Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1787)
Muhammad bin Abdul Wahab terlahir dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid at-Tamimi. Beliau dilahirkan di daerah Unaiyah, Nedj, sebuah kampung yang terletak ± 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi pada tahun 1703 M. Secara garis keturunan, Muhammad bin Abdul Wahab mempunyai potensi yang amat besar untuk menjadi seorang pembaharu Islam di kemudian hari kelak. Bagaimana tidak, seorang Muhammad bin Abdul Wahab kecil dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang pemahaman akan agamanya sangat luas. Tersebutlah dua orang yang cukup berpengaruh dalam peningkatan kadar intelektual beliau. Yang pertama, ayahnya Syekh Abdul Wahab, seorang pemuka agama (ulama) yang sangat terpandang di Nedj dan yang kedua, kakeknya, seorang mufti besar (qadhi) yang juga memiliki pemahaman agama yang tak kalah luas. Sehingga masyarakat dimana beliau tinggal dan dibesarkan banyak menanyakan perihal suatu masalah yang berkaitan dengan urusan keagamaan.
Sebagaimana umumnya seseorang anak yang dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang pemahaman akan agamanya luas, Muhammad bin Abdul Wahab sejak kecil sudah mampu menghafal Al Qur’an dengan baik dan benar sebelum genap berusia 10 tahun. Dalam mendidik serta mengajarkannya, orang tua beliau terlibat aktif secara langsung dalam pendidikannya. Bahkan, dalam satu riwayat menjelaskan bahwa ayahnya, Abdul Wahab merasa amat bangga akan kecerdasan yang dimiliki oleh anaknya yang satu ini. Ia (ayahnya) pernah berkata suatu kali, “Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan yang dimiliki anakku, Muhammad, terutama sekali dalam bidang ilmu Fiqih”.
Ketika dirasa sudah cukup dewasa, Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk pergi menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah al-Mukaramah. Dimana, setelah selesai menunaikan rukun islam yang ke lima ini, beliau menimba ilmu agama disana dan juga di Madinah. Khusus untuk di Madinah, beliau berguru dengan ulama besar, yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim dan Saif an-Nadji dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi. Setelah selesai menimba ilmu dengan ulama tersebut, beliau melanjutkan pengembaraannya dalam rangka meninggkatkan ilmu agama ke Basra selama 4 tahun, lalu ke Basra, dan disinilah ia menikah dengan seorang wanita kaya. Akan tetapi tidak sampai lima tahun, isteri yang begitu amat ia cintai, meninggal dunia. Oleh karena itu ia pindah ke Kurdistan, sebuah kawasan yang kini terletak di Irak di bagian Utara. Setelah itu, ia mencoba untuk mendalami filsafat dan tasawuf di Hamadan dan juga di Esfahan (Iran). Setelah bertahun-tahun ia mengembara ke berbagai kota juga Negara, pada akhirnya ia kembali ke kampung halamanya, Nedj.
Nama Muhammad bin Abdul Wahab tidak bisa dilepaskan dari gerakan Wahabi. Sebuah gerakan yang mengklaim bahwa inti dari ajarannya adalah pemurnian tauhid, penghapusan bid’ah, kurafat dan tahayul. Sebenarnya, nama Wahabi bukanlah berasal dari namanya sendiri atau mereka mendeklarasikan nama tersebut, melainkan nama itu dilebelkan oleh para lawannya yang membenci gerakan tersebut. Adapun Muhammad bin Abdul Wahab beserta para pengikutnya sendiri menyebut diri mereka sebagai gerakan al-Muwahiddun atau al-Muslimun, yang berarti suatu gerakan atau kelompok yang berusaha mengesakan Tuhan semurni-murninya. Disamping itu juga, mereka menyebut dirinya kaum sunni, pengikut mahzab Imam Hambali.
Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang tokoh pembaharu Islam yang kontroversial dimata para ulama pada awal abad ke-19 sampai kini. Gagasan-gagasannya mengenai pemurnian tauhid sering mendapatkan tentangan baik dari golongan ulama klasik maupun kontemporer. Ia secara terang-terangan menyatakan bahwa saat dimana beliau hidup, akidah umat Islam banyak yang sudah tercampur aduk dengan bid’ah, kurafat dan tahayul, atau dalam arti lain sudah tidak sejalan lagi dengan apa yang sesungguhnya diajarkan oleh sunnah Rasul dan ayat-ayat Allah di dalam Al Qur’an.
Awal ia bertekad untuk untuk menabuhkan genderang perang terhadap bid’ah, kurafat dan tahayul ialah dipicu ketika beliau tinggal di Madinah. Ia melihat banyak sekali umat Islam disana yang tidak mengaplikasikan syariat Islam dengan benar dan semestinya, seperti berziarah ke makam Nabi atau juga makam seorang tokoh agama, lalu memohon sesuatu kepada kuburan atau penghuninya, bukan lagi memohon kepada Allah SWT, sebagai Tuhan yang Maha tunggal dan Maha mengabulkan setiap doa dari setiap hamba-hambanya. Dan mulai saat itu juga ia terdorong untuk lebih memperdalam ilmu agama, khususnya dalam bidang tauhid yang murni, yaitu aqidah salafiyah dan mempelajari lebih jauh berbagai buku karya ulama-ulama terdahulu.
Adapun tempat dakwah pertama yang beliau putuskan guna menyampaikan gagasan-gagasannya adalah tempat dimana beliau menuntut ilmu dan bermukim, yaitu Basrah. Akan tetapi, layaknya sebuah gagasan baru yang berusaha menggugat tradisi dan kebiasaan yang berkembang di sana, beliau bersama para pengikut setianya mendapatkan halangan serta rintangan dari masyarakat maupun para ulama yang dituduhnya sesat. Tak beberapa lama pun, beliau diusir dari tempat tersebut dan menuju ke beberapa negeri Islam guna menyampaikan ilmu serta pengalamannya.
Tak sampai disitu pengalaman Muhammad bin Wahab, tatkala ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Najd, beliau berselisih paham dengan ayahnya sendiri, selaku guru pertama dalam hidupnya perihal amalan-amalan yang beliau anggap sesat yang masih beredar diantara para penduduk Najd. Khusus untuk hal yang satu ini, perselisihan antara Muhammad bin Wahab dengan ayahnya berlangsung hingga kematian ayahnya pada tahun 1704 M.
Api dakwah tidak berhenti sampai disitu, beliau mengunjungi seorang Amir (penguasa) Uyainah yang kala itu dipimpin oleh Usman bin Muamar guna menyampaikan ide-ide maupun gagasan beliau perihal pemberantasan bid’ah dan kurafat. Dan tak dinyana, sang Amir menyetujuinya. Adapun dakwah pertama yang beliau jalani adalah pembongkaran makam sahabat yang bernama Zaid bin Khattab, seorang saudara kandung Umar bin Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Zaid bin Khattab adalah sahabat Nabi yang gugur tatkala menumpas gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah. Masalahnya adalah bukan terletak pada sahabat yang gugur itu, melainkan sikap masyarakat setempat yang menjadikan makam tersebut sebagai tempat yang dikeramatkan, dimana mereka bermunajat dan meminta sesuatu kepada kuburan, bukan kepada Allah SWT.
Bukan itu saja, Muhammad bin Wahab juga menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya mengandung unsur kesyirikan. Adapun pergerakan beliau tidak luput dari dukungan penuh yang diberikan oleh pemerintah setempat. Akan tetapi hal itu tak berlangsung lama, berita datang dari Usman bin Muammar bahwa beliau mengundurkan diri menjadi pendukungnya karena beberapa alasan tekanan dari pemerintah pusat. Akhirnya tercapailah satu keputusan bahwa, lagi-lagi Muhammad bin Wahab harus meninggalkan Uyainah sesegera mungkin atau dalam arti lain ia kembali harus merasakan pahit getirnya sebagai orang usiran.
Puncak keberhasilan dakwah seorang Muhammad bin Abdul Wahab adalah tatkala ia mendapatkan sokongan penuh dari penguasa Dariyah yang bernama Muhammad bin Saud (Pendiri kerajaan Arab Saudi). Di negeri inilah, beliau menyampaikan gagasan maupun ide-idenya lebih leluasa tanpa harus takut mendapatkan rintangan. Beliau juga sempat mendirikan Madrasah yang murid-muridnya tersebar dari beberapa tempat. Dalam waktu singkat saja, nama Muhammad bin Abdul Wahab menjadi amat terkenal dan Dariyah menjadi pusat bagi para penuntut ilmu. Ajaran utamanya, tentu saja perihal pemurnian tauhid dari bahaya syirik, bid’ah dan kurafat. Selain berdakwah dengan metode ceramah, mendirikan madrasah dengan kurikulum pendidikan, beliau juga menggunakan media surat menyurat sebagai media dakwahnya.
Muhammad bin Ahmad Wahab menutup usianya pada umur 92 tahun pada tahun 1793 M. Ia menghabiskan usianya di Dariyah guna memberikan dakwah dan ajaran-ajarannya. Jasadnya dikebumikan disana dan namanya akan selalu abadi dikalangan para murid maupun pengikut-pengikut setianya.
Muhammad bin Abdul Wahab terlahir dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid at-Tamimi. Beliau dilahirkan di daerah Unaiyah, Nedj, sebuah kampung yang terletak ± 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi pada tahun 1703 M. Secara garis keturunan, Muhammad bin Abdul Wahab mempunyai potensi yang amat besar untuk menjadi seorang pembaharu Islam di kemudian hari kelak. Bagaimana tidak, seorang Muhammad bin Abdul Wahab kecil dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang pemahaman akan agamanya sangat luas. Tersebutlah dua orang yang cukup berpengaruh dalam peningkatan kadar intelektual beliau. Yang pertama, ayahnya Syekh Abdul Wahab, seorang pemuka agama (ulama) yang sangat terpandang di Nedj dan yang kedua, kakeknya, seorang mufti besar (qadhi) yang juga memiliki pemahaman agama yang tak kalah luas. Sehingga masyarakat dimana beliau tinggal dan dibesarkan banyak menanyakan perihal suatu masalah yang berkaitan dengan urusan keagamaan.
Sebagaimana umumnya seseorang anak yang dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang pemahaman akan agamanya luas, Muhammad bin Abdul Wahab sejak kecil sudah mampu menghafal Al Qur’an dengan baik dan benar sebelum genap berusia 10 tahun. Dalam mendidik serta mengajarkannya, orang tua beliau terlibat aktif secara langsung dalam pendidikannya. Bahkan, dalam satu riwayat menjelaskan bahwa ayahnya, Abdul Wahab merasa amat bangga akan kecerdasan yang dimiliki oleh anaknya yang satu ini. Ia (ayahnya) pernah berkata suatu kali, “Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan yang dimiliki anakku, Muhammad, terutama sekali dalam bidang ilmu Fiqih”.
Ketika dirasa sudah cukup dewasa, Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk pergi menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah al-Mukaramah. Dimana, setelah selesai menunaikan rukun islam yang ke lima ini, beliau menimba ilmu agama disana dan juga di Madinah. Khusus untuk di Madinah, beliau berguru dengan ulama besar, yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim dan Saif an-Nadji dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi. Setelah selesai menimba ilmu dengan ulama tersebut, beliau melanjutkan pengembaraannya dalam rangka meninggkatkan ilmu agama ke Basra selama 4 tahun, lalu ke Basra, dan disinilah ia menikah dengan seorang wanita kaya. Akan tetapi tidak sampai lima tahun, isteri yang begitu amat ia cintai, meninggal dunia. Oleh karena itu ia pindah ke Kurdistan, sebuah kawasan yang kini terletak di Irak di bagian Utara. Setelah itu, ia mencoba untuk mendalami filsafat dan tasawuf di Hamadan dan juga di Esfahan (Iran). Setelah bertahun-tahun ia mengembara ke berbagai kota juga Negara, pada akhirnya ia kembali ke kampung halamanya, Nedj.
Nama Muhammad bin Abdul Wahab tidak bisa dilepaskan dari gerakan Wahabi. Sebuah gerakan yang mengklaim bahwa inti dari ajarannya adalah pemurnian tauhid, penghapusan bid’ah, kurafat dan tahayul. Sebenarnya, nama Wahabi bukanlah berasal dari namanya sendiri atau mereka mendeklarasikan nama tersebut, melainkan nama itu dilebelkan oleh para lawannya yang membenci gerakan tersebut. Adapun Muhammad bin Abdul Wahab beserta para pengikutnya sendiri menyebut diri mereka sebagai gerakan al-Muwahiddun atau al-Muslimun, yang berarti suatu gerakan atau kelompok yang berusaha mengesakan Tuhan semurni-murninya. Disamping itu juga, mereka menyebut dirinya kaum sunni, pengikut mahzab Imam Hambali.
Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang tokoh pembaharu Islam yang kontroversial dimata para ulama pada awal abad ke-19 sampai kini. Gagasan-gagasannya mengenai pemurnian tauhid sering mendapatkan tentangan baik dari golongan ulama klasik maupun kontemporer. Ia secara terang-terangan menyatakan bahwa saat dimana beliau hidup, akidah umat Islam banyak yang sudah tercampur aduk dengan bid’ah, kurafat dan tahayul, atau dalam arti lain sudah tidak sejalan lagi dengan apa yang sesungguhnya diajarkan oleh sunnah Rasul dan ayat-ayat Allah di dalam Al Qur’an.
Awal ia bertekad untuk untuk menabuhkan genderang perang terhadap bid’ah, kurafat dan tahayul ialah dipicu ketika beliau tinggal di Madinah. Ia melihat banyak sekali umat Islam disana yang tidak mengaplikasikan syariat Islam dengan benar dan semestinya, seperti berziarah ke makam Nabi atau juga makam seorang tokoh agama, lalu memohon sesuatu kepada kuburan atau penghuninya, bukan lagi memohon kepada Allah SWT, sebagai Tuhan yang Maha tunggal dan Maha mengabulkan setiap doa dari setiap hamba-hambanya. Dan mulai saat itu juga ia terdorong untuk lebih memperdalam ilmu agama, khususnya dalam bidang tauhid yang murni, yaitu aqidah salafiyah dan mempelajari lebih jauh berbagai buku karya ulama-ulama terdahulu.
Adapun tempat dakwah pertama yang beliau putuskan guna menyampaikan gagasan-gagasannya adalah tempat dimana beliau menuntut ilmu dan bermukim, yaitu Basrah. Akan tetapi, layaknya sebuah gagasan baru yang berusaha menggugat tradisi dan kebiasaan yang berkembang di sana, beliau bersama para pengikut setianya mendapatkan halangan serta rintangan dari masyarakat maupun para ulama yang dituduhnya sesat. Tak beberapa lama pun, beliau diusir dari tempat tersebut dan menuju ke beberapa negeri Islam guna menyampaikan ilmu serta pengalamannya.
Tak sampai disitu pengalaman Muhammad bin Wahab, tatkala ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Najd, beliau berselisih paham dengan ayahnya sendiri, selaku guru pertama dalam hidupnya perihal amalan-amalan yang beliau anggap sesat yang masih beredar diantara para penduduk Najd. Khusus untuk hal yang satu ini, perselisihan antara Muhammad bin Wahab dengan ayahnya berlangsung hingga kematian ayahnya pada tahun 1704 M.
Api dakwah tidak berhenti sampai disitu, beliau mengunjungi seorang Amir (penguasa) Uyainah yang kala itu dipimpin oleh Usman bin Muamar guna menyampaikan ide-ide maupun gagasan beliau perihal pemberantasan bid’ah dan kurafat. Dan tak dinyana, sang Amir menyetujuinya. Adapun dakwah pertama yang beliau jalani adalah pembongkaran makam sahabat yang bernama Zaid bin Khattab, seorang saudara kandung Umar bin Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Zaid bin Khattab adalah sahabat Nabi yang gugur tatkala menumpas gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah. Masalahnya adalah bukan terletak pada sahabat yang gugur itu, melainkan sikap masyarakat setempat yang menjadikan makam tersebut sebagai tempat yang dikeramatkan, dimana mereka bermunajat dan meminta sesuatu kepada kuburan, bukan kepada Allah SWT.
Bukan itu saja, Muhammad bin Wahab juga menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya mengandung unsur kesyirikan. Adapun pergerakan beliau tidak luput dari dukungan penuh yang diberikan oleh pemerintah setempat. Akan tetapi hal itu tak berlangsung lama, berita datang dari Usman bin Muammar bahwa beliau mengundurkan diri menjadi pendukungnya karena beberapa alasan tekanan dari pemerintah pusat. Akhirnya tercapailah satu keputusan bahwa, lagi-lagi Muhammad bin Wahab harus meninggalkan Uyainah sesegera mungkin atau dalam arti lain ia kembali harus merasakan pahit getirnya sebagai orang usiran.
Puncak keberhasilan dakwah seorang Muhammad bin Abdul Wahab adalah tatkala ia mendapatkan sokongan penuh dari penguasa Dariyah yang bernama Muhammad bin Saud (Pendiri kerajaan Arab Saudi). Di negeri inilah, beliau menyampaikan gagasan maupun ide-idenya lebih leluasa tanpa harus takut mendapatkan rintangan. Beliau juga sempat mendirikan Madrasah yang murid-muridnya tersebar dari beberapa tempat. Dalam waktu singkat saja, nama Muhammad bin Abdul Wahab menjadi amat terkenal dan Dariyah menjadi pusat bagi para penuntut ilmu. Ajaran utamanya, tentu saja perihal pemurnian tauhid dari bahaya syirik, bid’ah dan kurafat. Selain berdakwah dengan metode ceramah, mendirikan madrasah dengan kurikulum pendidikan, beliau juga menggunakan media surat menyurat sebagai media dakwahnya.
Muhammad bin Ahmad Wahab menutup usianya pada umur 92 tahun pada tahun 1793 M. Ia menghabiskan usianya di Dariyah guna memberikan dakwah dan ajaran-ajarannya. Jasadnya dikebumikan disana dan namanya akan selalu abadi dikalangan para murid maupun pengikut-pengikut setianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar