.
Konsekuensi dari pertanyaan ini memerlukan sebuah upaya memahami Alquran
berdasarkan muatan legal-etisnya. Namun upaya ini tidak berjalan dengan mulus,
karena akan berhadapan dengan otoritas tradisi penafsiran yang telah dianggap
paling otoritatif, yakni suatu pendekatan terhadap universalitas dan legal-etis
Alquran dengan hanya menggunakan kriteria legalis-linguitis.
Penggunaan pendekatan yang
murni legalis-linguistis terhadap Alquran sebenarnya tidak hanya menafikan
konteks sosial historis Alquran, tetapi juga telah mengantarkan pada pemahaman
yang reduktif terhadap legal-content Alquran sendiri. Asumsi ini terbangun dari
fenomena yang berkembang selama ini bahwa ayat-ayat Alquran yang diapresiasi
dan dianggap relevan adalah ayat-ayat yang mendasari yurisprudensi hukum
(Fiqh), sedangkan sisi nonlegal Alquran menjadi terabaikan, sehingga dalam
perkembangannya, tafsir tidak lebih dari sekedar storytelling,
mistis-spekulatif, dan kering dari analisis filologi.[3]
Berdasarkan problem tersebut, Abdullah Saeed menegaskan perlunya
bangunan new approach dalam memahami Alquran. Sebuah pendekatan yang
kontekstualis dan demokratis, dengan melihat fleksibilitas interuksi legal-etis
Alquran, memahami konsep “pewahyuan” secara lebih luas, dan memperhatikan
koteks sosio-historis Alquran dalam menentukan meaning pada the first recipients,
sehingga dapat diperoleh pesan legal-etis Alquran yang relevan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat
kontemporer. Dengan demikian, the meaning Alquran akan memiliki relasi praktis
dengan aktivitas umat Islam sehari-hari. Dan inilah yang menjadi concern dan
tujuan utama Abdullah Saeed.
E.
Klasifikasi Model Penafsiran
Model penafsiran dalam identifikasi Abdullah Saeed terbagi dalam
tiga bentuk pendekatan: Tektualis, semitektualis dan kontektualis. Klasifikasi
ini didasarkan pada signifikansi penggunaan linguistis dalam menentukan makna
suatu teks, dan pertimbangan konteks sosio-historis Alquran dalam penentuan
maknannya. Model tekstualis mematuhi teks dengan sangat ketat dan pendekatan
yang digunakan adalah linguistis. Golongan Tekstualis menekankan adagium Alquran
yang membimbing umat muslim dari pada kebutuhan realitas masyarakat. Mereka
beranggapan bahwa meaning Alquran sudah final dan universal-aplikatif.[4]
Abdullah saeed menyatakan bahwa kelompok tekstualis meyakini bahwa
makna al Qur’an itu sudah fixed dan harus diaplikasikan secara universal.
Kelompok salafi termasuk penganut tipologi ini. Yang dimasukkan sebagai bagian
dari penganut tipologi ini adalah mereka yang dimasukkan dalam kategori salafi.
Semitekstualis secara esensial memiliki kesamaan dengan Tekstualis,
yakni menekankan pada pengunaan linguistic approach dan mengabaikan konteks
sosio-historisnya, akan tetapi mereka mengemas kandungan legal-etis Alquran
dengan nuansa modernis dan seringkali disertai dengan diskursus apologetis.
Sementara yang dimaksud dengan model Kontekstualis mengarah pada
jenis interpretasi yang menekankan konteks sosio-historis dari kandungan
legal-etis Alquran. Dalam argumentasi Kontekstualis, untuk memahami kandungan
legal-etis Alquran perlu mempertimbangkan konteks politik, sosial, historis,
budaya dan ekonomi ketika Alquran diwahyukan, ditafsirkan dan diaplikasikan.[5]
Pemikiran semi-tektualis
dianggap berusaha membela makna literal al Qur’an dengan cara menggunakan
idiom-idiom modern serta memakai argumentasi yang rasional. Dikategorikan dalam
kelompok ini adalah al-ikhwan al-Muslimin di Negara Mesir dan juga jama’at
Islami di Negara India.
Klasifikasi model penafsiran tersebut jika dikaji akar historisnya
akan mengarah pada dua model penafisran, yakni: at-tafsîr bi al-ma'tsûr,
penafsiran yang berdasarkan pada tradisi atau teks (tekstualalis) dan at-tafsîr
bi ar-ra'y (rasionalis). Dinamika penafsiran pada mulanya bersifat fluid,
terutama pada permualaan abad II H. atau VIII M. Fluiditas ini dilatarbelakangi
oleh empat faktor: (1) perbedaan regional, percampuran budaya, dan intensitas
interaksi antara komunitas Muslim, Kristen, Yahudi, dan Zoroaster; (2) adanya
individual approach dari kalangan sahabat Nabi atau generasi tabiin dalam
menafsirkan dan mengaplikasikan key texts Alquran dan Hadis; (3) keragaman
teks, terutama hadis; (4) perbedaan dalam memahami teks.[6]
Dalam perjalananya, pendekatan linguistik berkembang pesat di
Madinah terbukti dengan adanya sebuah institusi yang dikembangkan oleh Imam
Malik yang sangan membatasi penggunaan akal. Bahkan sampai pada asumsi bahwa
kebebasan penggunaan rasio dalam memahami suatu teks akan mengantarkan pada
krisis religius, dekandensi moral dan sikap pragmatis. Sementara kalangan
Rasionalis lebih mendapat tempat di Iraq dengan masyarakatnya yang lebih
heterogen. Salah satu tokohnya adalah Ibn Mas‘ud. Bagi kalangan rasionalis,
akal memiliki fungsi primer dalam menentukan makna suatu teks. [7]
Pada penghujung abad kedua, Tafsir telah mengkristal pada orientasi
yurisprudensi hukum (Fiqh). Dan upaya yang marak dilakukan adalah membangun
hubungan yang harmonis antara tekstualis dan rasionalis sebagai dasar hukum
untuk mewujudkan kesatuan umat. Figur yang berhasil menemukan sintesis dari
keduanya adalah Imam Shafi‘i (w. 204/820), kendati bentuk kompromis yang
dicapai sebenarnya menyempitkan penggunaan rasio.[8]
Tidak lama dari pencapain sintesis Imam Syafi'i, konflik antara
Tekstualis dan Rasionalis kembali bergejolak tetapi dalam konteks yang berbeda,
yakni teologi. Konflik ini berawal dari perselisihan tentang status Alquran,
hudûts ataukah qadîm. Teologi Muktazilah yang rasionalis dan mendapatkan
dukungan dari khalifah Al-Ma'mun mengusung tema bahwa Alquran adalah hudûts.
Ironisnya, Al-Ma'mun menjatuhkan hukuman bagi golongan yang menentangnya,
tragedi ini kemudian dikenal dengan tragedi mihnah. Salah satu tokoh yang
menentang wacana tersebut adalah murid Syafi'i, yakni Ahmad ibn Hambal (w.
241/655), seorang tekstualis. Tragedi mihnah berakhir pada kepimimpinan
khalifah Al-Mutawakkil yang menyerang balik pada teolog Mu'tazilah. Sejak
periode ini kaum elit dan intelektual bersikap anti-rasio sehingga signifikansi
akal dalam memahami kitab suci terabaikan.[9]
Kelompok
Kontektualis memposisikan diri berada
dalam golongan yang mendorong pada pemahaman al-Qur’an dengan tidak
mengesampingkan konteks politik, sosial, kesejarahan, budaya serta termasuk di
dalamnya adalah ekonomi, di mana al Qur’an diturunkan, dipahami serta
sesudahnya diaplikasikan. Tipologi seperti ini merupakan tipologi yang juga
diikuti oleh Fazlurrahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan tentunya oleh Abdullah Saeed
sendiri.
Dalam perspektif Abdullah Saeed, penafsiran berbasis rasio
sebenarnya memiliki landasan yang cukup kuat, yakni: linguistic consideration,
legal consideration, dan personal reflection.[10] Landasan
linguistic consideration dengan melihat kenyataan bahwa tidak semua orang Arab
bisa memahami Alquran dengan mudah karena adanya keragaman dialek. Hal ini
mengindikasikan pada kompleksitas makna bahwa makna suatu teks sering kali
tidak dapat diterima secara universal.
Landasan legal consideration menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran
yang secara spesifik berkaitan dengan persoalan hukum bukanlah mayoritas dari
kandugan Alquran secara keseluruhan. Demonstrasi ini menunjukkan bahwa Alquran
secara esensial tidak dimaksudkan sebagai legal text. Oleh karena itu, umat
Islam perlu melakukan interpretasi dan ekstensi dari guidance Alquran guna
menemukan relevansi Alquran dengan kebutuhan masyarakat terkait persoalan
hukum, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar. Landasan personal
reflection, dengan mempertimbangkan bahwa terdapat sejumlah ayat Alquran yang
menekankan arti penting penggunaan rasio dalam konteks refleksi dan
kontemplasi.
F.
Kerangka Berpikir Abdullah Saeed
Kerangka teori Abdullah Saeed dapat diklasifikasikan dalam konsep
berikut:
1.
Menjadikan fenomena cara membaca Alquran yang fleksibel (seven
ahruf)[11]
dan proses naskh sebagai sign bahwa Alquran mengandung flesksibilitas yang
tinggi dalam menghadapi kebutuhan masyarakat yang situasional.[12]
Fleksibilitas ini juga seharusnya berlaku dalam proses interpretasi Alquran.[13]
2.
Melegitimasi Kompleksitas makna. Abdullah Saeed mengidentifikasi
adanya keragaman bentuk kata dalam bahasa Arab yang tidak bisa diperlakukan
secara sama dalam mengggali maknanya, ia kemudian menguraikan level kata dalam
bentuk direct meaning dan indirect meaning.[14] Selain itu, adanya perubahan meaning yang
situasional juga perlu diperhatikan. Oleh karena itu, ethico-legal text perlu
dilihat sebagai disourse, bukan hanya sebagai language.[15]
Konsep kompleksitas makna memiliki korelasi positif dengan
legitimasi pemahaman yang beragam terhadap makna suatu teks. Sebenarnya
Polyinterpretasi di kalangan kontekstualis adalah keniscayaan. Tetapi ketika
polyinterpretasi berada dalam konteks legal-etis, muncul tendensi dari kalangan
tekstualis bahwa hanya ada satu bentuk interpretasi yang dapat dibenarkan.[16] Bahwa ada limitasi teks yang digunakan
Tekstualis secara ketat harus disikapi secara arif. Adanya limitasi makna dipengaruhi
oleh banyak faktor: Konteks turunnya wahyu, kondisi sosial saat teks
ditafsirkan, peranan pembaca, dan natural teks sendiri.[17]
3.
Mempertimbangkan konteks sosio-historis. Memahami konteks
sosio-historis penafsiran Alquran sangat fundamental dalam penafsiran guna
menguak makna legal-etis teks dan menentukan relevansinya terhadap kehidupan
kontemporer. Hal ini dilakukan dengan mengeksplorasi makna dalam dua dimensi,
yakni historis dan kontemporer. makna histrois merujuk pada makna teks pada
masa Nabi dan bagaimana para generasi awal memahami makna tersebut. sedangkan
makna kontemporer mengarah pada makna Alquran bagi kehidupan umat Islam saat
ini.[18] Pemahaman makna teks yang dimensional akan
mengantarkan interpreter pada fenomena nilai (values) makna teks yang terus
berubah, bergantung pada kondisi sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan
intelektual. Kenyataan ini, menurut Abdullah Saeed, juga menuntut adanya
perubahan approach dalam memahami suatu teks.[19]
4.
Merumuskan hirarki nilai ethico-legal teks. Abdullah Saeed
mengembangkan konsep hirarki nilai-nilai (values) teks, dengan memfokuskan pada
nilai legal-etisnya. Hirarki nilai ini diharapkan dapat mempermudah para
penafsir kontekstualis dalam menafsirkan ethico-legal texts. Dalam menentukan
hirarki nilai, Abdullah Saeed mendasarkan pada nilai etis "right
action" yang merupakan dasar agama sebagaimana yang telah ditekankan
Alquran.[20]
Abdullah Saeed mengelompokkan hirarki nilai Alquran sebagai berikut:
a.
Obligatory Values
Ialah nilai keagamaan yang tidak
terikat pada waktu tertentu. Semua Umat Islam menganggapnya sebagai bagian
esensial dari Islam. nilai ini dikelompokkan dalam tiga sub kategori, yaitu:
(1) nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem kepercayaan (belief); (2)
nilai-nilai yang berhubungan dengan praktik religius, salat misalnya; (3)
nilai-nilai yang berkaitan dengan status halal-haram, yang dinyatakan secara
spesifik dalam Alquran.
b.
Fundamental Values
Ialah nilai-nilai tertentu yang
berhubungan dengan hak asasi manusia. Misalnya, hak untuk perlindungan hidup
dan properti. Nilai etis yang berada dalam level ini bersifat dinamis, sesuai
dengan kebutuhan masyarakat.
c.
Protectional values
Adalah nilai-nilai etis yang
mendukung tercapainya fundamental values. misalnya larangan mencuri adalah
bentuk proteksi terhadap properti individu yang merupakan bagian dari
fundamental values.
d.
Implementational values
Adalah aturan spesifik yang
digunakan dalam implementasi Protectional values. Larangan mencuri dalam
implementasinya berbentuk potong tangan misalnya.[21]
Nilai dalam level ini berdasarkan konteks kultural dan bisa berubah. Menurut
Abdullah Saeed, aturan tersebut bukanlah objek fundamental Alquran, melainkan
pada tujuannya sebagai pencegahan terhadap perilaku yang tidak diharapkan.[22]
e.
Instructional values
Nilai-nilai etis yang terdapat dalam
Alquran yang dihubungkan dengan problem
tertentu pada masa pewahyuan. Ayat Alquran yang berada dalam level ini sangat
banyak dan variatif. Misalnya, instruksi poligami, instruksi menjadikan pria
sebagai penjaga perempuan, instruksi untuk tidak menjadikan non muslim sebagai
teman. Relevansi nilai etis yang berada dalam level ini seringkali
dipertanyakan dalam kehidupan kontemporer.[23]
oleh karena itu, Abdullah Saeed mengenalkan tiga kriteria untuk menentukan
makna legal-etis teks yang berada dalam level ini, yaitu: frekuensi
penyebutannya dalam Alquran, salience (urgensitas atau penekanan nilainya pada
periobe Nabi), dan relevansinya dengan memperhatikan konteks kultural pada masa
pewahyuan dan mengidentifikasi apakah nilai tersebut merupakan nilai objektif
atau hanya sekedar pendukung terhadap tercapainya nilai yang lebih fundamental.[24]
Pemaparan kerangka teori Abdullah saeed dapat disederhanakan dalam
bagan berikut:
Model Penafsiran Abdullah Saeed
Abdullah Saeed merumuskan langkah-langkah penafsiran sebagai
berikut:[25]
1)
Stage I :
Encounter with the World of the text.
2)
Stage II :
Critical Analysis: Linguistic, literary context, parallel texts, and precedents
3)
Stage III :
Meaning For the first recipients, Socio-historical context, worldview, Nature of the message: legal, theological,
ethical, message: contextual versus universal relationship of the message to
the overall message of the Qur'an
4)
Stage IV : Meaning
for present, Analysis of present
context, present context versus
socio-historical context, meaning from
first recipient to the present, message: Contextual versus universal application today
Langkah pertama, interpreter familiar dengan dunia text secara
keseluruhan.
Langkah kedua, interpreter memperhatikan bagaimana suatu teks
mendeskripsikan dirinya sendiri, dengan mengeksplorasikan beberapa aspek:
linguistik, konteks literer, bentuk literer, paralel teks, dan preseden.
Langkah ketiga, interpreter
menghubungkan text Alquran dengan generasi awal, bagaimana text diwahyukan,
dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan.
Langkah keempat, interpreter
menghubungkan teks dengan konteks kekinian: dengan mengidentifikasi kebutuhan
kontemporer; mengeksplorasi konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya yang
relevam erhadap teks; membandingkan konteks kekinian dan konteks sosio-hitoris
teks untuk memahami persamaan dan perbedaan konteks keduanya; menghubungkan
makna teks yang dipahami oleh generasi awal dengan konteks sekarang, dengan
mempertimbangkan persamaan dan perbedaan konteks keduanya; mengevaluasi
universalitas atau kekhususan pesan teks dengan mempertimbangkan konteks
kekinian dan mengidentifikasi ada hubungan-tidaknya suatu teks dengan objek
yang lebih luas. Berikut peta Penafsiran
Abdullah Saeed:
Dengan bahasa yang
lebih simpel langkah penafsiran Abdullah Said bisa disimpulkan menjadi:
5.
Bertemu dengan dunia teks
6.
Melakukan analisis kritis.
7.
Menemukan makna teks bagi penerima pertamanya.
8.
Menentukan makna dan aplikasi teks bagi masa kini.
Hermeneutika kontekstual memberikan sumbangsih yang berarti bagi
hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman terutama melalui perumusan hirarki nilai.
Bagi hermeneutika al- Qur’an secara umum, dengan aksentuasi dan orientasinya
yang berbeda, hermeneutika kontekstual telah memberikan sumbangan baru bagi
metodologi penafsiran al-Qur’an khususnya kontemporer.
G.
Keterpengaruhan Abdullah Saeed Oleh Pemikiran Fazlurrahman.[26]
Metode penafsiran al-Qur’an Fazlur Rahman adalah proses penafsiran
al-Qur’an yang bermuara pada suatu gerakan ganda (double movement); dari
situasi kontemporer menuju era al-Qur’an diturunkan, lalu kembali lagi ke masa
sekarang dan metode penafsiran al-Qur’an Abdullah Saeed adalah proses
penafsiran al-Qur’an yang bermuara pada metode kontekstual, yang cara kerjanya
sama dengan metode double movement-nya Fazlur Rahman
Ada beberapa indikasi dan bentuk keterpengaruhan Saeed atas ide-ide
Rahman:
1.
Saeed pernah menulis sebuah artikel yang membahas tentang kerangka
penafsiran al-Qur’an yang ditawarkan oleh Rahman;
2.
Adanya kemiripan pandangan
tentang dunia al-Qur’an:
3.
Adanya kemiripan dalam model interpretasi al-Qur’an, yakni teori
gerakan ganda (double movement)-nya Rahman dan kontekstual (contextual)-nya
Saeed;
4.
Adanya pernyataan-pernyataan yang diberikan Saeed dalam
karya-karyanya bahwa inovasi metodologi penafsiran yang dikenalkan oleh Rahman
telah memberikan kontribusi penting dan sangat berkaitan dengan pembahasan yang
dia tawarkan dalam metode penafsirannya terhadap konten ethico-legal al-Qur’an.
H.
Model tawaran penafsiran Fazlurrahman dan Abdullah saeed
Dalam memberikan penafsiran, fazlurrahman sudah luas dikenal dengan
teori gerakan ganda (double movement), dimana tercakup dalam penjabaran teori
ini, rahman berkeyakinan bahwa sebuah pemahaman dan ilmu pengetahuan tidaklah
memiliki sebuah ketetapan atau hasil akhir yang sudah final.
Menurut Fazlurrahman corak penafsiran yang diwarisi dari tradisi
keislaman zaman klasik telah gagal memaparkan pesan-pesan al-Qur’an secara padat
dan koheren.
Akibat dari kaidah menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat, serta
kecenderungan terhadap penggunaan ayat-ayat al-Qur’an secara atomistic, para
mufassir dan umat Islam pada umumnya tidak dapat menangkap keterpaduan pesan
al-Qur’an yang dilandaskan pada suatu pandangan dunia yang pasti.[27]
M. Perlukah Menafsirkan
Al-Qur’an Secara Hermeneutika?
Masalah penafsiran umum merupakan problema dasar yang diteliti oleh
hermeneutika, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Maka dari itu,
hal yang ingin dicarikan solusinya merupakan persoalan yang sedemikian banyak
lagi kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan hubungannya dengan
al-turots (tradisional) pada satu sisinya.[28]
Titik pangkal yang merupakan persoalan serius bagi filsafat hermeneutik adalah
terletak pada konsentrasi atas hubungan mufassir dengan teks.
Umat Islam dalam upayanya memahami segi-segi kebenaran al-Qur’an
sudah sejak lama mengalami pergulatan intelektual yang sangat serius; walaupun
dapat dikatakan pergulatan tersebut muncul pada tataran persepsi atau pada
aspek metodologis pemahamannya serta pada hasil pemahamannya, Bukan pada
kesangsian akan kebenaran al-Qur’an itu sendiri.
Upaya memahami dan menafsirkan al-Qur’an pada dasarnya telah
berjalan sejak generasi pertama Islam, bahkan pada tahap tertentu dapat
dikatakan Nabi Muhammad sendiri telah melakukan upaya yang sama meskipun tidak
dapat dikatakan demikian. Meskipun setiap muslim yakin bahwa ia tidak mungkin
salah dalam memahami atau menafsirkannya, karena Allah selalu mengonytol
fikiran dan perkataannya. Pada perkembangan berikutnya, cara untuk memahami
serta menafsirkan al-Qur’an ini dibakukan dalam satu disiplin ilmu tertentu
yang kemudian sekarang kita kenal sebagai ilmu tafsir.
Sebagai langkah usaha untuk memahami dan menerangkan maksud
ayat-ayat suci al-Qur’an, almu tafsir al-Qur’an telah banyak memunculkan
karya-karya besar penafsiran. Seiring dengan tuntutan zaman, dinamika kegiatan
penafsiran tersebut pun berkembang. Latar belakang individu serta kelompok
manusia bahkan turut pula memperkaya hasil tafsir dan metode pendekatan
memahami al-Qur’an dengan segala kelebihan serta kekurangannya.
Teori dan konsep tentang bagaimana sebaiknya al-Qur’an ditafsirkan
dan difahami telah banyak bermunculan. Di anatara tema yang sering menjadi
bahan diskusi dan berkembang dalam dunia tafsir dan ilmu tafsir adalah
bagaimana memahami al-Qur’an secara kontekstual atau dengan bahasa lain,
bagaimana membumikan al-Qur’an.
Pemahaman terhadap al-Qur’an yang kontekstual merupakan kebutuhan
umat Islam yang merujuk kepada al-Qur’an dalam setiap aspek kehidupan. Sedang
di fihak lain, tafsir yang kontekstual itu tentunya akan menjadi bukti
bahwasannya al-Qur’an memang merupakan petunjuk yang final dan bisa
dioperasionalkan dalam berbagai ruang dan waktu.
Betapapun ideal kontekstualisasi al-Qur’an tidaklah begitu saja
mudah untuk dilaksanakan, akan tetapi usaha guna ke arah sana telah berlangsung
telah sejak lama. Banyaknya kemunculan kitab tafsir al-Qur’an dengan tokoh dan
ciri khasnya masing-masing dalam khazanah kepustakaan muslim, yang berusaha
untuk memahami al-Qur’an secara kontekstual dalam arti menjawab
persoalan-persoalan yang muncul pada zaman ketika tafsir tersebut disusun
secara operasional dan fungsional merupakan bukti akan hal itu.[29]
Sealur dengan kebutuhan dan tantangan akan suatu metode penafsiran
yang bercorak kontekstual sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dalam
dunia filsafat telah berkembang satu “metode penafsiran” yang dipandang cukup
representative dan komprehensif untuk mengelola teks serta secara intensif
dalam menggarap kontektualisasi. Maka dengan refleksi radikal dan analisa
sistimatisnya, tidak heran apabila kemudian “metode penafsiran” ini oleh
kalangan tertentu dianggap memiliki akurasi dan validitas yang tinggi ketika
mengelola teks, dan metode ini biasa dikenal sebagai hermeneutika.
Pada prinsipnya hermeneutika merupakan suatu metode atau cara guna
menafsirkan symbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks
untuk dicari arti dan maknanya, yang mana metode ini mensyaratkan adanya
kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke
masa sekarang.[30]
Ditinjau dari sisi epistemology, sumber dari hermeneutika adalah
akal semata, oleh karena itu hermeneutika memuat dzon (dugaan), syak
(keraguan), mira’ (asumsi). Adapun sumber epistemology tafsir adalah al-Qur’an,
disebabkan hal tersebut maka tafsir terikat dengan ajaran yang telah
disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah saw.[31]
Kontektualisasi penafsiran al-Qur’an merupakan sesuatu yang pada
dasarnya niscaya sebagai kebutuhan yang memang diperlukan oleh kaum muslim.
Namun dengan model pemaksaan makna terhdapnya maka justru akan menghasilkan
suatu produk yang kontra produktif dengan harapan dapat diterimanya al-Qur’an
sebagai Sholih Likulli zaman wa Makan.
Hal yang dilakukan oleh Abdullah Saeed pun akan bernasib demikian
jika tidak mengambil acuan pada penafsiran al-Qur’an sesuai dengan
kaidah-kaidah mapan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh para peletak fondasi
penafsiran.
Menganalisa dan selanjutnya menafsirkan al-Qur’an dengan
mengandalkan pada metode hermeneutika merupakan sebuah langkah yang lari dari
kenyataan apabila tetap memaksakan metodologi yang mengusung spirit prasangka
dan meragukan ini. Hermeneutika yang diterapkan kepada al-QUr’an yang merupakan
wahyu dan secara sejarah belum pernah ada pemalsuan yang berhasil terhadapnya.
Berpijak dari ide utama Abdullah Saeed terhadap penafsiran
al-Qur’an, pada dasarnya apa yang hendak ia capai adalah menjadikan al-Qu’ran
sebagai Sholih likulli zaman wa makan dengan membumikan atau
mengkontektualisasikan penafsirannya.
Adapun langkah hermeneutis yang ditempuh Abdullah Saeed jika hanya
berpijak pada pendasaran hermeneutik semata, maka hal ini tertolak dalam hal
menajdi bagian dalam metode penafsiran, karena penafsiran pada dasarnya
memiliki sisi epistemology yang membedai dengan hermeneutik.
Hermeneutik bertumpu pada desakralisasi semua teks, syak
(keraguan), mira’ (asumsi), dan dzon (dugaan).
Sedang tafsir itu sendiri sumber epitemologinya adalah wahyu al-Qur’an.
Oleh karena itu tafsir terikat dengan ajaran yang telah disampaikan dan
dijelaskan oleh Rasulullah saw.
I.
Contoh Penafsiran
Aplikasi
penafsiran Saeed dapat dilihat pada penafsirannya terhadap Q.S al-Nisa: 11-12
tentang waris.
Teks/ayat mawaris dalam hal ini sebagai origin, kemudian warisan
sebagai ajaran yang universal, selalu ada dalam setiap zaman, dan lidzzakari
mislu hadzzil untsayain sebagai nilai implementasional dalam hirarki nilai yang
disusun oleh Saeed. Nilai inilah yang dapat berubah, jadi komposisi pembagian
warisan dalam pembacaan Saeed tidak pasti 2:1. Kesimpulan ini juga berangkat
dari perhatian Saeed terhadap sosio-historis pewahyuan, dimana pada masa itu
perempuan hanya “makhluk rumahan” yang tidak memegang fungsi ekonomi, jadi
ketika sekarang banyak perempuan yang telah berperan dalam pendapatan ekonomi
keluarga maka sudah selayaknya pembagian warisan pun disesuaikan.[32]
J.
Kesimpulan
Interpretasi Alquran pada mulanya bersifat fluid meaning, tapi
kemudia ia mengalami pergeseran, makna teks dipahami secara rigid dan menafikan
signifikansi rasio-etis dan konteks sosio historis. Kondisi ini pada
perkembangannya melemahkan relevansi Alquran dengan kebutuhan masyarakat. Untuk
menjawab problem ini, Abdullah Saeed telah memformulasikan langkah-langkah
penafsiran yang lebih menyentuh pada kebutuhan masyarakat kontemporer. sebuah
pendekatan penafsiran yang kontekstualis, dengan memperhatikan konteks sosio
historis teks dan hirarki nilai etinya.
Daftar Pustaka
Saeed, Abdullah, Interpreting the Qur'an: towards a contemporary
approach, New York: Routledge, 2006.
Fazlurrahman, Tema Pokok al-Qur'an, terj. Anas Wahyuddin, Bandung:
Pustaka, 1996
Muchib Aman Ali, “Apakah Al-QUr’an Memerlukan Hermeneutika?” dalam
Solusi Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes NU 1926-2004 N,
(Surabaya; Diantama, 2006).
Muhammad Husein al-Zahaby, al-Tafsir Wal Mufassirun, juz II,
(Beirut: Darul Fikr, 1986).
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996).
Fazlur rahman, Islam and Modernity (Chichago and London: University
of Chichago Press, 1982).
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, (Jakarta: Teraju, 2002).
Interpreting the Qur'an
Towards A Contemporary Approach
Abdullah Saeed
Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Kajian
Literatur Al-Qur’an
Dosen Pembimbing : Dr. Nur Afriyah Febriani, M.A
Oleh :
Achmad
Hodori
NPM : 1204 2021 318
PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PTIQ JAKARTA
KONSENTRASI ILMU TAFSIR
2014
[1]
Fazlurrahman, Tema Pokok al-Qur'an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka,
1996), hlm. xi
[2]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: towards a contemporary approach, (New
York: Routledge, 2006), hlm. 1.
[3]
Ibid., hlm. 17.
[4]
Ibid., hlm. 3
[5]
Ibid., hlm. 3.
[6]
Ibid., hlm. 52.
[7]
Ibid., hlm. 53.
[8]
Ibid., hlm. 54.
[9]
Ibid., hlm. 55-56.
[10]
Ibid., hlm. 64-65.
[11]
Ibid., hlm. 67.
[12]
Ibid., hlm. 89.
[13]
Ibid., hlm. 76.
[14]
Ibid., hlm. 104-105.
[15]
Ibid., hlm. 106-107.
[16]
Ibid., hlm. 111.
[17]
Ibid., hlm. 108.
[18]
Ibid., hlm. 116.
[19]
Ibid., hlm. 124.
[20]
Ibid., hlm. 129.
[21] QS.
5: 41.
[22]
Ibid., hlm . 134
[23]
Ibid., hlm. 137.
[24]
Ibid., hlm. 139-141.
[25]
Ibid., hlm. 150-152.
[26] Ia
lahir di Barat Pakistan, 21 September 1919. Meraih M.A. dari Universitas
Punjab, Lahore, dalam Bahasa Arab. Sedang gelar Doktor diraihnya di Oxford
University, tentang Psikologi Ibn Sina. Ia merupakan dosen di Studi Persia dan
Filsafat Islam di Universitas Durham, Inggris pada tahun 1950-1958, asisten
Profesor di Institut Studi Islam, Universitas McGill, Montreal pada tahun
1958-1961, Profesor tamu di Central Institute of Islamic Research, Pakistan,
tahun 1961-1962 dan Direktur pada tahun 1962-1968, Profesor tamu di U.C.L.A.
1969, dan Profesor di Universitas Chicago, tahun 1969.
[27]
Fazlur rahman, Islam and Modernity (Chichago and London: University of Chichago
Press, 1982), hal. 2-3.
[28]
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, (Jakarta: Teraju, 2002), hal. 52.
[29]
Muhammad Husein al-Zahaby, al-Tafsir Wal Mufassirun, juz II, (Beirut: Darul
Fikr, 1986), hal. 457.
[30]
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), hal. 85.
[31]
Muchib Aman Ali, “Apakah Al-QUr’an Memerlukan Hermeneutika?” dalam Solusi Hukum
Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes NU 1926-2004 N, (Surabaya; Diantama,
2006), hal. 763-764.
[32]
Ghufron Hamzah. ‘Hermeunetika Abdullah Saeed’.....Hlm219
Tidak ada komentar:
Posting Komentar