Riba dalam
al-Qur’an
Makalah ini
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir Tahlily
Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Nur
Arfiyah Febriyani
Disusun oleh:
Muhammad Yulian
Ma’mun
NPM:
11.04.2010342
PROGRAM
PASCASARJANA
JURUSAN ILMU TAFSIR SEMESTER III
INSTITUT PTIQ
JAKARTA
2013/2014
Riba dalam al-Qur’an
Abstrak
Ekonomi
global yang bertumpu pada dunia keuangan dan perbankan terancam runtuh. Eropa
dan Amerika yang dulu begitu jumawa dalam kancah ekonomi mulai digerogoti
krisis satu dekade belakangan. Negara-negara berkembang pun kena imbasnya.
Kerapuhan dunia perbankan mulai merambat terhadap aspek-aspek ekonomi lain
seperti industri dan lapangan pekerjaan.
Dari
realita permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan: apa solusi yang bisa
ditawarkan dalam menghadapi ancaman hancurnya ekonomi dunia?
Roy
Davies dan Glyn Davies mengatakan bahwa bunga telah memberi andil besar dalam krisis
ekonomi di abad 20 saat perbankan begitu digdaya. Umer Chapra (1996)
mengemukakan bahwa riba yang di era modern berwujud bunga telah menyebabkan tujuan
pembangunan—yaitu kesejahteraan—semakin sulit dicapai. Riba merusak ekonomi
karena adanya eksploitasi kaum kaya terhadap kaum yang lemah.
Konsep ekonomi dalam Islam, adalah tata cara mendapatkan harta / kekayaan
dan membelanjakannya sesuai tuntunan hukum agama dan etika. Mendapat untung
dalam berekonomi tidak boleh membuat orang lain rugi. Salah satu prinsip
penting dalam ekonomi Islam adalah larangan riba.
Tulisan ini membahas tentang larangan riba dalam al-Qur’an, serta
pendapat para cendikiawan Islam tentang hukumnya serta representasinya di masa
kini dengan metode analisis. Penulis juga menelaah pengaruh transaksi berbunga
terhadap krisis ekonomi global.
Tujuan Islam
adalah membawa umatnya hidup bahagia di dunia dan akhirat sekaligus. Terjadinya krisis ekonomi, tidak terlepas dari pelanggaran terhadap
tuntunan agama. Ini berakibat pada hilangnya keadilan dari aktivitas dan
praktek ekonomi. Ketidakadilan tersebut melahirkan riba, spekulasi, monopoli, hingga
korupsi yang merusak tatanan kesejahteraan masyarakat dan negara. Sistem Ekonomi
Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang
dilakukan oleh sistem kapitalis, seperti dikatakan M. Syafii Antonio (2012).
Kata kunci: Al-Quran dan ekonomi,
riba, bunga.
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam dalam berbagai
dimensi kehidupan manusia.
Dari sinilah petunjuk Ilahi digali dan dikembangkan untuk menunjukkan
manusia jalan yang lurus. Petunjuk itu mencakup seluruh aspek kehidupan, bukan
hanya hubungan kepada Allah swt. tapi juga sesama manusia dan alam sekitarnya.
Islam tidak hanya menginginkan umatnya sejahtera di akhirat, tapi juga di
kehidupan dunia.
Untuk memenuhi kebutuhan selama hidup, manusia mengembangkan
dimensi ekonomi yang dimilikinya. Aktivitas ekonomi adalah salah satu dimensi
sosial manusia yang berhubungan dengan
produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa.
Konsep ekonomi dalam Islam yang dijabarkan dalam al-Qur’an dan
Sunnah adalah konsep tentang tata cara mendapatkan harta / kekayaan dan
membelanjakannya menurut hukum dan etika yang terkandung dalam syariat.
Pengertian ini bisa dibawa pada kasus individu maupun komunitas sosial dan negara
yang lebih kompleks.
Pengembangan ilmu ekonomi Qur’ani pada dasarnya
mempunyai peluang yang
sama dengan pengembangan
ilmu-ilmu lain dalam tradisi keilmuan Islam. sayang, sebagai suatu
disiplin ilmu, ilmu ekonomi Qur’ani belum berkembang pesat. Padahal
kebutuhan terhadap ilmu
ini dirasakan sudah mendesak,
sehubungan kegagalan ilmu
ekonomi modern dalam merealisasikan pembangunan dan
kemaslahatan masyarakat.[1]
Salah satu perilaku ekonomi Islami adalah larangan praktek riba.
Dewasa ini sistem riba yang berbentuk pembungaan uang sudah mengakar sedemikian
kuat dalam fondasi ekonomi dunia. Meski sudah berkali-kali terbukti memiliki
banyak kelemahan, tetap saja keserakahan pelaku ekonomi dunia membuat riba
semakin mendominasi. Lingkaran setan riba terus berputar, semakin menggelembung
namun semakin rapuh, siap meledak kapan saja lalu membuat ekonomi dunia luluh
lantak.
Dalam makalah sederhana ini, penulis ingin membedah larangan riba
dalam al-Qur’an. Ada beberapa masalah yang dipaparkan yakni; definisi riba,
riba dalam al-Qur’an dan sunnah, pendapat ulama dan cendikiawan Islam mengenai
hukum riba, serta riba dan aplikasi sistem bunga dalam dunia ekonomi di era
modern.
B.
Pengertian dan Sejarah Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti
tambahan “azziyadah”, berkembang “an-numuw”, membesar “al-'uluw”
dan meningkat “al-irtifa'”. Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa
tersebut, ada ungkapan Arab kuno; arba fulan 'ala fulan idza azada
'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya
terdapat unsur tambahan).
Menurut terminologi ilmu fiqih, riba merupakan tambahan khusus yang
dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba
sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai"Usury" dengan
arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syariat,
baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan
banyak.[2]
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita
dengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat
itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena
mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.[3]
Jika melihat ayat yang menyinggung riba dalam al-Qur’an, dikaitkan
dengan aktivitas kaum Yahudi (QS an-Nisaa’ ayat 161). Saat dibebaskan oleh Nabi
Musa as. dari perbudakan Fir’aun di Mesir, bangsa Yahudi mendapat berbagai
kenikmatan hidup. Tetapi pada era Nabi Isa as mereka mengalami penderitaan.
Salah satu sebabnya adalah karena mereka gemar memakan harta orang lain dengan
cara lalim melalui praktek riba—seperti yang disebutkan al-Qur’an—yang dilarang
dalam kitab Taurat dan Zabur.[4]
Bangsa Yahudi memang memiliki reputasi yang terkenal dalam bisnis
pembungaan uang. Pada masa kini pun praktek pembungaan oleh kelompok etnis
Yahudi di AS di luar lembaga perbankan berupa credit union[5]
menjadi fenomena yang jamak ditemui.
Tradisi bangsa Yunani juga melarang riba. Aristoteles berpendapat
bahwa uang adalah medium perantara yang tergolong anorganik. Karena itu, uang
tidak bisa “beranak”. Barangsiapa meminta bayaran dari meminjamkan uang,
dinilai sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum alam.
Pada abad pertengahan, orang-orang Yahudi begitu maju dalam
berdagang. Ini membuat kecemburuan dari pribumi Eropa dan mendesak mereka
keluar dari arena dagang dan membuka usaha pembungaan uang. Hingga pada abad
ke-14, jatidiri Yahudi telah bertransformasi dari perdagangan ke industri bunga
uang.
Pada mulanya, doktrin gereja mengenai riba tetap konsisten terhadap
keharamannya. Seperti yang diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surah an-Nisaa’
ayat 161 bahwa para rasikh (cendikiawan) dan orang yang beriman
berpegang kepada al-Kitab. “Kaum beriman tidak boleh mengambil keuntungan dari
meminjamkan emas danlogam mulia lainnya,” demikan kata Thomas Aquinas.[6]
Pada masa menjelang abad modern, timbul gerakan untuk menghapus
larangan riba. Penghapusan terhadap larangan riba baru terjadi di Inggris tahun
1854, dan Belanda tahun 1857. Pada masa yang sama beberapa negara bagian di AS
masih mempertahankan peraturan anti-riba. Hingga pada kelanjutannya, bunga dan
riba dimengerti secara berbeda. Riba diterjemahkan sebagai woeker dalam
bahasa Belanda, yaitu bunga yang terlalu tinggi persentasinya. Adapun
persentase bunga yang masih di bawah ambang kewajaran ditolerir.[7]
C. Riba
dalam al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an ditemukan
kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surah, tiga
diantaranya turun setelah
Nabi hijrah dan
satu ayat lagi
ketika beliau masih di
Makkah.
Larangan riba yang
terdapat dalam Al-Qur’an tidak
diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap. Adapun ayat-ayat
dalam Al-Qur’an yang menjelaskan masalah riba diantaranya:
1.
Surah Ar Ruum: 39
وَمَآءَاتَيْتُم
مِّن رِّبًا لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ
وَمَآءَاتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ {39}
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya). (QS. 30:39)
2.
Surah Annisa ayat 160-161
فَبِظُلْمٍ
مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160} وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ
نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا {161}
Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (QS. 4:160)
dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa
yang pedih. (QS. 4:161)
3.
Surah Ali Imran ayat 130:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ {130}
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. 3:130)
4.
Surah Al-Baqarah 275-276
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ
يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ
الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُ مِّن
رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275} يَمْحَقُ اللهُ
الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
{276}
Artinya: “Orang-orang
yang makan (mengambil)
riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran
(tekanan penyakit gila). Keadaan
mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual-beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang
siapa yang datang kepadanya
peringatan dari Allah.
Lalu ia berhenti
maka baginya adalah apa yang telah berlalu dan urusannya adalah kepada Allah dan barang
siapa yang kembali lagi,
maka mereka adalah
penghuni neraka yang
kekal di dalamnya. Allah akan menghapus riba dan melipat gandakan sedekah dan Allah
tidak suka kepada
orang-orang kafir lagi pendosa”.(QS. Al-Baqarah : 275- 276)
5.
Surah al-Baqarah ayat 278-279:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278}
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن
تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}
Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkanlah
sisa-sisa riba. jika memang kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka terimalah
pernyataan perang dari
Allah dan rasul-Nya
dan jika kalian bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak pula dizalimi”. QS. Al-Baqarah :
(278- 279)
Dari ayat-ayat yang disebutkan sebelumnya, para ulama mengambil
kesimpulan bahwa larangan riba yang terdapat dalam Al-Quran tidak diturunkan
sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba
yang pada zahir-nya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu
perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah. Hal ini terdapat dalam
surah ar-Ruum ayat 39.
Tahap kedua, dalam surah an-Nisa ayat 160-161 riba
digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan
yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Tahap ketiga, dalam surah Ali Imran ayat 130 riba
diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para
ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup
tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan
ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah. Inilah tahap
keempat, ketika Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis
tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan
menyangkut riba.
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jika dicermati asbabun
nuzulnya. Sebab turunnya sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada
gubernur kota mekkah ‘Itab Bin Usaid terhadap bani Tsaqif tentang utang utang
yang dilakukan dengan riba sebelum turun ayat pengharaman riba. Kemudian gubernur mengirimkan surat
kepada Rasulullah SAW melaporkan kejadian tersebut. Surat tersebut dijawab
setelah turunnya ayat 278-279.[8]
Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan
dengan Rasulullah saw Bahwa semua utang mereka, demikian juga piutang (tagihan
mereka, yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokok-nya
saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk ‘Itab bin Usaid sebagai
Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai wilayah
administrasinya.
Bani Amr bin Umair bin Auf adalah orang yang senantiasa meminjamkan
uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah
senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka
tetap memiliki kekayaan dan aset yang banyak. Karenanya, datanglah Bani Amr
untuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari bani Mughirah—seperti
sediakala—tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan
tambahan (riba) tersebut. Dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur ‘Itab
bin Usaid. Menanggapi masalah ini, Gubernur ‘Itab langsung menulis surat kepada
Rasulullah saw Dan turunlah ayat di atas. Rasulullah saw lantas menulis surat
balasan kepada Gubernur Itab, ‘Jika mereka ridha atas ketentuan Allah di atas
maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka sampaikanlah peringatan
perang kepada mereka.
D.
Riba dalam Sunnah
Sebagaimana diketahui oleh umat Islam bahwa salah satu fungsi
as-Sunnah adalah menjelaskan hal-hal yang bersifat umum (baik perintah atau
larangan dalam al-Qur’an). Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya berasal dari
Al-Quran, melainkan juga as-Sunnah. Dalam amanat terakhirnya dalam khutbah pada
tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah saw masih menekankan sikap
Islam yang melarang riba.
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan
menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu,
utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu.
Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba.
Diantaranya:
Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah bersabda: “Emas
untuk emas, perak untuk perak, gandum untuk gandum, anggur untuk anggur, kurma
untuk kurma, dan garam untuk garam. Jika (komoditas ini) ditukarkan maka
semisal untuk yang semisal, sama untuk yang sama dan dari tangan ke tangan
(kontan di tempat). Jika jenis komoditas yang saling ditukarkan berbeda, maka
silakan menjual komoditas itu sesuka kalian, jika mereka saling ditukarkan
berdasarkan transaksi dari tangan ke tangan.”
Kata-kata semisal (mitslan bi mitslin), yang sama untuk yang
sama (sawa’an bi sawa’in) dan serupa untuk yang serupa (‘aynan bi
‘aynin) dapat diartikan sebagai sama dalam kualitas, kuantitas maupun
ukurannya.
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang
budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala). Ayahku
kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada
ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasulullah saw melarang
untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan.
Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta ditato, menerima dan
memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (HR Bukhari)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri: bahwa pada suatu ketika
Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah saw
dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal
menjawab, “ Saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan
menukarnya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh
Rasulullah saw, “Selepas itu Rasulullah saw terus berkata, “Hati-hati!
Hati-hati!Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini,
tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang
mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut
untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR Bukhari)
Diriwayatkan oleh Abdurahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata,
“Rasulullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak
kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan
begitu juga sebaliknya sesuai keinginan kita.” (HR Bukhari)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran
harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta
tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi
sama-sama bersalah.” (HR Muslim)
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah
suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di
dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang
laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu
berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari
mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya,
‘Siapakah itu? Aku diberitahu bahwa laki-laki
yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.” (HR
Bukhari)
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima
riba, orang yang membeyarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang
saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu sama semuanya.” (HR
Muslim)[9]
Diriwayakan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw berkata, “Pada
malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti
rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku
bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah
orang-orang yang memakan riba.”[10]
E. Macam-macam
Riba
Dari penjabaran dalam al-Qur’an dan as-Sunnah di atas, riba terbagi
menjadi dua jenis, yaitu riba akibat hutang-piutang seperti yang dijelaskan
dalam al-Qur’an serta riba jual beli yang disebutkan dalam as-Sunnah:
a.
Riba akibat hutang piutang: (1) Riba Qard, yaitu suatu manfaat atau
tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang beruhutang (murtaqid).
(2) Riba Jahiliyah yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena tidak bisa
dilunasi saat jatuh tempo.
b.
Riba akibat jual beli: (1) Riba Fadl, yaitu pertukaran antar barang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda darn barang yang dipertukarkan
termasuk dalam jenis barang ribawi, dalam hadiats Ubadah bin Shamit yang
disebut di atas. (2) Riba nasi’ah yaitu penangguhan atas penyerahan atau
penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi
lainnya. Riba ini muncul dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.[11]
F.
Pandangan Islam terhadap Riba
Mengingat turunnya ayat tentang larangan riba pada zaman Nabi
Muhammad SAW banyak yang berpersepsi bahwa istilah riba hanya ada di dunia
Islam. Terkesan seolah-olah doktrin
riba adalah khas
agama Islam. Banyak orang tidak mengetahui
bahwa di agama Kristen pun selama satu milenium riba adalah praktek terlarang
dalam pandangan teolog, cendekiawan maupun undang-undang yang berlaku, terutama
di negara-negara Eropa.[12]
Bahkan filsuf Yunani yang masyhur, Plato (427 – 347 SM) termasuk yang mengutuk
praktek pelipatgandaan uang.
Sedikit atau banyaknya kadar bunga yang terdefinisikan
sebagai riba, memang masih
menjadi perdebatan, hal
ini dikerenakan bahwa riba
Jahiliyah yang dengan
jelas dilarang adalah riba yang berlipat ganda (ad'afan
mudha'afah). Landasan dari riba dalam al-Qur'an surat al-Imran ayat 130:
"Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu
memakan riba berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan
keberuntungan"
Namun bila ditinjau dari keseluruhan ayat-ayat riba, seperti
al-Baqarah ayat 275 (mengharamkan riba),
ayat 276 masih
dalam surat al-Baqarah
menyatakan bahwa Allah menghapus
keberkahan riba dan
demikian pula dalam
surat al-Baqarah ayat
278-279, yang menegaskan
tentang pelarangan riba,
meskipun sedikit pengambilan bunga
(tambahan) tersebut tetap
dilarang, hal ini menunjukkan bahwa
tujuan ideal al-Qur'an
adalah menghapus riba
sampai membersihkan
unsur-unsurnya.
Dalam surat al-Baqarah
ayat 278-279 Allah menjelaskan secara
tegas terhadap pelarangan pelaku riba.[13] Allah menerintahkan
hamba-Nya yang beriman
supaya menjaga diri dalam
taqwa dan amal perbuatan
supaya benar-benar dijalan
Allah. Allah menyuruh manusia meninggalkan sisa harta
(riba) yang masih ada
ditangan orang.
Imam Fakhruddin ar-Razi menyebutkan dalam karyanya Tafsir Kabir
bahwa riba adalah perampasan terhadap harta orang lain secara tidak sah. Riba
juga membuat orang malas bekerja di sektor riil karena uang tanpa usaha. [14] Fenomena
ini terjadi sekarang saat suku bunga bank yang cenderung terus meninggi.
Suasana ini akan merusak komitmen dana untuk investasi produktif jangka
panjang. Karena pemilik dana lebih memilih untuk “mengembang-biakkan” dananya
di deposito tanpa harus berisiko rugi. Transaksi spekulatif seperit pasar
valuta asing (valas), saham dan komoditas akan marak.[15]
Sebab lainnya adalah eksploitasi ekonomi yang tidak adil. Pemberi
piutang (kreditur) akan semakin kaya sedangkan penghutang (kreditur) akan
semakin miskin. Golongan yang membutuhkan uang akan menuruti kehendak kreditur
walau dengan adanya bunga amat merugikan diri mereka.
Setidaknya ada tiga bahaya yang terdapat pada riba. Pertama,
riba membahayakan individu, karena dapat menumbuhkan ego dan mementingkan diri
sendiri. Kedua, riba membahayakan masyarakat, karena ia dapat
menumbuhkan rasa permusuhan antara anggota masyarakat, menghilangkan rasa kasih
sayang, rasa persaudaraan, dan potensi baik yang terdapat pada jiwa manusia.
Ketiga, riba membahayakan perekonomian.
H. Pendapat
Cendikiawan Modern Tentang Riba
Kalangan modernis melihat pelarangan riba lebih dikarenakan pada
aspek moralitas. Mereka cenderung mengesampingkan aspek hukum fiqihnya. Prinsip
ini ditegaskan oleh para tokoh muslim semisal Fazlur Rahman (1964)[16], Muhammad
Asad (1984)[17],
Sa’id an-Najjar (1989), dan Abdul Mun’im an-Namir (1989).[18]
Jauh sebelum itu, Syekh Muhammad Abduh (1849 - 1905) saat menjabat sebagai mufti Mesir juga
mentolerir penggunaan bunga bank selama tidak menyulitkan debitur. Ia pernah
mengatakan bahwa “bunga yang tidak terlalu tinggi tingkatnya, diperbolehkan”.
Tentu saja ia tetap berpendapat bahwa riba itu haram hukumnya.[19]
Bagi golongan modern, yang
diharamkan adalah adanya eksploitasi atas orang-orang miskin, bukan pada konsep
bunga itu sendiri (legal-form) menurut hukum Islam dalam Fiqih. Apa yang
diharamkan adalah tipe peminjaman yang berusaha mengambil untung dari
penderitaan orang lain. Selama pinjam-meminjam mengandung unsur bunga namun
tidak “mencekik” maka boleh-boleh saja.
I.
Bunga dan Ekonomi Dewasa Ini
Dalam istilah dunia ekonomi, khusunya keuangan (finance) ada
istilah yang dikenal dengan derivatif. Derivatif adalah sebuah perjanjian
penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang
menjadi "acuan pokok" atau juga disebut " produk turunan" (underlying
product). Daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu aset
yang risiko untung-ruginya tak bisa ditentukan, pelaku pasar lebih memilih membuat
suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, aset atau suatu nilai
disuatu masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang menjadi acuan
pokok.[20]
Karakter pasar derivatif ini identik dengan “pembiakan uang” dalam praktek riba
atau creating money from nothing.
Bunga adalah derivatif dari hutang. Hutang adalah derivatif dari
mata uang. Mata uang adalah derivatif dari uang (yang diback-up oleh emas
sebagai underlying asset).
Pasar derivatif adalah bom ekonomi yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Yang kena imbas transaksi derivatif bukan hanya dua pihak yang terlibat
langsung, pelaku ekonomi lainnya— yang bahkan yang tak tahu dengan apa itu
transaksi derivatif bisa ikut terjerumus.[21]
Apabila bom ekonomi ini meledak maka berbagai lembaga keuangan akan
mengalami default alias tak sanggup membayar hutang derivatifnya. Perlu
suntikan dana yang sering dianggap sebagai penyertaan modal untuk menghindari
dari default karena rush.[22]
Ketika ini terjadi, pemerintah akan turun tangan untuk menyuntikkan
modal. Modal ini diambil dari kas negara. Uang rakyat ini sebagian besar
porsinya akan disalurkan kepada nasabah besar yang punya akun beratus milyar. Dengan
kata lain, banyak masyarakat biasa yang
dipaksa bergotong royong mengumpulkan duit lewat pajak untuk
"membantu" mengganti uang nasabah besar perbankan. Mereka, rakyat
biasa yang tidak tahu-menahu tentang perputaran uang ini, harus ikut menanggung
beban atas kesalahan manajemen bank yang tidak mereka perbuat.
Contoh kongkrit rapuhnya ekonomi yang berdasarkan transaksi
derivatif adalah krisis di AS pada tahun 2008. Krisis yang berkenaan dengan
kredit perumahan ini dikenal dengan subprime mortgage ini menyeret
negara-negara lain untuk ikut terkena dampak krisis tersebut. Subprime morgage
ini adalah salah satu contoh bagaimana derivatif menghancurkan perekonomian
suatu negara.
Kasus ini berawal dari kasus yang sangat sederhana: kredit pinjaman
rumah. Rumah tersebut memiliki derivatif berupa surat rumah. Surat rumah ini,
bisa dipakai sebagai jaminan untuk meminjam uang dari bank. Maka, kita jaminkan
surat rumah kita, dan kita mendapatkan cash berupa pinjaman. Siklus transaksi
bisa dapat digambarkan sebagai berikut:[23]
Dari gambar di atas, bagaimana Rumah dapat memiliki derivatif
berupa surat kepemilikan rumah, yang bisa menghasilkan pinjaman cash dari bank.
Permasalahannya adalah, derivatif tersebut tidak berhenti disini. Surat rumah milik
nasabah di bank, tentunya berkumpul dengan surat rumah milik orang lain.
Kemudian, bank mengelompokkannya, mengumpulkan semua surat berharga tersebut, menjadikannya
sekuritas[24].
Sekuritas ini kemudian ditawarkan kepada investor berupa obligasi (surat
hutang), sehingga bank bisa mendapatkan cash dari investor (transaksi ini
dikenal dengan CDO atau Collateralized Debt Obligation) dan masih bisa
beranak-pinak lagi.
Surat kepemilikan itu menghasilkan uang lagi, berupa sekuritas lalu menjadi CDO, kemudian bentuk serupa lainnya. Uang yang dihasilkan dalam sistem ekonomi berkali-kali lipat banyaknya dari nilai satu unit rumah. Perputaran uang yang begitu besar sebenarnya sangatlah rapuh karena hanya dijamin oleh satu rumah sebagai aset. Jika terjadi gagal bayar (kredit macet) inilah yang akan terjadi:
Masalah yang amat menakutkan adalah semua instrumen tersebut sangat
bergantung pada cicilan yang dibayar. Jika cicilan bermasalah, maka semua
instrumen yang ada akan hancur. Saat aset (rumah) itu bermasalah, akan
merembet; cicilan bermasalah, bank bermasalah, sekuritas bermasalah, CDO
bermasalah, investasi bermasalah, seluruh ekonomi negara bermasalah. Persis
dengan perumpamaan sebuah kasino besar.[25]
Saat krisis ini terjadi, pemerintah AS
menyuntikkan dana talangan ke dalam sistem perekonomian dalam jumlah yang amat
besar: 700 miliar Dolar. Jumlah dana yang sangat banyak ini disebabkan hanya
dari satu masalah yaitu kredit macet.
J. Kesimpulan
Penulis mencoba menyimpulkan dari makalah ini
bahwa riba merupakan kegiatan
eksploitasi dan tidak
memakai konsep etika
atau moralitas. Allah mengharamkan
transaksi yang mengandung
unsur ribawi, hal
ini disebabkan menzalimi orang
lain dan adanya
unsur ketidakadilan.
Para
ulama sepakat dan
menyatakan dengan tegas
tentang pelarangan riba. Pendapat ini mengacu pada al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw serta ijma' para
ulama. Transaksi riba biasanya
terjadi dan ditemui
dalam transaksi hutang-piutang dan
jual beli. Hutang
piutang merupakan transaksi
yang rentan akan
riba, di mana kreditor
minta tambahan kepada debitor
atas modal awal
yang telah dipinjamkan sebelumnya.
Riba sama
artinya dengan rente
yaitu pengambilan tambahan
dari harta pokok atau
modal secara batil,
karena sama-sama mengandung
bunga (interest) uang, maka
hukumnya juga sama.
Sejak
pra-Islam riba telah
dikenal bahkan sering
dilakukan dalam kegiatan perekonomian sehari-hari.
Pada masa Nabi
saw riba mulai
dilarang dengan turunnya
ayat-ayat al-Qur'an yang
menyatakan larangan akan
riba. Larangan ini turun dalam empat tahap. Tidak hanya
Islam saja yang
melarang riba, tetapi agama-agama
samawi juga melarang perilaku riba.
Kalangan Islam
modernis lebih menekankan aspek
moralitas dalam memandang riba. Adapun aspek
legal-formalnya (fiqih dan hukum) diposisikan setelah moral.
Islam
mengharamkan riba selain
telah tercantum secara
tegas dalam al-Qur'an
surat al-Baqarah ayat
278-279 yang merupakan
ayat terakhir tentang pengharaman riba,
juga mengandung unsur eksploitasi si kaya terhadap si miskin. Maksud kalimat “tidak boleh
menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya” adalah “tidak
boleh melipat gandakan (ad'afan mudhaafan) uang
yang telah dihutangkan”. Larangan ini karena dalam cenderung
merugikan orang lain.
Terlepas dari aspek hukum-fiqih pengharaman riba,
keberadaannya ini merupakan salah satu faktor yang merusak ekonomi. Bukan hanya
Indonesia tapi juga dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abduh,
Isa, Wadh’u ar-Ribaa’ fi al-Binaa al-Iqtishady, 1973: Kuwait, Daar
al-Buhouts al-‘Ilmiyah.
Amin,
Ahmad Riawan, Satanic Finance, 2012, Jakarta: Zaytuna.
Asad,
Muhammad, The Message of al-Qur’an, tt, tp.
As-Suyuthi,
Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul,
2006, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby.
Glasse,
Cyril, The New Encyclopedia of Islam, 2002, London: Stacey
International.
Nasution,
Mustafa Edwin, et. al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, 2010,
Jakarta: Kencana.
Qureshi,
Anwar Iqbal, Islam and the Theory of Interest, 1979, Delhi: Idarah-i
Adabiyat-i Delli
Rahardjo,
M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an, 2002. Jakarta: Paramadina.
Saeed,
Abdullah, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo
Revivalis. 2010. Jakarta: Paramadina.
Jurnal:
Intellectual
Discourse, Vol. 10 No.
I, 2002, Kuala Lumpur: Al-Ghazali Resource Centre-IIUM.
Review
of Middle East Economics and Finance, Volume 1, Issue 1, 2003, Oxfordshire: Taylor & Francis Books
and Journals.
Media
Digital:
Cambridge
Advanced Learner’s Dictionary 3rd Edition (software), 2008, Cambridge University Press.
Laman
Internet:
[1] Isa Abduh, Wadh’u ar-Ribaa’ fi al-Binaa al-Iqtishady, 1973:
Kuwait, Daar al-Buhouth al-‘Ilmiyah, Hal. 7.
[2] Farhad Nomani, The Problem of Interest and Islamic Banking in a Comparative
Perspective: the Case of Egypt, Iran and Pakistan, artikel di jurnal Review
of Middle East Economics and Finance, Volume 1, Issue 1, 2003, Oxfordshire:
Taylor & Francis Books and Journals, Hal. 38.
[3] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, 2002. Jakarta:
Paramadina.Hal 597.
[4] Muhammad Asad, The Message of al-Qur’an, versi digital
(pdf), Hal. 200, tt, diunduh dari http://muhammad-asad.com/Message-of-Quran.pdf
[5] Credit Union atau koperasi kredit adalah sebuah lembaga
keuangan yang bergerak di bidang simpan pinjam yang dimiliki dan dikelola oleh
anggotanya, dan yang bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya sendiri. Biasanya
lembaga ini mempunyai bunga yang lebih rendah dari bunga standar bank. Lihat
entri “credit union” di kamus Merriam-Webster versi online http://www.merriam-webster.com/dictionary/credit%20union
[6] Thomas Aquinas (1225-1274) adalah seorang filosof dan teolog dari
Italia yang sangat berpengaruh pada abad pertengahan. Karya Thomas Aquinas yang
terkenal adalah Summa Theologiae (1273), yaitu sebuah buku yang merupakan
sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen.
[7] M. Dawam, Ensiklopedi, Hal. 595.
[8] Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Lubab an-Nuqul
fi Asbab an-Nuzul, 2006, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby, Hal. 49.
[9] Anwar Iqbal Qureshi, Islam and the Theory of Interest, 1979,
New Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli. Hal 71.
[10] Abdullah Saeed, Menyoal, Hal. 39.
[11] Wasilul Chair, Riba dalam Perspektif Islam. Artikel diunduh
dari situs resmi Fakultas Ekonomi Universitas Madura, Jawa Timur, Hal. 14.
Tautan unduhan di http://fe.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/RIBA-DALAM-PERSPEKTIF-ISLAM.pdf
[12] Muhammad Dawam Rahadjo, Ensiklopedia al-Qur’an, 2002,
Jakarta: Paramadina, hal 594.
[13] Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam,
2010, Jakarta: Kencana, Hal. 262.
[14] Anwar Iqbal, Islam and the Theory of Interest, Hal 71.
[15] Umer Chapra, dalam The Future of Economics: an Islamic
Perspective, dikutip oleh Murad Hofmann dalam review buku tersebut di
jurnal Intellectual Discourse, Vol. 10 No. I, 2002, Kuala Lumpur:
Al-Ghazali Resource Centre-IIUM, Hal. 91.
[16] Fazlur Rahman berpendapat bahwa bunga bank berbeda yang dilarang
pada masa Rasulullah. Umat muslim sekarang tidak memperhatikan sejarah penyebab
pelarangannya. Yang dilarang adalah tindakan eksploitatif dalam riba terhadap
debitur. Sedangkan bunga bank sekarang berbeda karena punya fungsi ekonomi.
Dikutip dalam: Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi
Bunga Bank Kaum Neo Revivalis. Paramadina 2010.
[17] Menurut Muhammad Asad: kekejian riba (dalam arti istilah digunakan
dalam al –Qur’an dan dalam banyak hadits Rasulullah) terkait dengan keuntungan
yang diperoleh melalui pinjaman berbunga yang mengandung eksploitasi atas orang
yang berekonomi lemah. Dikutip dalam: Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah:
Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis. Paramadina 2010
[19] Cyril Glasse, The New Encyclopedia of Islam, entri Riba,
2002, London: Stacey International, Hal. 384.
[20] Lihat peraturan Bank Indonesia mengenai pasar derivatif. Diunduh
dari situs resmi Bank Indonesia http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/264814F8-AA89-4B2B-B323-B5F309DDD1D6/2825/pbi73105.pdf
[21] Ahmad Riawan Amin, Satanic Finance, 2012, Jakarta: Zaytuna,
Hal. 19.
[22] Rush adalah penarikan dana nasabah dari bank secara
besar-besaran hingga bank tidak bisa memenuhi permintaan dana yang begitu
besar. Bank akan kehabisan dana (kehabisan likuiditas) dan bangkrut.
[23] Gambar-gambar tentang transaksi derivatif yang ada di makalah ini
disadur dari artikel Syauqi Mujahid, Alat Penghancur Ekonomi Terbesar
(catatan #3), dalam http://syauqimujahid.wordpress.com/2010/10/26/306/
[24] Sekuritas atau efek adalah dokumen berupa sertifikat fisik atau
elektronik yang dapat diperjualbelikan, yang menunjukkan bahwa seseorang
memiliki sebagian kepemilikan atas atau piutang kepada perusahaan. Lihat http://kamusbisnis.com/arti/sekuritas/
. Lihat juga entri “securities” dalam Cambridge Advanced Learner’s
Dictionary versi digital, 2008, Cambridge University Press.
[25] Shalahuddin Ahmad mengumpamakan pasar derivatif itu sebagai kasino
raksasa yang taruhannya sangat besar. Pasar derivatif taruhannya adalah
milyaran dan trilyunan untuk sekali pasang. Hanya ada satu cara agar “bom” tak
meledak dan ekonomi runtuh, yaitu dengan terus berjudi agar duit terus berputar.
Yang digunakan adalah chip yang nilainya terus meningkat, berputar dalam
lingkaran setan saat nilai chip tersebut membumbung nilainya tak realistik.
Ketika seorang pejudi keluar taruhan karena merasa sudah tak sanggup membayar, maka
terjadilah keributan di kasino tersebut. Semua orang berebutan berlari keluar
yang berakibat kerusuhan di kasino dan akan meminta banyak korban. Lihat
Shalahuddin Ahmad, Bom Ekonomi yang Siap Meledak Kapan Saja: Implikasi,
artikel bagian kedua di blog sosial kompasiana.com di http://m.kompasiana.com/post/read/615735/1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar