Kamis, 28 Agustus 2014

Interpreting the Qur'an Towards A Contemporary Approach Abdullah Saeed

Abstract

(Context) Problem utama umat Islam adalah lemahnya penghayatan terhadap relevansi Alquran untuk masa sekarang maka harus ada upaya memahami Alquran berdasarkan muatan legal-etisnya.
(Questions) Abdullah Saeed mengalami kegelisahan yang berangkat dari pertanyaan sederhana “bagaimana memahami Alquran agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat muslim kontemporer”?
(Statement) Menurut Fazlurrahman corak penafsiran yang diwarisi dari tradisi keislaman zaman klasik telah gagal memaparkan pesan-pesan al-Qur’an secara padat dan koheren. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menyajikan Alquran yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masa kini. Di lain pihak masih besarnya kekuatiran jika penyajian Alquran yang relevan dengan masyarakat kontemporer malah akan menyimpang dari otoritas pendapat tradisional.
(Theories) Abdullah Saeed adalah seorang Kontekstualis dalam menafsirkan al-Qur’an yang konsep penafsirannya mengarah pada jenis interpretasi yang menekankan konteks sosio-historis dari kandungan legal-etis Alquran. Dalam argumentasi Kontekstualis, untuk memahami kandungan legal-etis Alquran perlu mempertimbangkan konteks politik, sosial, historis, budaya dan ekonomi ketika Alquran diwahyukan, ditafsirkan dan diaplikasikan.
(Methodes) Dengan bahasa yanglebih sederhana, langkah penafsiran Abdullah Said bisa disimpulkan melalui poin-poin berikut ini:
1.      Bertemu dengan dunia teks
2.      Melakukan analisis kritis.
3.      Menemukan makna teks bagi penerima pertamanya.
4.      Menentukan makna dan aplikasi teks bagi masa kini.
 (Analysis) Metode penafsiran al-Qur’an Abdullah Saeed adalah proses penafsiran al-Qur’an yang bermuara pada metode kontekstual, yang cara kerjanya sama dengan metode double movement-nya Fazlur Rahman. tidak heran apabila kemudian “metode penafsiran” ini oleh kalangan tertentu dianggap memiliki akurasi dan validitas yang tinggi ketika mengelola teks, dan metode ini biasa dikenal sebagai ”hermeneutika”. Pada prinsipnya hermeneutika merupakan suatu metode atau cara guna menafsirkan symbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, yang mana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.
(Conclution) Tafsir Hermeneutika bertumpu pada desakralisasi semua teks, syak (keraguan), mira’ (asumsi), dan dzon (dugaan).  Adapun langkah hermeneutis yang ditempuh Abdullah Saeed jika hanya berpijak pada pendasaran hermeneutik semata, maka hal ini “tertolak“dalam hal menjadi bagian dalam metode penafsiran, karena penafsiran pada dasarnya memiliki sisi epistemology yang membedakan penafsiran dengan hermeneutik.
Interpreting the Qur'an
Towards A Contemporary Approach

A.    Pendahuluan
Alquran dan umat Islam adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bagi umat Islam, ajaran etis Alquran bersifat mutlak dan bisa diaplikasikan di segala ruang dan waktu (shâlih li kull zamân wa makân). Tapi fenomena dewasa ini telah menunjukkan sebaliknya, relevansi Alquran mulai digugat dan dipertanyakan. Bahkan dalam beberapa kasus, ajaran etis Alquran dijadikan sebagai justifikasi terhadap tindakan yang bersifat destruktif. Polemik ini kemudian menggugah para intelektualis muslim untuk lebih intens pada pengkajian Alquran.
Menurut Fazlurrahman, problem utama umat Islam adalah lemahnya penghayatan terhadap relevansi Alquran untuk masa sekarang. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menyajikan Alquran yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masa kini. Di lain pihak masih besarnya kekuatiran jika penyajian Alquran yang relevan dengan masyarakat kontemporer malah akan menyimpang dari otoritas pendapat tradisional.[1]
Penyimpangan—dalam arti perbedaan—sebenarnya tidak dapat dihindarkan, tetapi mengikuti secara mutlak otoritas pendapat tradisonalis yang sangat tekstualis dalam memahami suatu teks juga tidak akan menjawab persoalan. Dalam hal ini, Abdullah Saeed menawarkan fresh perspective bagaimana memahami legal-etis Alquran sebagaimana berikut:
   I will refer to this approach as 'Contextualist'. The thrust of my argument, therefore, is towards a more flexible approach to interpretation of these texts by taking consideration both the socio-historical context of the Qur'an at the time of revelation in the first/seventh century and the contemporary concerns and needs of Muslims today. My main interest is how the meaning of the Qur'an can be related to the life of the Muslim, in a sense its application to day-to-day practicalities in different times, circumstances and places, particularly as it relates the concerns and needs of the modern period.[2]

B.     Biografi Abdullah Saed

Abdullah Saeed adalah seorang professor Studi Arab dan Islam di Universitas Melbourne Australia, sekaligus menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Islam Kontemporer di Universitas Melbourne. Abdullah Saeed lahir di Maldives, pada tanggal 25 September 1964, dan dari masa kecil hingga remaja dihabiskan di sebuah kota bernama Meedhoo yang merupakan bagian dari kota Addu Atoll.  Ia adalah seorang keturunan suku bangsa Arab Oman yang bermukim di pulau Maldives. Namun kemudian, ia hijrah meninggalkan tanah kelahirannya menuju Saudi Arabia untuk menuntut ilmu di sana.
Di Saudi Arabia, ia belajar bahasa Arab dan memasuki beberapa lembaga pendidikan formal, di antaranya yaitu: Institut Bahasa Arab Dasar dan Institut Bahasa Arab Menengah Madinah, serta Universitas Islam Saudi Arabia. Selanjutnya, Abdullah Saeed meninggalkan Saudi Arabia menuju Australia. Di negara Kanguru itu, ia memperoleh beberapa gelar akademis. Sampai sekarang ia menetap dan mengajar pada salah satu universitas terkemuka dan terkenal di sana. Saeed terlibat dalam berbagai kelompok dialog antar kepercayaan, antara Kristen dan Islam, dan antara Yaiudi dan Islam. Karena kemahirannya dalam beberapa bahasa seperti Inggris, Arab, Maldivia, Urdu, Indonesia dan Jerman, membuatnya sedng mengunjungi beberapa negara: Amerika Utara,  Eropa, Timur Tengai, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Bahkan dia memiliki banyak relasi pakar dan riset di seluruh dunia. Karena kemahiran dan sepak terj ang dan keseriusannya di dunia keilmuatl, nama Saeed menjadi popular dan diperhitungkan  di dunia intemasional.
C.     Riwayat Pendidikan Abdullah Saeed

1.      Tahun 1977-1979, studi bahasa Arab di Institut Bahasa Arab Universiras Islam di Madinah Saudi Arabia.
2.      Tahun 1979-1982, Ijazah Sekolah Menengah, di Institut Menengah di Madinah Arab  Saudi
3.      Tahun 1982-1986, BA (Bachelor  ofArts) dalam Studi Arab dan Islam, di Universiras Islam Madinah Saudi Arabia.
4.      Talun 1986-1987, Sarjana Strata Satu (Masrer ofArrs heliminary) dalam Jurusan studi Timur Tengah di Universitas Melboume Australia.
5.      Tahun 1992-1994, MA (Master  ofAts) dalam Jurusan Linguistik Terapan di Universitas Melboume Australia.
6.      Tahun1988-1992, Ph.D. (Doctor  ofPhilosophy) dalam Studi Islam di Univenitas Melboume Australia.

D.    Kegelisahan Intelektual Abdullah Saeed
Kegelisahan Abdullah Saeed berangkat dari pertanyaan sederhana, “bagaimana memahami Alquran agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat muslim kontemporer”. Konsekuensi dari pertanyaan ini memerlukan sebuah upaya memahami Alquran berdasarkan muatan legal-etisnya. Namun upaya ini tidak berjalan dengan mulus, karena akan berhadapan dengan otoritas tradisi penafsiran yang telah dianggap paling otoritatif, yakni suatu pendekatan terhadap universalitas dan legal-etis Alquran dengan hanya menggunakan kriteria legalis-linguitis.
Penggunaan pendekatan  yang murni legalis-linguistis terhadap Alquran sebenarnya tidak hanya menafikan konteks sosial historis Alquran, tetapi juga telah mengantarkan pada pemahaman yang reduktif terhadap legal-content Alquran sendiri. Asumsi ini terbangun dari fenomena yang berkembang selama ini bahwa ayat-ayat Alquran yang diapresiasi dan dianggap relevan adalah ayat-ayat yang mendasari yurisprudensi hukum (Fiqh), sedangkan sisi nonlegal Alquran menjadi terabaikan, sehingga dalam perkembangannya, tafsir tidak lebih dari sekedar storytelling, mistis-spekulatif, dan kering dari analisis filologi.[3]
Berdasarkan problem tersebut, Abdullah Saeed menegaskan perlunya bangunan new approach dalam memahami Alquran. Sebuah pendekatan yang kontekstualis dan demokratis, dengan melihat fleksibilitas interuksi legal-etis Alquran, memahami konsep “pewahyuan” secara lebih luas, dan memperhatikan koteks sosio-historis Alquran dalam menentukan meaning pada the first recipients, sehingga dapat diperoleh pesan legal-etis Alquran yang relevan  dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan demikian, the meaning Alquran akan memiliki relasi praktis dengan aktivitas umat Islam sehari-hari. Dan inilah yang menjadi concern dan tujuan utama Abdullah Saeed.
                                         
E.     Klasifikasi Model Penafsiran
Model penafsiran dalam identifikasi Abdullah Saeed terbagi dalam tiga bentuk pendekatan: Tektualis, semitektualis dan kontektualis. Klasifikasi ini didasarkan pada signifikansi penggunaan linguistis dalam menentukan makna suatu teks, dan pertimbangan konteks sosio-historis Alquran dalam penentuan maknannya. Model tekstualis mematuhi teks dengan sangat ketat dan pendekatan yang digunakan adalah linguistis. Golongan Tekstualis menekankan adagium Alquran yang membimbing umat muslim dari pada kebutuhan realitas masyarakat. Mereka beranggapan bahwa meaning Alquran sudah final dan universal-aplikatif.[4]
Abdullah saeed menyatakan bahwa kelompok tekstualis meyakini bahwa makna al Qur’an itu sudah fixed dan harus diaplikasikan secara universal. Kelompok salafi termasuk penganut tipologi ini. Yang dimasukkan sebagai bagian dari penganut tipologi ini adalah mereka yang dimasukkan dalam kategori salafi.
Semitekstualis secara esensial memiliki kesamaan dengan Tekstualis, yakni menekankan pada pengunaan linguistic approach dan mengabaikan konteks sosio-historisnya, akan tetapi mereka mengemas kandungan legal-etis Alquran dengan nuansa modernis dan seringkali disertai dengan diskursus apologetis.
Sementara yang dimaksud dengan model Kontekstualis mengarah pada jenis interpretasi yang menekankan konteks sosio-historis dari kandungan legal-etis Alquran. Dalam argumentasi Kontekstualis, untuk memahami kandungan legal-etis Alquran perlu mempertimbangkan konteks politik, sosial, historis, budaya dan ekonomi ketika Alquran diwahyukan, ditafsirkan dan diaplikasikan.[5]
    Pemikiran semi-tektualis dianggap berusaha membela makna literal al Qur’an dengan cara menggunakan idiom-idiom modern serta memakai argumentasi yang rasional. Dikategorikan dalam kelompok ini adalah al-ikhwan al-Muslimin di Negara Mesir dan juga jama’at Islami di Negara India.
Klasifikasi model penafsiran tersebut jika dikaji akar historisnya akan mengarah pada dua model penafisran, yakni: at-tafsîr bi al-ma'tsûr, penafsiran yang berdasarkan pada tradisi atau teks (tekstualalis) dan at-tafsîr bi ar-ra'y (rasionalis). Dinamika penafsiran pada mulanya bersifat fluid, terutama pada permualaan abad II H. atau VIII M. Fluiditas ini dilatarbelakangi oleh empat faktor: (1) perbedaan regional, percampuran budaya, dan intensitas interaksi antara komunitas Muslim, Kristen, Yahudi, dan Zoroaster; (2) adanya individual approach dari kalangan sahabat Nabi atau generasi tabiin dalam menafsirkan dan mengaplikasikan key texts Alquran dan Hadis; (3) keragaman teks, terutama hadis; (4) perbedaan dalam memahami teks.[6]
Dalam perjalananya, pendekatan linguistik berkembang pesat di Madinah terbukti dengan adanya sebuah institusi yang dikembangkan oleh Imam Malik yang sangan membatasi penggunaan akal. Bahkan sampai pada asumsi bahwa kebebasan penggunaan rasio dalam memahami suatu teks akan mengantarkan pada krisis religius, dekandensi moral dan sikap pragmatis. Sementara kalangan Rasionalis lebih mendapat tempat di Iraq dengan masyarakatnya yang lebih heterogen. Salah satu tokohnya adalah Ibn Mas‘ud. Bagi kalangan rasionalis, akal memiliki fungsi primer dalam menentukan makna suatu teks. [7]
Pada penghujung abad kedua, Tafsir telah mengkristal pada orientasi yurisprudensi hukum (Fiqh). Dan upaya yang marak dilakukan adalah membangun hubungan yang harmonis antara tekstualis dan rasionalis sebagai dasar hukum untuk mewujudkan kesatuan umat. Figur yang berhasil menemukan sintesis dari keduanya adalah Imam Shafi‘i (w. 204/820), kendati bentuk kompromis yang dicapai sebenarnya menyempitkan penggunaan rasio.[8]
Tidak lama dari pencapain sintesis Imam Syafi'i, konflik antara Tekstualis dan Rasionalis kembali bergejolak tetapi dalam konteks yang berbeda, yakni teologi. Konflik ini berawal dari perselisihan tentang status Alquran, hudûts ataukah qadîm. Teologi Muktazilah yang rasionalis dan mendapatkan dukungan dari khalifah Al-Ma'mun mengusung tema bahwa Alquran adalah hudûts. Ironisnya, Al-Ma'mun menjatuhkan hukuman bagi golongan yang menentangnya, tragedi ini kemudian dikenal dengan tragedi mihnah. Salah satu tokoh yang menentang wacana tersebut adalah murid Syafi'i, yakni Ahmad ibn Hambal (w. 241/655), seorang tekstualis. Tragedi mihnah berakhir pada kepimimpinan khalifah Al-Mutawakkil yang menyerang balik pada teolog Mu'tazilah. Sejak periode ini kaum elit dan intelektual bersikap anti-rasio sehingga signifikansi akal dalam memahami kitab suci terabaikan.[9]
    Kelompok Kontektualis  memposisikan diri berada dalam golongan yang mendorong pada pemahaman al-Qur’an dengan tidak mengesampingkan konteks politik, sosial, kesejarahan, budaya serta termasuk di dalamnya adalah ekonomi, di mana al Qur’an diturunkan, dipahami serta sesudahnya diaplikasikan. Tipologi seperti ini merupakan tipologi yang juga diikuti oleh Fazlurrahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan tentunya oleh Abdullah Saeed sendiri.
Dalam perspektif Abdullah Saeed, penafsiran berbasis rasio sebenarnya memiliki landasan yang cukup kuat, yakni: linguistic consideration, legal consideration, dan personal reflection.[10] Landasan linguistic consideration dengan melihat kenyataan bahwa tidak semua orang Arab bisa memahami Alquran dengan mudah karena adanya keragaman dialek. Hal ini mengindikasikan pada kompleksitas makna bahwa makna suatu teks sering kali tidak dapat diterima secara universal.
Landasan legal consideration menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran yang secara spesifik berkaitan dengan persoalan hukum bukanlah mayoritas dari kandugan Alquran secara keseluruhan. Demonstrasi ini menunjukkan bahwa Alquran secara esensial tidak dimaksudkan sebagai legal text. Oleh karena itu, umat Islam perlu melakukan interpretasi dan ekstensi dari guidance Alquran guna menemukan relevansi Alquran dengan kebutuhan masyarakat terkait persoalan hukum, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar. Landasan personal reflection, dengan mempertimbangkan bahwa terdapat sejumlah ayat Alquran yang menekankan arti penting penggunaan rasio dalam konteks refleksi dan kontemplasi.
F.      Kerangka Berpikir Abdullah Saeed
Kerangka teori Abdullah Saeed dapat diklasifikasikan dalam konsep berikut:
1.      Menjadikan fenomena cara membaca Alquran yang fleksibel (seven ahruf)[11] dan proses naskh sebagai sign bahwa Alquran mengandung flesksibilitas yang tinggi dalam menghadapi kebutuhan masyarakat yang situasional.[12] Fleksibilitas ini juga seharusnya berlaku dalam proses interpretasi Alquran.[13]
2.      Melegitimasi Kompleksitas makna. Abdullah Saeed mengidentifikasi adanya keragaman bentuk kata dalam bahasa Arab yang tidak bisa diperlakukan secara sama dalam mengggali maknanya, ia kemudian menguraikan level kata dalam bentuk direct meaning dan indirect meaning.[14]  Selain itu, adanya perubahan meaning yang situasional juga perlu diperhatikan. Oleh karena itu, ethico-legal text perlu dilihat sebagai disourse, bukan hanya sebagai language.[15]
Konsep kompleksitas makna memiliki korelasi positif dengan legitimasi pemahaman yang beragam terhadap makna suatu teks. Sebenarnya Polyinterpretasi di kalangan kontekstualis adalah keniscayaan. Tetapi ketika polyinterpretasi berada dalam konteks legal-etis, muncul tendensi dari kalangan tekstualis bahwa hanya ada satu bentuk interpretasi yang dapat dibenarkan.[16]  Bahwa ada limitasi teks yang digunakan Tekstualis secara ketat harus disikapi secara arif. Adanya limitasi makna dipengaruhi oleh banyak faktor: Konteks turunnya wahyu, kondisi sosial saat teks ditafsirkan, peranan pembaca, dan natural teks sendiri.[17]
3.      Mempertimbangkan konteks sosio-historis. Memahami konteks sosio-historis penafsiran Alquran sangat fundamental dalam penafsiran guna menguak makna legal-etis teks dan menentukan relevansinya terhadap kehidupan kontemporer. Hal ini dilakukan dengan mengeksplorasi makna dalam dua dimensi, yakni historis dan kontemporer. makna histrois merujuk pada makna teks pada masa Nabi dan bagaimana para generasi awal memahami makna tersebut. sedangkan makna kontemporer mengarah pada makna Alquran bagi kehidupan umat Islam saat ini.[18]  Pemahaman makna teks yang dimensional akan mengantarkan interpreter pada fenomena nilai (values) makna teks yang terus berubah, bergantung pada kondisi sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan intelektual. Kenyataan ini, menurut Abdullah Saeed, juga menuntut adanya perubahan approach dalam memahami suatu teks.[19]
4.      Merumuskan hirarki nilai ethico-legal teks. Abdullah Saeed mengembangkan konsep hirarki nilai-nilai (values) teks, dengan memfokuskan pada nilai legal-etisnya. Hirarki nilai ini diharapkan dapat mempermudah para penafsir kontekstualis dalam menafsirkan ethico-legal texts. Dalam menentukan hirarki nilai, Abdullah Saeed mendasarkan pada nilai etis "right action" yang merupakan dasar agama sebagaimana yang telah ditekankan Alquran.[20] Abdullah Saeed mengelompokkan hirarki nilai Alquran sebagai berikut:

a.       Obligatory Values
Ialah nilai keagamaan yang tidak terikat pada waktu tertentu. Semua Umat Islam menganggapnya sebagai bagian esensial dari Islam. nilai ini dikelompokkan dalam tiga sub kategori, yaitu: (1) nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem kepercayaan (belief); (2) nilai-nilai yang berhubungan dengan praktik religius, salat misalnya; (3) nilai-nilai yang berkaitan dengan status halal-haram, yang dinyatakan secara spesifik dalam Alquran.
b.      Fundamental Values
Ialah nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Misalnya, hak untuk perlindungan hidup dan properti. Nilai etis yang berada dalam level ini bersifat dinamis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
c.       Protectional values
Adalah nilai-nilai etis yang mendukung tercapainya fundamental values. misalnya larangan mencuri adalah bentuk proteksi terhadap properti individu yang merupakan bagian dari fundamental values.
d.      Implementational values
Adalah aturan spesifik yang digunakan dalam implementasi Protectional values. Larangan mencuri dalam implementasinya berbentuk potong tangan misalnya.[21] Nilai dalam level ini berdasarkan konteks kultural dan bisa berubah. Menurut Abdullah Saeed, aturan tersebut bukanlah objek fundamental Alquran, melainkan pada tujuannya sebagai pencegahan terhadap perilaku yang tidak diharapkan.[22]
e.       Instructional values
Nilai-nilai etis yang terdapat dalam Alquran yang dihubungkan dengan  problem tertentu pada masa pewahyuan. Ayat Alquran yang berada dalam level ini sangat banyak dan variatif. Misalnya, instruksi poligami, instruksi menjadikan pria sebagai penjaga perempuan, instruksi untuk tidak menjadikan non muslim sebagai teman. Relevansi nilai etis yang berada dalam level ini seringkali dipertanyakan dalam kehidupan kontemporer.[23] oleh karena itu, Abdullah Saeed mengenalkan tiga kriteria untuk menentukan makna legal-etis teks yang berada dalam level ini, yaitu: frekuensi penyebutannya dalam Alquran, salience (urgensitas atau penekanan nilainya pada periobe Nabi), dan relevansinya dengan memperhatikan konteks kultural pada masa pewahyuan dan mengidentifikasi apakah nilai tersebut merupakan nilai objektif atau hanya sekedar pendukung terhadap tercapainya nilai yang lebih fundamental.[24]




Pemaparan kerangka teori Abdullah saeed dapat disederhanakan dalam bagan berikut:






Model Penafsiran Abdullah Saeed
Abdullah Saeed merumuskan langkah-langkah penafsiran sebagai berikut:[25]
1)      Stage I             : Encounter with the World of the text.
2)      Stage II                       : Critical Analysis: Linguistic, literary context, parallel texts, and precedents
3)      Stage III                      : Meaning For the first recipients, Socio-historical context, worldview,   Nature of the message: legal, theological, ethical, message: contextual versus universal relationship of the message to the overall message of the Qur'an
4)      Stage IV          : Meaning for present,   Analysis of present context,   present context versus socio-historical context,   meaning from first recipient to the present,   message: Contextual versus universal   application today

    Langkah pertama, interpreter familiar dengan dunia text secara keseluruhan.
Langkah kedua, interpreter memperhatikan bagaimana suatu teks mendeskripsikan dirinya sendiri, dengan mengeksplorasikan beberapa aspek: linguistik, konteks literer, bentuk literer, paralel teks, dan preseden.
 Langkah ketiga, interpreter menghubungkan text Alquran dengan generasi awal, bagaimana text diwahyukan, dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan.
 Langkah keempat, interpreter menghubungkan teks dengan konteks kekinian: dengan mengidentifikasi kebutuhan kontemporer; mengeksplorasi konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya yang relevam erhadap teks; membandingkan konteks kekinian dan konteks sosio-hitoris teks untuk memahami persamaan dan perbedaan konteks keduanya; menghubungkan makna teks yang dipahami oleh generasi awal dengan konteks sekarang, dengan mempertimbangkan persamaan dan perbedaan konteks keduanya; mengevaluasi universalitas atau kekhususan pesan teks dengan mempertimbangkan konteks kekinian dan mengidentifikasi ada hubungan-tidaknya suatu teks dengan objek yang lebih luas.  Berikut peta Penafsiran Abdullah Saeed:
            Dengan bahasa yang lebih simpel langkah penafsiran Abdullah Said bisa disimpulkan menjadi:
5.      Bertemu dengan dunia teks
6.      Melakukan analisis kritis.
7.      Menemukan makna teks bagi penerima pertamanya.
8.      Menentukan makna dan aplikasi teks bagi masa kini.
Hermeneutika kontekstual memberikan sumbangsih yang berarti bagi hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman terutama melalui perumusan hirarki nilai. Bagi hermeneutika al- Qur’an secara umum, dengan aksentuasi dan orientasinya yang berbeda, hermeneutika kontekstual telah memberikan sumbangan baru bagi metodologi penafsiran al-Qur’an khususnya kontemporer.

G.    Keterpengaruhan Abdullah Saeed Oleh Pemikiran Fazlurrahman.[26]
Metode penafsiran al-Qur’an Fazlur Rahman adalah proses penafsiran al-Qur’an yang bermuara pada suatu gerakan ganda (double movement); dari situasi kontemporer menuju era al-Qur’an diturunkan, lalu kembali lagi ke masa sekarang dan metode penafsiran al-Qur’an Abdullah Saeed adalah proses penafsiran al-Qur’an yang bermuara pada metode kontekstual, yang cara kerjanya sama dengan metode double movement-nya Fazlur Rahman
Ada beberapa indikasi dan bentuk keterpengaruhan Saeed atas ide-ide Rahman:
1.      Saeed pernah menulis sebuah artikel yang membahas tentang kerangka penafsiran al-Qur’an yang ditawarkan oleh Rahman;
2.       Adanya kemiripan pandangan tentang dunia al-Qur’an:
3.      Adanya kemiripan dalam model interpretasi al-Qur’an, yakni teori gerakan ganda (double movement)-nya Rahman dan kontekstual (contextual)-nya Saeed;
4.      Adanya pernyataan-pernyataan yang diberikan Saeed dalam karya-karyanya bahwa inovasi metodologi penafsiran yang dikenalkan oleh Rahman telah memberikan kontribusi penting dan sangat berkaitan dengan pembahasan yang dia tawarkan dalam metode penafsirannya terhadap konten ethico-legal al-Qur’an.

H.    Model tawaran penafsiran Fazlurrahman dan Abdullah saeed
Dalam memberikan penafsiran, fazlurrahman sudah luas dikenal dengan teori gerakan ganda (double movement), dimana tercakup dalam penjabaran teori ini, rahman berkeyakinan bahwa sebuah pemahaman dan ilmu pengetahuan tidaklah memiliki sebuah ketetapan atau hasil akhir yang sudah final.
Menurut Fazlurrahman corak penafsiran yang diwarisi dari tradisi keislaman zaman klasik telah gagal memaparkan pesan-pesan al-Qur’an secara padat dan koheren.
Akibat dari kaidah menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat, serta kecenderungan terhadap penggunaan ayat-ayat al-Qur’an secara atomistic, para mufassir dan umat Islam pada umumnya tidak dapat menangkap keterpaduan pesan al-Qur’an yang dilandaskan pada suatu pandangan dunia yang pasti.[27]

M.   Perlukah Menafsirkan Al-Qur’an Secara Hermeneutika?
Masalah penafsiran umum merupakan problema dasar yang diteliti oleh hermeneutika, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Maka dari itu, hal yang ingin dicarikan solusinya merupakan persoalan yang sedemikian banyak lagi kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan hubungannya dengan al-turots (tradisional) pada satu sisinya.[28] Titik pangkal yang merupakan persoalan serius bagi filsafat hermeneutik adalah terletak pada konsentrasi atas hubungan mufassir dengan teks.
Umat Islam dalam upayanya memahami segi-segi kebenaran al-Qur’an sudah sejak lama mengalami pergulatan intelektual yang sangat serius; walaupun dapat dikatakan pergulatan tersebut muncul pada tataran persepsi atau pada aspek metodologis pemahamannya serta pada hasil pemahamannya, Bukan pada kesangsian akan kebenaran al-Qur’an itu sendiri.
Upaya memahami dan menafsirkan al-Qur’an pada dasarnya telah berjalan sejak generasi pertama Islam, bahkan pada tahap tertentu dapat dikatakan Nabi Muhammad sendiri telah melakukan upaya yang sama meskipun tidak dapat dikatakan demikian. Meskipun setiap muslim yakin bahwa ia tidak mungkin salah dalam memahami atau menafsirkannya, karena Allah selalu mengonytol fikiran dan perkataannya. Pada perkembangan berikutnya, cara untuk memahami serta menafsirkan al-Qur’an ini dibakukan dalam satu disiplin ilmu tertentu yang kemudian sekarang kita kenal sebagai ilmu tafsir.
Sebagai langkah usaha untuk memahami dan menerangkan maksud ayat-ayat suci al-Qur’an, almu tafsir al-Qur’an telah banyak memunculkan karya-karya besar penafsiran. Seiring dengan tuntutan zaman, dinamika kegiatan penafsiran tersebut pun berkembang. Latar belakang individu serta kelompok manusia bahkan turut pula memperkaya hasil tafsir dan metode pendekatan memahami al-Qur’an dengan segala kelebihan serta kekurangannya.
Teori dan konsep tentang bagaimana sebaiknya al-Qur’an ditafsirkan dan difahami telah banyak bermunculan. Di anatara tema yang sering menjadi bahan diskusi dan berkembang dalam dunia tafsir dan ilmu tafsir adalah bagaimana memahami al-Qur’an secara kontekstual atau dengan bahasa lain, bagaimana membumikan al-Qur’an.
Pemahaman terhadap al-Qur’an yang kontekstual merupakan kebutuhan umat Islam yang merujuk kepada al-Qur’an dalam setiap aspek kehidupan. Sedang di fihak lain, tafsir yang kontekstual itu tentunya akan menjadi bukti bahwasannya al-Qur’an memang merupakan petunjuk yang final dan bisa dioperasionalkan dalam berbagai ruang dan waktu.
Betapapun ideal kontekstualisasi al-Qur’an tidaklah begitu saja mudah untuk dilaksanakan, akan tetapi usaha guna ke arah sana telah berlangsung telah sejak lama. Banyaknya kemunculan kitab tafsir al-Qur’an dengan tokoh dan ciri khasnya masing-masing dalam khazanah kepustakaan muslim, yang berusaha untuk memahami al-Qur’an secara kontekstual dalam arti menjawab persoalan-persoalan yang muncul pada zaman ketika tafsir tersebut disusun secara operasional dan fungsional merupakan bukti akan hal itu.[29]
Sealur dengan kebutuhan dan tantangan akan suatu metode penafsiran yang bercorak kontekstual sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dalam dunia filsafat telah berkembang satu “metode penafsiran” yang dipandang cukup representative dan komprehensif untuk mengelola teks serta secara intensif dalam menggarap kontektualisasi. Maka dengan refleksi radikal dan analisa sistimatisnya, tidak heran apabila kemudian “metode penafsiran” ini oleh kalangan tertentu dianggap memiliki akurasi dan validitas yang tinggi ketika mengelola teks, dan metode ini biasa dikenal sebagai hermeneutika.
Pada prinsipnya hermeneutika merupakan suatu metode atau cara guna menafsirkan symbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, yang mana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang.[30]
Ditinjau dari sisi epistemology, sumber dari hermeneutika adalah akal semata, oleh karena itu hermeneutika memuat dzon (dugaan), syak (keraguan), mira’ (asumsi). Adapun sumber epistemology tafsir adalah al-Qur’an, disebabkan hal tersebut maka tafsir terikat dengan ajaran yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah saw.[31]
Kontektualisasi penafsiran al-Qur’an merupakan sesuatu yang pada dasarnya niscaya sebagai kebutuhan yang memang diperlukan oleh kaum muslim. Namun dengan model pemaksaan makna terhdapnya maka justru akan menghasilkan suatu produk yang kontra produktif dengan harapan dapat diterimanya al-Qur’an sebagai Sholih Likulli zaman wa Makan.
Hal yang dilakukan oleh Abdullah Saeed pun akan bernasib demikian jika tidak mengambil acuan pada penafsiran al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah mapan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh para peletak fondasi penafsiran.
Menganalisa dan selanjutnya menafsirkan al-Qur’an dengan mengandalkan pada metode hermeneutika merupakan sebuah langkah yang lari dari kenyataan apabila tetap memaksakan metodologi yang mengusung spirit prasangka dan meragukan ini. Hermeneutika yang diterapkan kepada al-QUr’an yang merupakan wahyu dan secara sejarah belum pernah ada pemalsuan yang berhasil terhadapnya.
Berpijak dari ide utama Abdullah Saeed terhadap penafsiran al-Qur’an, pada dasarnya apa yang hendak ia capai adalah menjadikan al-Qu’ran sebagai Sholih likulli zaman wa makan dengan membumikan atau mengkontektualisasikan penafsirannya.
Adapun langkah hermeneutis yang ditempuh Abdullah Saeed jika hanya berpijak pada pendasaran hermeneutik semata, maka hal ini tertolak dalam hal menajdi bagian dalam metode penafsiran, karena penafsiran pada dasarnya memiliki sisi epistemology yang membedai dengan hermeneutik.
Hermeneutik bertumpu pada desakralisasi semua teks, syak (keraguan), mira’ (asumsi), dan dzon (dugaan).  Sedang tafsir itu sendiri sumber epitemologinya adalah wahyu al-Qur’an. Oleh karena itu tafsir terikat dengan ajaran yang telah disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah saw.
I.       Contoh Penafsiran
            Aplikasi penafsiran Saeed dapat dilihat pada penafsirannya terhadap Q.S al-Nisa: 11-12 tentang waris.
Teks/ayat mawaris dalam hal ini sebagai origin, kemudian warisan sebagai ajaran yang universal, selalu ada dalam setiap zaman, dan lidzzakari mislu hadzzil untsayain sebagai nilai implementasional dalam hirarki nilai yang disusun oleh Saeed. Nilai inilah yang dapat berubah, jadi komposisi pembagian warisan dalam pembacaan Saeed tidak pasti 2:1. Kesimpulan ini juga berangkat dari perhatian Saeed terhadap sosio-historis pewahyuan, dimana pada masa itu perempuan hanya “makhluk rumahan” yang tidak memegang fungsi ekonomi, jadi ketika sekarang banyak perempuan yang telah berperan dalam pendapatan ekonomi keluarga maka sudah selayaknya pembagian warisan pun disesuaikan.[32]

J.       Kesimpulan
Interpretasi Alquran pada mulanya bersifat fluid meaning, tapi kemudia ia mengalami pergeseran, makna teks dipahami secara rigid dan menafikan signifikansi rasio-etis dan konteks sosio historis. Kondisi ini pada perkembangannya melemahkan relevansi Alquran dengan kebutuhan masyarakat. Untuk menjawab problem ini, Abdullah Saeed telah memformulasikan langkah-langkah penafsiran yang lebih menyentuh pada kebutuhan masyarakat kontemporer. sebuah pendekatan penafsiran yang kontekstualis, dengan memperhatikan konteks sosio historis teks dan hirarki nilai etinya.

Daftar Pustaka
Saeed, Abdullah, Interpreting the Qur'an: towards a contemporary approach, New York: Routledge, 2006.
Fazlurrahman, Tema Pokok al-Qur'an, terj. Anas Wahyuddin, Bandung: Pustaka, 1996
Muchib Aman Ali, “Apakah Al-QUr’an Memerlukan Hermeneutika?” dalam Solusi Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes NU 1926-2004 N, (Surabaya; Diantama, 2006).
Muhammad Husein al-Zahaby, al-Tafsir Wal Mufassirun, juz II, (Beirut: Darul Fikr, 1986).
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996).
Fazlur rahman, Islam and Modernity (Chichago and London: University of Chichago Press, 1982).
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, (Jakarta: Teraju, 2002).


Interpreting the Qur'an
Towards A Contemporary Approach
Abdullah Saeed
Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Literatur Al-Qur’an
Dosen Pembimbing : Dr. Nur Afriyah Febriani, M.A












Oleh :

                                                              Achmad Hodori
NPM : 1204 2021 318
PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PTIQ JAKARTA
KONSENTRASI ILMU TAFSIR
2014




[1] Fazlurrahman, Tema Pokok al-Qur'an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1996),  hlm. xi
[2] Abdullah Saeed, Interpreting the Qur'an: towards a contemporary approach, (New York: Routledge, 2006), hlm. 1.
[3] Ibid., hlm. 17.
[4] Ibid., hlm. 3
[5] Ibid., hlm. 3.
[6] Ibid., hlm. 52.
[7] Ibid., hlm. 53.
[8] Ibid., hlm. 54.
[9] Ibid., hlm. 55-56.
[10] Ibid., hlm. 64-65.
[11] Ibid., hlm. 67.
[12] Ibid., hlm. 89.
[13] Ibid., hlm. 76.
[14] Ibid., hlm. 104-105.
[15] Ibid., hlm. 106-107.
[16] Ibid., hlm. 111.
[17] Ibid., hlm. 108.
[18] Ibid., hlm. 116.
[19] Ibid., hlm. 124.
[20] Ibid., hlm. 129.
[21] QS. 5: 41.
[22] Ibid., hlm . 134
[23] Ibid., hlm. 137.
[24] Ibid., hlm. 139-141.
[25] Ibid., hlm. 150-152.
[26] Ia lahir di Barat Pakistan, 21 September 1919. Meraih M.A. dari Universitas Punjab, Lahore, dalam Bahasa Arab. Sedang gelar Doktor diraihnya di Oxford University, tentang Psikologi Ibn Sina. Ia merupakan dosen di Studi Persia dan Filsafat Islam di Universitas Durham, Inggris pada tahun 1950-1958, asisten Profesor di Institut Studi Islam, Universitas McGill, Montreal pada tahun 1958-1961, Profesor tamu di Central Institute of Islamic Research, Pakistan, tahun 1961-1962 dan Direktur pada tahun 1962-1968, Profesor tamu di U.C.L.A. 1969, dan Profesor di Universitas Chicago, tahun 1969.
[27] Fazlur rahman, Islam and Modernity (Chichago and London: University of Chichago Press, 1982), hal. 2-3.
[28] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, (Jakarta: Teraju, 2002), hal. 52.
[29] Muhammad Husein al-Zahaby, al-Tafsir Wal Mufassirun, juz II, (Beirut: Darul Fikr, 1986), hal. 457.
[30] Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 85.
[31] Muchib Aman Ali, “Apakah Al-QUr’an Memerlukan Hermeneutika?” dalam Solusi Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes NU 1926-2004 N, (Surabaya; Diantama, 2006), hal. 763-764.
[32] Ghufron Hamzah. ‘Hermeunetika Abdullah Saeed’.....Hlm219

Tidak ada komentar: