Kamis, 28 Agustus 2014

Riba dalam al-Qur’an



Riba dalam al-Qur’an

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Tafsir Tahlily

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Nur Arfiyah Febriyani





Disusun oleh:
Muhammad Yulian Ma’mun
NPM: 11.04.2010342



PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN  ILMU TAFSIR SEMESTER III
INSTITUT PTIQ JAKARTA
2013/2014







Riba dalam al-Qur’an
Abstrak
Ekonomi global yang bertumpu pada dunia keuangan dan perbankan terancam runtuh. Eropa dan Amerika yang dulu begitu jumawa dalam kancah ekonomi mulai digerogoti krisis satu dekade belakangan. Negara-negara berkembang pun kena imbasnya. Kerapuhan dunia perbankan mulai merambat terhadap aspek-aspek ekonomi lain seperti industri dan lapangan pekerjaan.
Dari realita permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan: apa solusi yang bisa ditawarkan dalam menghadapi ancaman hancurnya ekonomi dunia?
Roy Davies dan Glyn Davies mengatakan bahwa bunga telah memberi andil besar dalam krisis ekonomi di abad 20 saat perbankan begitu digdaya. Umer Chapra (1996) mengemukakan bahwa riba yang di era modern berwujud bunga telah menyebabkan tujuan pembangunan—yaitu kesejahteraan—semakin sulit dicapai. Riba merusak ekonomi karena adanya eksploitasi kaum kaya terhadap kaum yang lemah.
Konsep ekonomi dalam Islam, adalah tata cara mendapatkan harta / kekayaan dan membelanjakannya sesuai tuntunan hukum agama dan etika. Mendapat untung dalam berekonomi tidak boleh membuat orang lain rugi. Salah satu prinsip penting dalam ekonomi Islam adalah larangan riba.
Tulisan ini membahas tentang larangan riba dalam al-Qur’an, serta pendapat para cendikiawan Islam tentang hukumnya serta representasinya di masa kini dengan metode analisis. Penulis juga menelaah pengaruh transaksi berbunga terhadap krisis ekonomi global.
Tujuan Islam adalah membawa umatnya hidup bahagia di dunia dan akhirat sekaligus. Terjadinya krisis ekonomi, tidak terlepas dari pelanggaran terhadap tuntunan agama. Ini berakibat pada hilangnya keadilan dari aktivitas dan praktek ekonomi. Ketidakadilan tersebut melahirkan riba, spekulasi, monopoli, hingga korupsi yang merusak tatanan kesejahteraan masyarakat dan negara. Sistem Ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis, seperti dikatakan M. Syafii Antonio (2012).

Kata kunci:  Al-Quran dan ekonomi, riba, bunga.



A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam dalam  berbagai  dimensi  kehidupan  manusia.  Dari sinilah petunjuk Ilahi digali dan dikembangkan untuk menunjukkan manusia jalan yang lurus. Petunjuk itu mencakup seluruh aspek kehidupan, bukan hanya hubungan kepada Allah swt. tapi juga sesama manusia dan alam sekitarnya. Islam tidak hanya menginginkan umatnya sejahtera di akhirat, tapi juga di kehidupan dunia.
Untuk memenuhi kebutuhan selama hidup, manusia mengembangkan dimensi ekonomi yang dimilikinya. Aktivitas ekonomi adalah salah satu dimensi sosial manusia yang  berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa.
Konsep ekonomi dalam Islam yang dijabarkan dalam al-Qur’an dan Sunnah adalah konsep tentang tata cara mendapatkan harta / kekayaan dan membelanjakannya menurut hukum dan etika yang terkandung dalam syariat. Pengertian ini bisa dibawa pada kasus individu maupun komunitas sosial dan negara yang lebih kompleks.
Pengembangan ilmu ekonomi Qur’ani pada  dasarnya  mempunyai  peluang  yang  sama  dengan  pengembangan  ilmu-ilmu lain dalam tradisi keilmuan Islam. sayang, sebagai suatu disiplin ilmu, ilmu ekonomi Qur’ani belum berkembang pesat. Padahal kebutuhan  terhadap  ilmu  ini  dirasakan sudah  mendesak,  sehubungan  kegagalan  ilmu  ekonomi  modern  dalam merealisasikan pembangunan dan kemaslahatan masyarakat.[1]
Salah satu perilaku ekonomi Islami adalah larangan praktek riba. Dewasa ini sistem riba yang berbentuk pembungaan uang sudah mengakar sedemikian kuat dalam fondasi ekonomi dunia. Meski sudah berkali-kali terbukti memiliki banyak kelemahan, tetap saja keserakahan pelaku ekonomi dunia membuat riba semakin mendominasi. Lingkaran setan riba terus berputar, semakin menggelembung namun semakin rapuh, siap meledak kapan saja lalu membuat ekonomi dunia luluh lantak.
Dalam makalah sederhana ini, penulis ingin membedah larangan riba dalam al-Qur’an. Ada beberapa masalah yang dipaparkan yakni; definisi riba, riba dalam al-Qur’an dan sunnah, pendapat ulama dan cendikiawan Islam mengenai hukum riba, serta riba dan aplikasi sistem bunga dalam dunia ekonomi di era modern.

B. Pengertian dan Sejarah Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan “azziyadah”, berkembang “an-numuw”, membesar “al-'uluw” dan meningkat “al-irtifa'”. Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan Arab kuno; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan).
Menurut terminologi ilmu fiqih, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba sering juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai"Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syariat, baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.[2]
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.[3]
Jika melihat ayat yang menyinggung riba dalam al-Qur’an, dikaitkan dengan aktivitas kaum Yahudi (QS an-Nisaa’ ayat 161). Saat dibebaskan oleh Nabi Musa as. dari perbudakan Fir’aun di Mesir, bangsa Yahudi mendapat berbagai kenikmatan hidup. Tetapi pada era Nabi Isa as mereka mengalami penderitaan. Salah satu sebabnya adalah karena mereka gemar memakan harta orang lain dengan cara lalim melalui praktek riba—seperti yang disebutkan al-Qur’an—yang dilarang dalam kitab Taurat dan Zabur.[4]
Bangsa Yahudi memang memiliki reputasi yang terkenal dalam bisnis pembungaan uang. Pada masa kini pun praktek pembungaan oleh kelompok etnis Yahudi di AS di luar lembaga perbankan berupa credit union[5] menjadi fenomena yang jamak ditemui.
Tradisi bangsa Yunani juga melarang riba. Aristoteles berpendapat bahwa uang adalah medium perantara yang tergolong anorganik. Karena itu, uang tidak bisa “beranak”. Barangsiapa meminta bayaran dari meminjamkan uang, dinilai sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum alam.
Pada abad pertengahan, orang-orang Yahudi begitu maju dalam berdagang. Ini membuat kecemburuan dari pribumi Eropa dan mendesak mereka keluar dari arena dagang dan membuka usaha pembungaan uang. Hingga pada abad ke-14, jatidiri Yahudi telah bertransformasi dari perdagangan ke industri bunga uang.
Pada mulanya, doktrin gereja mengenai riba tetap konsisten terhadap keharamannya. Seperti yang diisyaratkan oleh al-Qur’an dalam surah an-Nisaa’ ayat 161 bahwa para rasikh (cendikiawan) dan orang yang beriman berpegang kepada al-Kitab. “Kaum beriman tidak boleh mengambil keuntungan dari meminjamkan emas danlogam mulia lainnya,” demikan kata Thomas Aquinas.[6]
Pada masa menjelang abad modern, timbul gerakan untuk menghapus larangan riba. Penghapusan terhadap larangan riba baru terjadi di Inggris tahun 1854, dan Belanda tahun 1857. Pada masa yang sama beberapa negara bagian di AS masih mempertahankan peraturan anti-riba. Hingga pada kelanjutannya, bunga dan riba dimengerti secara berbeda. Riba diterjemahkan sebagai woeker dalam bahasa Belanda, yaitu bunga yang terlalu tinggi persentasinya. Adapun persentase bunga yang masih di bawah ambang kewajaran ditolerir.[7]

C. Riba dalam al-Qur’an
Dalam  Al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surah,  tiga  diantaranya  turun  setelah  Nabi  hijrah  dan  satu  ayat  lagi  ketika  beliau masih  di  Makkah. 
Larangan  riba  yang  terdapat  dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap. Adapun ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan masalah riba diantaranya:
1.                   Surah Ar Ruum: 39

وَمَآءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ وَمَآءَاتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ {39}
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. 30:39)

2.                   Surah Annisa ayat 160-161
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا {160} وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا {161}
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (QS. 4:160)
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS. 4:161)

3.                   Surah Ali Imran ayat 130:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {130}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. 3:130)

4.                   Surah Al-Baqarah 275-276
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275} يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ {276}
Artinya: “Orang-orang  yang  makan  (mengambil)  riba  tidak  dapat  berdiri melainkan  seperti  berdirinya  orang  yang  kemasukan  syaitan  lantaran  (tekanan penyakit  gila).  Keadaan  mereka  yang  demikian  itu,  adalah  disebabkan  mereka berkata  (berpendapat),  sesungguhnya  jual-beli  itu  sama  dengan  riba,  padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa yang datang  kepadanya  peringatan  dari  Allah.  Lalu  ia  berhenti  maka  baginya  adalah apa yang telah berlalu dan urusannya adalah kepada Allah dan barang siapa yang kembali  lagi,  maka  mereka  adalah  penghuni  neraka  yang  kekal  di  dalamnya.  Allah akan menghapus riba dan melipat gandakan sedekah dan Allah tidak suka kepada orang-orang kafir lagi pendosa”.(QS. Al-Baqarah : 275- 276)

5.                   Surah al-Baqarah ayat 278-279:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}
Hai  orang-orang  yang  beriman,  bertakwalah  kepada  Allah  dan tinggalkanlah sisa-sisa riba. jika memang kamu orang yang beriman. Jika kamu tidak  melakukannya, maka  terimalah  pernyataan  perang  dari  Allah  dan  rasul-Nya dan jika kalian bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak pula dizalimi”. QS. Al-Baqarah : (278- 279)
Dari ayat-ayat yang disebutkan sebelumnya, para ulama mengambil kesimpulan bahwa larangan riba yang terdapat dalam Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahir-nya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah. Hal ini terdapat dalam surah ar-Ruum ayat 39.
Tahap kedua, dalam surah an-Nisa ayat 160-161 riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Tahap ketiga, dalam surah Ali Imran ayat 130 riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.
Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah. Inilah tahap keempat, ketika Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jika dicermati asbabun nuzulnya. Sebab turunnya sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur kota mekkah ‘Itab Bin Usaid terhadap bani Tsaqif tentang utang utang yang dilakukan dengan riba sebelum turun ayat pengharaman  riba. Kemudian gubernur mengirimkan surat kepada Rasulullah SAW melaporkan kejadian tersebut. Surat tersebut dijawab setelah turunnya ayat 278-279.[8]
Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah saw Bahwa semua utang mereka, demikian juga piutang (tagihan mereka, yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokok-nya saja. Setelah Fathul Makkah, Rasulullah menunjuk ‘Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai wilayah administrasinya.
Bani Amr bin Umair bin Auf adalah orang yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan aset yang banyak. Karenanya, datanglah Bani Amr untuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari bani Mughirah—seperti sediakala—tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur ‘Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini, Gubernur ‘Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah saw Dan turunlah ayat di atas. Rasulullah saw lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab, ‘Jika mereka ridha atas ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka sampaikanlah peringatan perang kepada mereka.

D. Riba dalam Sunnah
Sebagaimana diketahui oleh umat Islam bahwa salah satu fungsi as-Sunnah adalah menjelaskan hal-hal yang bersifat umum (baik perintah atau larangan dalam al-Qur’an). Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya berasal dari Al-Quran, melainkan juga as-Sunnah. Dalam amanat terakhirnya dalam khutbah pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah saw masih menekankan sikap Islam yang melarang riba.
“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Diantaranya:
Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah bersabda: “Emas untuk emas, perak untuk perak, gandum untuk gandum, anggur untuk anggur, kurma untuk kurma, dan garam untuk garam. Jika (komoditas ini) ditukarkan maka semisal untuk yang semisal, sama untuk yang sama dan dari tangan ke tangan (kontan di tempat). Jika jenis komoditas yang saling ditukarkan berbeda, maka silakan menjual komoditas itu sesuka kalian, jika mereka saling ditukarkan berdasarkan transaksi dari tangan ke tangan.”
Kata-kata semisal (mitslan bi mitslin), yang sama untuk yang sama (sawa’an bi sawa’in) dan serupa untuk yang serupa (‘aynan bi ‘aynin) dapat diartikan sebagai sama dalam kualitas, kuantitas maupun ukurannya.
Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasulullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (HR Bukhari)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri: bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, “ Saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarnya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah saw, “Selepas itu Rasulullah saw terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati!Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR Bukhari)
Diriwayatkan oleh Abdurahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai keinginan kita.” (HR Bukhari)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” (HR Muslim)
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah saw bersabda, “Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai darah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu? Aku diberitahu bahwa laki-laki  yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.” (HR Bukhari)
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membeyarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu sama semuanya.” (HR Muslim)[9]
Diriwayakan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw berkata, “Pada malam perjalanan mi’raj, aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah, di dalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba.”[10]

E. Macam-macam Riba
Dari penjabaran dalam al-Qur’an dan as-Sunnah di atas, riba terbagi menjadi dua jenis, yaitu riba akibat hutang-piutang seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an serta riba jual beli yang disebutkan dalam as-Sunnah:
a.    Riba akibat hutang piutang: (1) Riba Qard, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang beruhutang (murtaqid). (2) Riba Jahiliyah yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena tidak bisa dilunasi saat jatuh tempo.
b.    Riba akibat jual beli: (1) Riba Fadl, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda darn barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi, dalam hadiats Ubadah bin Shamit yang disebut di atas. (2) Riba nasi’ah yaitu penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba ini muncul dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.[11]

F. Pandangan Islam terhadap Riba
Mengingat turunnya ayat tentang larangan riba pada zaman Nabi Muhammad SAW banyak yang berpersepsi bahwa istilah riba hanya ada di  dunia  Islam.  Terkesan seolah-olah  doktrin  riba  adalah  khas  agama  Islam. Banyak orang tidak mengetahui bahwa di agama Kristen pun selama satu milenium riba adalah praktek terlarang dalam pandangan teolog, cendekiawan maupun undang-undang yang berlaku, terutama di negara-negara Eropa.[12] Bahkan filsuf Yunani yang masyhur, Plato (427 – 347 SM) termasuk yang mengutuk praktek pelipatgandaan uang.
Sedikit  atau  banyaknya kadar bunga yang terdefinisikan sebagai riba,  memang  masih  menjadi  perdebatan,  hal  ini dikerenakan  bahwa  riba  Jahiliyah  yang  dengan  jelas  dilarang  adalah riba yang berlipat ganda (ad'afan mudha'afah).  Landasan dari riba  dalam al-Qur'an surat  al-Imran ayat 130:
"Hai  orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  memakan  riba  berlipat  ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan"
Namun bila ditinjau dari keseluruhan ayat-ayat riba, seperti al-Baqarah ayat 275  (mengharamkan  riba),  ayat  276  masih  dalam  surat  al-Baqarah  menyatakan bahwa  Allah  menghapus  keberkahan  riba  dan  demikian  pula  dalam  surat  al-Baqarah  ayat  278-279,  yang  menegaskan  tentang  pelarangan  riba,  meskipun sedikit  pengambilan  bunga  (tambahan)  tersebut  tetap  dilarang,  hal  ini menunjukkan  bahwa  tujuan  ideal  al-Qur'an  adalah  menghapus  riba  sampai membersihkan  unsur-unsurnya.
Dalam  surat  al-Baqarah  ayat  278-279  Allah menjelaskan  secara  tegas  terhadap pelarangan  pelaku riba.[13] Allah  menerintahkan  hamba-Nya  yang  beriman  supaya menjaga  diri  dalam  taqwa  dan  amal perbuatan  supaya  benar-benar  dijalan  Allah. Allah menyuruh manusia meninggalkan sisa  harta  (riba) yang  masih  ada  ditangan  orang. 
Imam Fakhruddin ar-Razi menyebutkan dalam karyanya Tafsir Kabir bahwa riba adalah perampasan terhadap harta orang lain secara tidak sah. Riba juga membuat orang malas bekerja di sektor riil karena uang tanpa usaha. [14] Fenomena ini terjadi sekarang saat suku bunga bank yang cenderung terus meninggi. Suasana ini akan merusak komitmen dana untuk investasi produktif jangka panjang. Karena pemilik dana lebih memilih untuk “mengembang-biakkan” dananya di deposito tanpa harus berisiko rugi. Transaksi spekulatif seperit pasar valuta asing (valas), saham dan komoditas akan marak.[15]
Sebab lainnya adalah eksploitasi ekonomi yang tidak adil. Pemberi piutang (kreditur) akan semakin kaya sedangkan penghutang (kreditur) akan semakin miskin. Golongan yang membutuhkan uang akan menuruti kehendak kreditur walau dengan adanya bunga amat merugikan diri mereka.
Setidaknya ada tiga bahaya yang terdapat pada riba. Pertama, riba membahayakan individu, karena dapat menumbuhkan ego dan mementingkan diri sendiri. Kedua, riba membahayakan masyarakat, karena ia dapat menumbuhkan rasa permusuhan antara anggota masyarakat, menghilangkan rasa kasih sayang, rasa persaudaraan, dan potensi baik yang terdapat pada jiwa manusia. Ketiga, riba membahayakan perekonomian.

H. Pendapat Cendikiawan Modern Tentang Riba
Kalangan modernis melihat pelarangan riba lebih dikarenakan pada aspek moralitas. Mereka cenderung mengesampingkan aspek hukum fiqihnya. Prinsip ini ditegaskan oleh para tokoh muslim semisal Fazlur Rahman (1964)[16], Muhammad Asad (1984)[17], Sa’id an-Najjar (1989), dan Abdul Mun’im an-Namir (1989).[18] Jauh sebelum itu, Syekh Muhammad Abduh (1849 - 1905)  saat menjabat sebagai mufti Mesir juga mentolerir penggunaan bunga bank selama tidak menyulitkan debitur. Ia pernah mengatakan bahwa “bunga yang tidak terlalu tinggi tingkatnya, diperbolehkan”. Tentu saja ia tetap berpendapat bahwa riba itu haram hukumnya.[19]
Bagi golongan modern, yang diharamkan adalah adanya eksploitasi atas orang-orang miskin, bukan pada konsep bunga itu sendiri (legal-form) menurut hukum Islam dalam Fiqih. Apa yang diharamkan adalah tipe peminjaman yang berusaha mengambil untung dari penderitaan orang lain. Selama pinjam-meminjam mengandung unsur bunga namun tidak “mencekik” maka boleh-boleh saja.
I.         Bunga dan Ekonomi Dewasa Ini
Dalam istilah dunia ekonomi, khusunya keuangan (finance) ada istilah yang dikenal dengan derivatif. Derivatif adalah sebuah perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi "acuan pokok" atau juga disebut " produk turunan" (underlying product). Daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu aset yang risiko untung-ruginya tak bisa ditentukan, pelaku pasar lebih memilih membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, aset atau suatu nilai disuatu masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang menjadi acuan pokok.[20] Karakter pasar derivatif ini identik dengan “pembiakan uang” dalam praktek riba atau creating money from nothing.
Bunga adalah derivatif dari hutang. Hutang adalah derivatif dari mata uang. Mata uang adalah derivatif dari uang (yang diback-up oleh emas sebagai underlying asset).
Pasar derivatif adalah bom ekonomi yang bisa meledak sewaktu-waktu. Yang kena imbas transaksi derivatif bukan hanya dua pihak yang terlibat langsung, pelaku ekonomi lainnya— yang bahkan yang tak tahu dengan apa itu transaksi derivatif bisa ikut terjerumus.[21]
Apabila bom ekonomi ini meledak maka berbagai lembaga keuangan akan mengalami default alias tak sanggup membayar hutang derivatifnya. Perlu suntikan dana yang sering dianggap sebagai penyertaan modal untuk menghindari dari default karena rush.[22]
Ketika ini terjadi, pemerintah akan turun tangan untuk menyuntikkan modal. Modal ini diambil dari kas negara. Uang rakyat ini sebagian besar porsinya akan disalurkan kepada nasabah besar yang punya akun beratus milyar. Dengan kata lain, banyak masyarakat biasa  yang dipaksa bergotong royong mengumpulkan duit lewat pajak untuk "membantu" mengganti uang nasabah besar perbankan. Mereka, rakyat biasa yang tidak tahu-menahu tentang perputaran uang ini, harus ikut menanggung beban atas kesalahan manajemen bank yang tidak mereka perbuat.
Contoh kongkrit rapuhnya ekonomi yang berdasarkan transaksi derivatif adalah krisis di AS pada tahun 2008. Krisis yang berkenaan dengan kredit perumahan ini dikenal dengan subprime mortgage ini menyeret negara-negara lain untuk ikut terkena dampak krisis tersebut. Subprime morgage ini adalah salah satu contoh bagaimana derivatif menghancurkan perekonomian suatu negara.
Kasus ini berawal dari kasus yang sangat sederhana: kredit pinjaman rumah. Rumah tersebut memiliki derivatif berupa surat rumah. Surat rumah ini, bisa dipakai sebagai jaminan untuk meminjam uang dari bank. Maka, kita jaminkan surat rumah kita, dan kita mendapatkan cash berupa pinjaman. Siklus transaksi bisa dapat digambarkan sebagai berikut:[23]

Dari gambar di atas, bagaimana Rumah dapat memiliki derivatif berupa surat kepemilikan rumah, yang bisa menghasilkan pinjaman cash dari bank. Permasalahannya adalah, derivatif tersebut tidak berhenti disini. Surat rumah milik nasabah di bank, tentunya berkumpul dengan surat rumah milik orang lain. Kemudian, bank mengelompokkannya, mengumpulkan semua surat berharga tersebut, menjadikannya sekuritas[24]. Sekuritas ini kemudian ditawarkan kepada investor berupa obligasi (surat hutang), sehingga bank bisa mendapatkan cash dari investor (transaksi ini dikenal dengan CDO atau Collateralized Debt Obligation) dan masih bisa beranak-pinak lagi.

Surat kepemilikan itu menghasilkan uang lagi, berupa sekuritas lalu menjadi CDO, kemudian bentuk serupa lainnya. Uang yang dihasilkan dalam sistem ekonomi berkali-kali lipat banyaknya dari nilai satu unit rumah. Perputaran uang yang begitu besar sebenarnya sangatlah rapuh karena hanya dijamin oleh satu rumah sebagai aset. Jika terjadi gagal bayar (kredit macet) inilah yang akan terjadi:
Masalah yang amat menakutkan adalah semua instrumen tersebut sangat bergantung pada cicilan yang dibayar. Jika cicilan bermasalah, maka semua instrumen yang ada akan hancur. Saat aset (rumah) itu bermasalah, akan merembet; cicilan bermasalah, bank bermasalah, sekuritas bermasalah, CDO bermasalah, investasi bermasalah, seluruh ekonomi negara bermasalah. Persis dengan perumpamaan sebuah kasino besar.[25]
Saat krisis ini terjadi, pemerintah AS menyuntikkan dana talangan ke dalam sistem perekonomian dalam jumlah yang amat besar: 700 miliar Dolar. Jumlah dana yang sangat banyak ini disebabkan hanya dari satu masalah yaitu kredit macet.

J. Kesimpulan
Penulis mencoba menyimpulkan dari makalah ini bahwa  riba merupakan  kegiatan  eksploitasi  dan  tidak  memakai  konsep  etika  atau  moralitas. Allah  mengharamkan  transaksi  yang  mengandung  unsur  ribawi,  hal  ini disebabkan  menzalimi  orang  lain  dan  adanya  unsur  ketidakadilan.
Para  ulama  sepakat  dan  menyatakan  dengan  tegas  tentang  pelarangan  riba. Pendapat ini mengacu pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw serta ijma'  para ulama. Transaksi  riba  biasanya  terjadi  dan  ditemui  dalam  transaksi  hutang-piutang  dan  jual  beli.  Hutang  piutang  merupakan  transaksi  yang  rentan  akan  riba, di  mana  kreditor  minta tambahan  kepada  debitor  atas  modal  awal  yang  telah dipinjamkan  sebelumnya.
Riba  sama artinya  dengan  rente  yaitu  pengambilan  tambahan  dari  harta pokok  atau  modal  secara  batil,  karena  sama-sama  mengandung  bunga  (interest) uang, maka hukumnya juga sama.
Sejak  pra-Islam  riba  telah  dikenal  bahkan  sering  dilakukan  dalam  kegiatan perekonomian  sehari-hari.  Pada  masa  Nabi  saw  riba  mulai  dilarang dengan  turunnya ayat-ayat  al-Qur'an  yang  menyatakan  larangan  akan  riba. Larangan ini turun dalam empat tahap.  Tidak hanya  Islam  saja  yang  melarang riba,  tetapi  agama-agama  samawi juga  melarang perilaku riba.
Kalangan Islam  modernis  lebih menekankan aspek moralitas dalam memandang  riba.  Adapun aspek  legal-formalnya (fiqih dan hukum) diposisikan setelah moral.
Islam  mengharamkan  riba  selain  telah  tercantum  secara  tegas  dalam  al-Qur'an  surat  al-Baqarah  ayat  278-279  yang  merupakan  ayat  terakhir  tentang pengharaman  riba,  juga  mengandung  unsur eksploitasi si kaya terhadap si miskin.  Maksud kalimat “tidak  boleh  menganiaya  dan  tidak  (pula)  dianiaya” adalah  “tidak  boleh  melipat  gandakan (ad'afan  mudhaafan)  uang  yang  telah  dihutangkan”. Larangan ini karena dalam cenderung merugikan  orang lain.
Terlepas dari aspek hukum-fiqih pengharaman riba, keberadaannya ini merupakan salah satu faktor yang merusak ekonomi. Bukan hanya Indonesia tapi juga dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abduh, Isa, Wadh’u ar-Ribaa’ fi al-Binaa al-Iqtishady, 1973: Kuwait, Daar al-Buhouts al-‘Ilmiyah.
Amin, Ahmad Riawan, Satanic Finance, 2012, Jakarta: Zaytuna.
Asad, Muhammad, The Message of al-Qur’an, tt, tp.
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, 2006, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby.
Glasse, Cyril, The New Encyclopedia of Islam, 2002, London: Stacey International.
Nasution, Mustafa Edwin, et. al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, 2010, Jakarta: Kencana.
Qureshi, Anwar Iqbal, Islam and the Theory of Interest, 1979, Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an, 2002. Jakarta: Paramadina.
Saeed, Abdullah, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis. 2010. Jakarta: Paramadina.
Jurnal:
Intellectual Discourse, Vol. 10 No. I, 2002, Kuala Lumpur: Al-Ghazali Resource Centre-IIUM.
Review of Middle East Economics and Finance, Volume 1, Issue 1, 2003, Oxfordshire: Taylor & Francis Books and Journals.
Media Digital:
Cambridge Advanced Learner’s Dictionary 3rd Edition (software), 2008, Cambridge University Press.
Laman Internet:


[1] Isa Abduh, Wadh’u ar-Ribaa’ fi al-Binaa al-Iqtishady, 1973: Kuwait, Daar al-Buhouth al-‘Ilmiyah, Hal. 7.
[2] Farhad Nomani, The Problem of Interest and Islamic Banking in a Comparative Perspective: the Case of Egypt, Iran and Pakistan, artikel di jurnal Review of Middle East Economics and Finance, Volume 1, Issue 1, 2003, Oxfordshire: Taylor & Francis Books and Journals, Hal. 38.
[3] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, 2002. Jakarta: Paramadina.Hal 597.
[4] Muhammad Asad, The Message of al-Qur’an, versi digital (pdf), Hal. 200, tt, diunduh dari http://muhammad-asad.com/Message-of-Quran.pdf
[5] Credit Union atau koperasi kredit adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak di bidang simpan pinjam yang dimiliki dan dikelola oleh anggotanya, dan yang bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya sendiri. Biasanya lembaga ini mempunyai bunga yang lebih rendah dari bunga standar bank. Lihat entri “credit union” di kamus Merriam-Webster versi online http://www.merriam-webster.com/dictionary/credit%20union
[6] Thomas Aquinas (1225-1274) adalah seorang filosof dan teolog dari Italia yang sangat berpengaruh pada abad pertengahan. Karya Thomas Aquinas yang terkenal adalah Summa Theologiae (1273), yaitu sebuah buku yang merupakan sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen.
[7] M. Dawam, Ensiklopedi, Hal. 595.
[8] Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, 2006, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Araby, Hal. 49.
[9] Anwar Iqbal Qureshi, Islam and the Theory of Interest, 1979, New Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli. Hal 71.
[10] Abdullah Saeed, Menyoal, Hal. 39.
[11] Wasilul Chair, Riba dalam Perspektif Islam. Artikel diunduh dari situs resmi Fakultas Ekonomi Universitas Madura, Jawa Timur, Hal. 14. Tautan unduhan di  http://fe.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/RIBA-DALAM-PERSPEKTIF-ISLAM.pdf
[12] Muhammad Dawam Rahadjo, Ensiklopedia al-Qur’an, 2002, Jakarta: Paramadina, hal 594.
[13] Mustafa Edwin Nasution dkk, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, 2010, Jakarta: Kencana, Hal. 262.
[14] Anwar Iqbal, Islam and the Theory of Interest, Hal 71.
[15] Umer Chapra, dalam The Future of Economics: an Islamic Perspective, dikutip oleh Murad Hofmann dalam review buku tersebut di jurnal Intellectual Discourse, Vol. 10 No. I, 2002, Kuala Lumpur: Al-Ghazali Resource Centre-IIUM, Hal. 91.
[16] Fazlur Rahman berpendapat bahwa bunga bank berbeda yang dilarang pada masa Rasulullah. Umat muslim sekarang tidak memperhatikan sejarah penyebab pelarangannya. Yang dilarang adalah tindakan eksploitatif dalam riba terhadap debitur. Sedangkan bunga bank sekarang berbeda karena punya fungsi ekonomi. Dikutip dalam: Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis. Paramadina 2010.
[17] Menurut Muhammad Asad: kekejian riba (dalam arti istilah digunakan dalam al –Qur’an dan dalam banyak hadits Rasulullah) terkait dengan keuntungan yang diperoleh melalui pinjaman berbunga yang mengandung eksploitasi atas orang yang berekonomi lemah. Dikutip dalam: Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis. Paramadina 2010

[19] Cyril Glasse, The New Encyclopedia of Islam, entri Riba, 2002, London: Stacey International, Hal. 384.
[20] Lihat peraturan Bank Indonesia mengenai pasar derivatif. Diunduh dari situs resmi Bank Indonesia http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/264814F8-AA89-4B2B-B323-B5F309DDD1D6/2825/pbi73105.pdf
[21] Ahmad Riawan Amin, Satanic Finance, 2012, Jakarta: Zaytuna, Hal. 19.
[22] Rush adalah penarikan dana nasabah dari bank secara besar-besaran hingga bank tidak bisa memenuhi permintaan dana yang begitu besar. Bank akan kehabisan dana (kehabisan likuiditas) dan bangkrut.
[23] Gambar-gambar tentang transaksi derivatif yang ada di makalah ini disadur dari artikel Syauqi Mujahid, Alat Penghancur Ekonomi Terbesar (catatan #3), dalam http://syauqimujahid.wordpress.com/2010/10/26/306/
[24] Sekuritas atau efek adalah dokumen berupa sertifikat fisik atau elektronik yang dapat diperjualbelikan, yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki sebagian kepemilikan atas atau piutang kepada perusahaan. Lihat http://kamusbisnis.com/arti/sekuritas/ . Lihat juga entri “securities” dalam Cambridge Advanced Learner’s Dictionary versi digital, 2008, Cambridge University Press.
[25] Shalahuddin Ahmad mengumpamakan pasar derivatif itu sebagai kasino raksasa yang taruhannya sangat besar. Pasar derivatif taruhannya adalah milyaran dan trilyunan untuk sekali pasang. Hanya ada satu cara agar “bom” tak meledak dan ekonomi runtuh, yaitu dengan terus berjudi agar duit terus berputar. Yang digunakan adalah chip yang nilainya terus meningkat, berputar dalam lingkaran setan saat nilai chip tersebut membumbung nilainya tak realistik. Ketika seorang pejudi keluar taruhan karena merasa sudah tak sanggup membayar, maka terjadilah keributan di kasino tersebut. Semua orang berebutan berlari keluar yang berakibat kerusuhan di kasino dan akan meminta banyak korban. Lihat Shalahuddin Ahmad, Bom Ekonomi yang Siap Meledak Kapan Saja: Implikasi, artikel bagian kedua di blog sosial kompasiana.com di http://m.kompasiana.com/post/read/615735/1

Tidak ada komentar: