Konsep Al-Qur’an Tentang Dakwah
Abstrak
(Context) Dakwah
merupakan tulang punggung tersebarnya agama, tanpa dakwah agama akan stagnan tidak akan dikenal
dan tidak menjadi petunjuk bagi umat manusia. Tidak semua orang mengetahui tahapan dakwah yang benar menurut al-Qur‘an, tahapan dakwah yang harus kita teladani adalah tahapan dakwah Rasul
Shallallahu ‘Alaihi waSallam. Maka kita harus mengkaji apa saja yang dilakukan
Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa sallam
selama dakwah yang beliau lakukan di Makkah.
(Questions) Telah Muncul dua teori mengenai tahapan
dakwah Rasulullah, Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam mendahulukan
dakwah tauhid atau dakwah khilafah. Lantas mana yang harus didahulukan dari
keduanya ?
(Statement) Syaikh Khalid bin Abdurrahman Al-Syayi’ hafizhahullah
berkata, “Perkara yang pertama kali diperintahkan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah untuk memberikan peringatan dari syirik. Padahal, kaum musyrikin kala itu juga berlumuran dengan perbuatan
zina, meminum khamr, kezaliman dan berbagai bentuk pelanggaran. Meskipun
demikian, beliau memulai dakwahnya dengan ajakan kepada tauhid dan peringatan
dari syirik. Beliau terus melakukan hal itu selama 13 tahun. Sampai-sampai
sholat yang sedemikian agung pun tidak diwajibkan kecuali setelah 10 tahun
beliau diutus. Hal ini menjelaskan tentang urgensi tauhid dan kewajiban
memberikan perhatian besar terhadapnya. Ia merupakan perkara terpenting dan
paling utama yang diperhatikan oleh seluruh para Nabi dan Rasul…”
(Theories) Syaikh Dr. Shalih
bin Fauzan al-Fauzan Hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan
syari’at, penegakan hudud, tegaknya daulah islamiyah, menjauhi hal-hal yang
diharamkan serta melakukan kewajiban-kewajiban [syari'at] ini semua adalah
hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Sedangkan ia merupakan cabang dari
tauhid. Bagaimana mungkin lebih memperhatikan cabangnya sementara pokoknya
justru diabaikan?
(Methodes) Skema Metode Dakwah Rasulullah
A.
Periode Mekkah
a)
Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan
I.
Pemantapan Aqidah
II.
Pembentukan Syakhsiyah Islamiyah
III.
Pembentukan kelompok Dakwah
b)
Tahapan Interaksi dan Perjuangan
I.
Pertarungan Pemikiran (shira’ul fikr)
II.
Perjuangan Politik (Kifahus siyasi)
B.
Periode Madinah
a)
Tahapan Penerapan Syarat Islam (tathbiq ahkam al Islam)
I.
Membangun Masjid
II.
Membina Ukhuwah Islamiyah
III.
Mengatur urusan masyarakat dengan syariat Islam
IV.
Membuat Perjanjian Dengan Warga Non Muslim
V.
Menyusun Strategi Politik Dan Militer
VI.
Jihad
(Analysis) Semata-mata tegaknya sebuah pemerintahan Islam tidak bisa
memperbaiki akidah umat manusia. Realita adalah sebaik-baik bukti atasnya. Di
sana ada sebagian negara pada masa kini yang membanggakan diri tegak sebagai
negara Islam. Akan tetapi ternyata akidah para penduduk negeri tersebut adalah
akidah pemujaan berhala yang sarat dengan khurafat dan dongeng belaka. Hal itu
disebabkan mereka telah menyelisihi petunjuk para nabi dan rasul dalam
berdakwah menuju Allah
(Conclution) Kegiatan
dakwah harus berdasar kepada konsep al-qur’an, sejarah dan pemahaman 3 generasi
terbaik. Imam malik berkata : “tidak akan kondusif keadaan zaman suatu kaum
jika tidak benar-benar merujuk kepada konsep hidup pendahulunya”.
A.
Pengertian Dakwah
Pengertian dakwah bagi kalangan awam disalahartikan dengan
pengertian yang sempit terbatas pada ceramah, khutbah atau pengajian saja.
Pengertian dakwah bisa kita lihat dari segi bahasa dan istilah. Berikut akan
kita bahas pengertian dakwah secara etimologis dan pengertian dakwah secara
terminologis.
a.
Etimologis
Kata dakwah adalah derivasi
dari bahasa Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil,
mengundang atau mengajak. Ism fa’ilnya (red. pelaku) adalah da’I yang berarti
pendakwah. Makna da’i adalah orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya
atau mazhabnya[1].
Kata da’a mempunyai beberapa makna antara lain memanggil, mengundang, minta
tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan,
mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi[2].
Dalam Al-Quran kata dakwah ditemukan tidak kurang dari 198 kali dengan makna
yang berbeda-beda setidaknya ada 7 macam yaitu:
1.
Mengajak dan menyeru,
2.
Berdo’a,
3.
Mendakwa (red. Menuduh),
4.
Mengadu,
5.
Memanggil,
6.
Meminta,
7.
Mengundang
Dari makna yang berbeda tersebut sebenarnya semuanya tidak terlepas
dari unsur aktivitas memanggil. Mengajak adalah memanggil seseorang untuk
mengikuti kita, berdoa adalah memanggil Tuhan agar mendengarkan dan mengabulkan
permohonan kita, mendakwa/menuduh adalah memanggil orang dengan anggapan tidak
baik, mengadu adalah memanggil untuk menyampaikan keluh kesah, meminta hampir
sama dengan berdoa hanya saja objeknya lebih umum bukan hanya Tuhan, mengundang
adalah memanggil seseorang untuk menghadiri acara, malaikat Israfil adalah yang
memanggil manusia untuk berkumpul di padang Masyhar dengan tiupan Sangkakala,
gelar adalah panggilan atau sebutan bagi seseorang, anak angkat adalah orang
yang dipanggil sebagai anak kita walaupun bukan dari keturunan kita. Kata
memanggil pun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia meliputi beberapa makna yang
diberikan Al-Quran yaitu mengajak, meminta, menyeru, mengundang, menyebut dan
menamakan. Maka bila digeneralkan makna dakwah adalah memanggil.
b.
Terminologis
Definisi dakwah dari literatur yang ditulis
oleh pakar-pakar dakwah antara lain adalah: Dakwah adalah perintah mengadakan
seruan kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah
yang benar dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik[3]
Setelah kita ketahui makna dakwah secara etimologis dan
terminologis maka kita akan dapatkan semua makna dakwah tersebut membawa misi
persuasif bukan represif, karena sifatnya hanyalah panggilan dan seruan bukan
paksaan. Hal ini bersesuaian dengan firman Allah (ayat la ikraha fiddin) bahwa
tidak ada paksaan dalam agama. Maka penyebaran Islam dengan pedang atau pun terror
tidaklah bisa dikatakan sesusai dengan misi dakwah.
B.
Perintah Dakwah
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa agama Islam adalah agama misi
atau agama dakwah memang tidak bisa disangkal lagi dilihat dari teks suci yang
mewajibkan pemeluk Islam untuk melakukan aktivitas dakwah. Berikut kutipan
sebagian dari ayat-ayat yang mengandung perintah untuk berdakwah.
1.
Q.S. An-Nahl 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ
ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya
dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [4]
2.
Q.S. Ali Imran 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar ;
merekalah orang-orang yang beruntung.”[5]
3.
Q.S. Yusuf 108
وَ قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى
بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang
yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".” [6]
4.
Q.S. Al-Qashash 87
وَلَا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آَيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ
أُنْزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan)
ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka
kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan.”[7]
5.
Q.S. Al-Maidah 67
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.
Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia[430].
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.[8]
6.
Q.S. Ali Imran 110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.”[9]
Ayat-ayat yang mengandung perintah dakwah di atas kita dapati bahwa
perintah tersebut ada yang ditujukan pada rasul saja, seperti surat An-Nahl
ayat 125, Al-Maidah ayat 67 dan surat Al-Qashash ayat 87, namun tidak sedikit
yang ditujukan pada kaum muslimin secara umum. Ungkapan ini ditulis oleh Said
bin Ali Al-Qahthani dalam Dakwah Islam Dakwah Bijak, "Ayat-ayat yang
memerintahkan Nabi agar berdakwah, maksudnya bukan saja ditujukan pada Nabi,
melainkan juga umat Islam" . Sayyid Thanthawi dalam kitab tafsirnya
memberikan pernyataan serupa,
والخطاب فى قوله - تعالى - { ادع إلى سَبِيلِ رَبِّكَ
بالحكمة } للرسول صلى الله عليه وسلم ويدخل فيه كل مسلم يصلح للدعوة إلى الله - عز
وجل
Kalaupun ada yang bersikeras untuk mengatakan bahwa ayat-ayat
tersebut adalah perintah khusus bagi Rasul, itu pun tidak menggugurkan
kewajiban dakwah bagi umat Islam karena adanya ayat-ayat lain yang perintahnya
ditujukan kepada umat Islam.
Adapun al-Qurthubi dalam menafsirkan surat Ali Imran ayat 104
mengatakan bahwa perintah untuk berdakwah adalah fardhu kifayah. Dakwah menjadi
wajib hanya bagi orang yang berpengetahuan. Sementara Ar-Razi dalam kitab
tafsirnya mengakui adanya dua pendapat dalam menafsirkan kata منكم. Pendapat yang
pertama mengatakan bahwa منكم di sini
maksudnya bukan sebagian tapi hanya sebagai penjelasan. Jadi perintah dakwah
itu berlaku untuk umum karena keumuman perintah amar ma'ruf dan nahi munkar
pada surat Ali Imran 110.
المسألة الأولى : في قوله { مّنكُمْ } قولان أحدهما : أن {
مِنْ } ههنا ليست للتبعيض لدليلين الأول : أن الله تعالى أوجب الأمر بالمعروف
والنهي عن المنكر على كل الأمة في قوله { كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بالمعروف وَتَنْهَوْنَ عَنِ المنكر } [ آل عمران : 110 ]
والثاني : هو أنه لا مكلف إلا ويجب عليه الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، إما
بيده ، أو بلسانه ، أو بقلبه
Pendapat kedua mengatakan bahwa من di sini maksudnya adalah
sebagian. Pendapat ke-dua ini pun terbagi lagi, karena mempunyai alasan yang
berbeda. Pertama karena ada sebagian orang yang tidak mampu untuk melaksanakan
dakwah, seperti wanita, orang sakit atau pun cacat. Yang kedua, sebagian di
sini maksudnya adalah para ulama saja, bukan seluruh umat Islam. Karena untuk
menyampaikan hal yang baik harus mempunyai pengetahuan tentang yang baik itu.
والقول الثاني : أن { مِنْ } ههنا للتبعيض ، والقائلون بهذا
القول اختلفوا أيضاً على قولين أحدهما : أن فائدة كلمة { مِنْ } هي أن في القوم من
لا يقدر على الدعوة ولا على الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر مثل النساء والمرضى
والعاجزين والثاني : أن هذا التكليف مختص بالعلماء……………………. ومعلوم أن الدعوة إلى
الخير مشروطة بالعلم بالخير وبالمعروف وبالمنكر
Mohammad Natsir dalam bukunya Fiqhud Da'wah justru menentang
pendapat yang mengatakan perintah dakwah hanya pada ulama. Dakwah adalah
kewajiban sebagai pembawaan fitrah manusia selaku makhluk sosial, bukan
monopoli golongan yang disebut ulama. Menurut hemat penulis, perintah dakwah
memang umum untuk seluruh umat Islam sebatas apa yang dia ketahui, apa bila
hanya tahu satu ayat maka sampaikan lah satu ayat.
بلغوا عني ولو اية
!
Ma'ruf dan munkar tentunya bisa dinalar dengan akal tanpa harus
mempelajarinya secara mendetail, seperti menyuruh kepada kejujuran dan melarang
dari berdusta. Kita tidak memerlukan ilmu yang mendalam tentang apa itu jujur
dan dusta.
Selain ayat-ayat Quraniyah
ada juga hadits Nabi yang bisa dijadikan dasar perintah dakwah atau tabligh.
Setelah Nabi Muhammad menyampaikan pesan-pesannya pada haji Wada', beliau bersabda:
الا هل بلغت؟
(Wahai, apakah sudah kusampaikan?), di akhir khutbahnya beliau
bersabda:
فليبلغ الشاهد منكم الغائب فلعل من يبلغه يكون اوعي له من
بعض من سمعه
"Maka hendaklah yang telah menyaksikan di antara kalian
menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga barangsiapa yang menyampaikan akan
lebih dalam memperhatikannya daripada sebagian yang mendengarkannya.
Dari hadis tersebut maka kita bisa ambil kesimpulan bahwa salah
satu manfaat yang didapat ketika menyampaikan dakwah adalah pembekasan yang
lebih mendalam dari pada hanya mengetahui namun tidak menyampaikan.
C.
Metode Dakwah
Nabi Muhammad S.A.W
Dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah terbagi dalam 2 periode,
yaitu di Mekkah dan Madinah. Pada awal periode Mekkah Rasulullah berdakwah
secara sembunyi-sembunyi, mendatangi orang-orang dekat Beliau antara lain istri
Beliau Khadijah, keponakannya Ali, budak Beliau Zaid, untuk diajak masuk Islam.
Ketika turun surat al Muddatstsir : 1-2, Rasululah mulai melakukan dakwah di
tengah masyarakat, setiap bertemu orang Beliau selalu mengajaknya untuk
mengenal dan masuk Islam (masih dalam keadaan sembunyi-sembunyi). Ketika Abu
Bakar menyatakan masuk Islam, dan menampakkannya kepada orang-orang yang dia
percayai, maka muncullah nama-nama seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam,
Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash dan Thalhah bin Ubaidillah yang juga masuk Islam. Dan seterusnya diikuti
oleh yang lain seperti Abu ‘Ubaidah, Abu Salamah, Arqom bin Abi al Arqom, dll.
Beliau menjadikan rumah Arqom bin Abi al Arqom sebagai pusat pengajaran dan
sekaligus pusat kelompok yang dalam bahasa kita tepatnya disebut sekretariat.
Di tempat ini Rasulullah mengajarkan hukum-hukum Islam, membentuk kepribadian
Islam serta membangkitkan aktivitas berpikir para sahabatnya tersebut. Beliau
menjalankan aktivitas ini lebih kurang selama 3 tahun dan menghasilkan 40 orang
lebih yang masuk Islam.
Selama 3 tahun membangun kaum muslim dengan membangun pola pikir
yang islami (‘aqliyah islamiyah) dan jiwa yang islami (nafsiyah islamiyah),
maka muncullah sekelompok orang yang memiliki syakhsiyah islamiyah (kepribadian
Islam) yang siap berdakwah di tengah-tengah masyarakat jahiliyah pada saat itu.
Hal ini bertepatan dengan turunnya surat al Hijr : 94, yang memerintahkan
Rasulullah untuk berdakwah secara terang-terangan dan terbuka. Ini berarti
Rasulullah dan para sahabatnya telah berpindah dari tahapan dakwah secara
sembunyi-sembunyi (daur al istikhfa’) kepada tahapan dakwah secara
terang-terangan (daur al i’lan). Dari tahapan kontak secara individu menuju
tahap menyeruh seluruh masyarakat. Sejak saat itu mulai terjadi benturan antara
keimanan dan kekufuran, antara pemikiran yang haq dan pemikiran yang batil.
Tahapan ini disebut marhalah al tafa’ul wa al kifah yaitu tahap interaksi dan
perjuangan. Di tahapan ini kaum kafir mulai memerangi dan menganiayah Rasulullah
dan para sahabatnya. Ini adalah periode yang paling berat dan menakutkan di
antara seluruh tahapan dakwah. Bahkan sebagian sahabat yang dipimpin oleh
Ja’far bi Abi Thalib diperintahkan oleh rasul untuk melakukan hijrah ke Habsyi.
Sementara Rasulullah dan sahabat yang lain terus melakukan dakwah dan
mendatangi para ketua kabilah atau ketua suku baik itu suku yang ada di Mekkah
maupun yang ada di luar Mekkah. Terutama ketika musim haji, dimana banyak suku
dan ketua sukunya datang ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji. Rasulullah
mendatangi dan mengajak mereka masuk Islam atau minimal memberikan dukungan
terhadap perjuangan Rasulullah.
Benturan antara Rasulullah dengan kafir Quraisy terjadi karena
Rasulullah dan para sahabat selalu melecehkan khayalan mereka, merendahkan
tuhan-tuhan mereka, menyebarkan rusaknya kehidupan mereka yang rendah, dan
mencela cara-cara hidup mereka yang sesat. Rasulullah tidak pernah berkompromi
apalagi bekerjasama menjalankan sistem kehidupan rusak dan sesat buatan manusia
jahiliyah.
Al Qur’an senantiasa turun kepada Beliau, dan menyerang orang-orang
kafir secara gamblang : “Sesunggunya kalian dan apa yang kalian sembah
selain Allah adalah umpan neraka jahannam”.[10] Al Qur’an juga menyerang praktek riba yang
telah turun temurun mewarnai kehidupan jahiliyah : “Dan segala hal yang
kalian datangkan berupa riba agar dapat menambah banyak harta manusia, maka
riba itu tidak menambah apapun di sisi Allah.”[11]
Demikian juga dengan kecurangan- kecurangan dalam takaran yang sangat biasa terjadi : “Kecelakaan
besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”[12]. Akibatnya,
manusia-manusia jahil itu menghalangi dan menyakiti Rasulullah dengan fitnah,
propaganda yang menyesatkan, pemboikotan bahkan penyiksaan fisik.
Di tengah cobaan yang sangat berat tersebut, datanglah kabar
gembira akan kemenangan dari Madinah. Hal ini terjadi ketika beberapa orang dari
suku khazraj datang ke Mekkah untuk berhaji. Kemudian Rasulullah mendatangi
mereka, berdakwah kepada mereka dan merekapun akhirnya masuk Islam. Setelah
selesai melaksanakan haji dan mereka kembali ke Madinah, mereka menceritakan
keislaman mereka kepada kaumnya. Sejak saat itu cahaya Islam mulai muncul di
Madinah.
Pada musim haji tahun berikutnya, datang 12 orang dari Madinah ke
Mekkah, lalu mereka membai’at Rasulullah dalam peristiwan Bai’at ‘Aqobah
pertama. Bai’at ini adalah sebuah pernyataan janji di hadapan Rasulullah bahwa
mereka akan berpegang teguh pada risalah Islam dan meninggalkan semua
perbuatan-perbuatan yang rusak dan sesat yang selama ini mereka praktekkan
dalam kehidupan. Ketika penduduk Madinah ini akan kembali, Rasulullah
memerintahkan Mush’ab bin Umair untuk ikut bersama mereka dan mengajarkan Islam
kepada penduduk Madinah.
Berbeda dengan penduduk Mekkah yang jumud dan berusaha untuk
mempertahankan status quo, terutama para penguasa kekufuran seperti Abu Lahab,
Abu Jahal dan Abu Sofyan, penduduk Madinah lebih baik dan bersahabat dengan
Islam. Mereka mau menerima agama baru tersebut. Bahkan ketika musim haji tiba
dan Mush’ab kembali ke Mekkah serta melaporkan kepada Rasulullah tentang
kondisi perkembangan Islam di Madinah yang sangat baik, Rasulullah mulai
berpikir untuk memindahkan medan dakwah dari Mekkah ke Madinah. Ketika
rombongan haji dari Madinah yang berjumlah 75 orang datang, terjadilah
peristiwah Bai’at Aqobah kedua. Bai’at ini adalah sebuah pernyataan dan janji
di hadapan Rasulullah bahwa mereka penduduk Madinah akan melindungi Rasulullah
dan menyerahkan kekuasaan kepada Rasulullah untuk memimpin mereka baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun memimpin mereka berperang melawan orang-orang yang
menghalangi risalah Islam. Tidak lama setelah itu Rasulullah memerintahkan
kepada para sahabatnya untuk melakukan hijrah ke Madinah dan Rasulullah
menyusul kemudian.
Sejak tiba di Madinah, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya
membangun masjid sebagai tempat sholat, berkumpul, bermusyawarah serta mengatur
berbagai urusan ummat. Sekaligus memutuskan perkara yang ada di antara mereka.
Beliau menunjuk Abu Bakar dan Umar sebagai pembantunya. Beliau bersabda “dua
(orang) pembantuku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar.” Dengan demikian Beliau
berkedudukan sebagai kepala negara, qlodi dan panglima militer. Beliau
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara penduduk Madinah dengan hukum
Islam, mengangkat komandan ekspedisi dan mengirimkannya ke luar Madinah. Negara
Islam oleh Rasulullah ini dijadikan pusat pembangunan masyarakat yang berdiri
di atas pondasi yang kokoh dan pusat persiapan kekuatan militer yang mampu
melindungi negara dan menyebarkan dakwah. Setelah seluruh persoalan dalam
negeri stabil dan terkontrol, Baliau mulai menyiapkan pasukan militer untuk
memerangi orang-orang yang menghalangi penyebaran risalah Islam.
Skema Metode Dakwah Rasulullah
A.
Periode Mekkah
a)
Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan
1.
Pemantapan Aqidah
2.
Pembentukan Syakhsiyah Islamiyah
3.
Pembentukan kelompok Dakwah
b)
Tahapan Interaksi dan Perjuangan
1.
Pertarungan Pemikiran (shira’ul fikr)
2.
Perjuangan Politik (Kifahus siyasi)
B.
Periode Madinah
a)
Tahapan Penerapan Syarat Islam (tathbiq ahkam al Islam)
1.
Membangun Masjid
2.
Membina Ukhuwah Islamiyah
3.
Mengatur urusan masyarakat dengan syariat Islam
4.
Membuat Perjanjian dengan warga non muslim
5.
Menyusun strategi politik dan militer
6.
Jihad
D.
Urgensi Dakwah Tauhid
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, bahwa tidak
ada ilah -yang benar- selain Allah, dan mintalah ampunan untuk dosamu.”.[13]
Syaikh al-Sa’di Rahimahullah berkata, “Ilmu yang diperintahkan oleh
Allah ini -yaitu ilmu tentang [bagaimana] mentauhidkan Allah- hukumnya fardhu
‘ain bagi setiap orang. Kewajiban ini tidak gugur dari seorang pun. Siapa pun
dan apa pun kedudukannya. Bahkan, semuanya sangat membutuhkan ilmu tersebut.”[14]
Syaikh Khalid bin Abdurrahman asy-Syayi’ Hafizhahullah berkata, “Perkara
yang pertama kali diperintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
untuk memberikan peringatan dari syirik. Padahal, kaum musyrikin kala itu juga
berlumuran dengan perbuatan zina, meminum khamr, kezaliman dan berbagai bentuk
pelanggaran. Meskipun demikian, beliau memulai dakwahnya dengan ajakan kepada
tauhid dan peringatan dari syirik. Beliau terus melakukan hal itu selama 13
tahun. Sampai-sampai sholat yang sedemikian agung pun tidak diwajibkan kecuali
setelah 10 tahun beliau diutus. Hal ini menjelaskan tentang urgensi tauhid dan
kewajiban memberikan perhatian besar terhadapnya. Ia merupakan perkara terpenting
dan paling utama yang diperhatikan oleh seluruh para nabi dan rasul…” [15]. Allah
Ta’ala berfirman “Tidaklah Kami mengutus [16]sebelum
engkau [Muhammad] seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; tidak
ada ilah [yang benar] selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” [17]
Imam al-Baghawi rahimahullah menafsirkan makna perintah “sembahlah
Aku” dengan “Tauhidkanlah Aku”.[18]
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa
tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu
ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan
mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara
pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam
sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.”
Allah Ta’ala berfirman “Katakanlah -hai Muhammad-: Inilah
jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu. Inilah
jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, aku bukan
tergolong bersama golongan orang-orang musyrik.”[19]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh
lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling
rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah
satu cabang keimanan.”[20]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menegaskan bahwa bagian iman yang paling utama adalah tauhid yang
hukumnya wajib ‘ain atas setiap orang, dan itulah perkara yang tidaklah
dianggap sah/benar cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini
(tauhid).”[21]
Karena tauhid uluhiyah adalah cabang keimanan yang tertinggi maka
mendakwahkannya merupakan dakwah yang paling utama. Syaikh Abdul Malik
Ramadhani Hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu para da’i yang menyerukan
tauhid adalah da’i-da’i yang paling utama dan paling mulia. Sebab dakwah kepada
tauhid merupakan dakwah kepada derajat keimanan yang tertinggi.”[22]
Salah satu alasan yang menunjukkan betapa pentingnya
memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah (baca:
dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk
mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan
kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang
dialami umat manusia melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka lakukan
dalam hal ibadah mereka kepada Rabb jalla wa ‘Jalla.[23]
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Rahimahullah memaparkan, “Pada
masa kita sekarang ini, apabila seorang muslim mengajak saudaranya kepada
akhlak, kejujuran dan amanah niscaya dia tidak akan menjumpai orang yang
memprotesnya. Namun, apabila dia bangkit mengajak kepada tauhid yang
didakwahkan oleh para rasul yaitu untuk berdoa kepada Allah semata dan tidak
boleh meminta kepada selain-Nya apakah itu para nabi maupun para wali yang
notabene adalah hamba-hamba Allah [makhluk, tidak layak disembah, pent] maka
orang-orang pun bangkit menentangnya dan menuduh dirinya dengan berbagai
tuduhan dusta. Mereka pun menjulukinya dengan sebutan ‘Wahabi’! agar
orang-orang berpaling dari dakwahnya. Apabila mereka mendatangkan kepada kaum
itu ayat yang mengandung [ajaran] tauhid muncullah komentar, ‘Ini adalah ayat
Wahabi’!! Kemudian apabila mereka membawakan hadits, ‘..Apabila kamu minta
pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.’ sebagian orang itu pun
mengatakan, ‘Ini adalah haditsnya Wahabi’!…”[24]
Tujuan Dakwah; Akidah atau Daulah ?
Semata-mata tegaknya sebuah pemerintahan Islam tidak bisa
memperbaiki akidah umat manusia. Realita adalah sebaik-baik bukti atasnya. Di
sana ada sebagian negara pada masa kini yang membanggakan diri tegak sebagai
negara Islam. Akan tetapi ternyata akidah para penduduk negeri tersebut adalah
akidah pemujaan berhala yang sarat dengan khurafat dan dongeng belaka. Hal itu
disebabkan mereka telah menyelisihi petunjuk para nabi dan rasul dalam berdakwah
menuju Allah.[25]
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan Hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya
berhukum dengan syari’at, penegakan hudud, tegaknya daulah islamiyah, menjauhi
hal-hal yang diharamkan serta melakukan kewajiban-kewajiban [syari'at] ini semua
adalah hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Sedangkan ia merupakan cabang
dari tauhid. Bagaimana mungkin lebih memperhatikan cabangnya sementara pokoknya
justru diabaikan?”[26].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh
membuatku kagum ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan pada masa kini.
Beliau mengatakan: “Tegakkanlah daulah/pemerintahan Islam di dalam hati kalian,
niscaya ia akan tegak di atas bumi kalian.”[27]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani Muhammad Nashiruddin, Ma’alim al-Manhaj as-Salafi fi
at-Taghyir
Ali Aziz , Mohammad, Ilmu Dakwah, 2009
Al-Madkhali, Dr. Rabi’ bin Hadi, Manhaj al-Anbiya’ fi ad-Da’wah ila
Allah, fiihil Hikmah wal ‘Aql, Maktabah al-Ghuroba’ al-Atsariyah, cet. ke-2,
1414 H.
Al-Qahthani, Said Bin Ali, Dakwah Islam Dakwah Bijak , Gema Insani
Press Jakarta, 1994
Al-Qurthubi, Abi Abdullah Muhammad,“Al-Jami’ al-Ahkam
al-Qur’an”, Beirut Lebanon: Muassasah
Ar- Risalah, 2006 M/ 1427 H.
Al-sa’dy, Abdurrahman bin Nasir, Taisir al-Karim ar-Rahman
Ar-razi, Imam Fakhruddin, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir.
Asy-Syayi’, Khalid bin Abdurrahman, Ta’lik Mukhtashar Sirati
an-Nabi wa Sirati Ash-habihi al-’Asyrati karya Imam Abdul Ghani al-Maqdisi
Atjeh, Aboebakar, Sekitar Masuknya Islam Di Indonesia, 1971.
Ats-Tsubait , Abid bin Abdullah, Qawa’id wa Dhawabith Fiqh
ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H
Bin Jamil Zainu, Muhammad, Da’watu asy-Syaikh Muhammad ibn Abdil
Wahhab.
Imam al-Baghawi, Tafsir Ma’alim at-Tanzil
Imam an-Nawawi, Syarh Muslim
Natsir, Mohammad, Fiqhud Da'wah, Dewan Da’wah Islamiyah, 1977
Ramadhani, Abdul Malik, Durar min Ushul Ahli al-Atsar.
Zakariya , Abu Bakr Muhammad, asy-Syirk fil Qadim wal Hadits,
Maktabah ar-Rusyd, 1422 H.
[4] Q.S.
An-Nahl [16]:125
[8] Q.S. Al-Maidah : 67
[15] Lihat ta’liq
beliau dalam Mukhtashar Sirati an-Nabi wa Sirati Ash-habihi al-’Asyrati karya
Imam Abdul Ghani al-Maqdisi, hal. 59-60)
[16] HR.
Bukhari dan Muslim
[17] QS.
Al-Anbiya : 25
[18]
Ma’alim at-Tanzil, hal. 834
[19] QS.
Yusuf : 108
[23] Lihat Qawa’id wa Dhawabith Fiqh ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam
Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh ‘Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul
Jauzi cet I, 1428 H
[24] Lihat Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah Da’watu asy-Syaikh
Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 12-13
[25] Lihat asy-Syirk fil Qadim wal Hadits [1/80] oleh Abu Bakr Muhammad
Zakariya. Cet. Maktabah ar-Rusyd, 1422 H
[26] Lihat dalam kata pengantar beliau terhadap kitab Manhaj al-Anbiya’
fi ad-Da’wah ila Allah, fiihil Hikmah wal ‘Aql oleh Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi
al-Madkhali hafizhahullah hal. 11 Maktabah al-Ghuroba’ al-Atsariyah, cet. ke-2
tahun 1414 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar