Jumat, 19 September 2014

Jodoh dan Kedewasaan Kita

Assalamualaikum wr wb


  Jodoh dan Kedewasaan Kita               
  Ahmad Muhammad Haddad Assyarkhani

  Jodoh adalah problema serius, terutama bagi para
  Muslimah. Kemana pun mereka melangkah,
  pertanyaan-pertanyaan "kreatif" tiada henti
  membayangi. Kapan aku menikah? Aku rindu seorang
  pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita muda
  menggendong bayi, kapan giliranku dipanggil ibu? Aku
  jadi ragu, benarkah aku punya jodoh? Atau
  jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?

  Jodoh serasa ringan diucap, tapi rumit dalam realita.
  Kebanyakan orang ketika berbicara soal jodoh selalu
  bertolak dari sebuah gambaran ideal tentang kehidupan
  rumah tangga. Otomatis dia lalu berpikir serius
  tentang kriteria calon idaman. Nah, di sinilah segala
  sedu-sedan pembicaraan soal jodoh itu berawal. Pada
  mulanya, kriteria calon hanya menjadi 'bagian
  masalah', namun kemudian justru menjadi inti
  permasalahan itu sendiri.

  Di sini orang berlomba mengajukan "standardisasi"
  calon: wajah rupawan, berpendidikan tinggi, wawasan
  luas, orang tua kaya, profesi mapan, latar belakang
  keluarga harmonis, dan tentu saja kualitas keshalihan.

  Ketika ditanya, haruskah seideal itu? Jawabnya ringan,
  "Apa salahnya? Ikhtiar tidak apa, kan?" Memang, ada
  juga jawaban lain, "Saya tidak pernah menuntut. Yang
  penting bagi saya calon yang shalih saja." Sayangnya,
  jawaban itu diucapkan ketika gurat-gurat keriput mulai
  menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekadar
  senyum pun mahal.

  Tidak ada satu pun dalih, bahwa peluang jodoh lebih
  cepat didapatkan oleh mereka yang memiliki sifat
  superior (serbaunggul). Memperhitungkan kriteria calon
  memang sesuai sunnah, namun kriteria tidak pernah
  menjadi penentu sulit atau mudahnya orang menikah.
  Pengalaman riil di lapangan kerap kali
  menjungkirbalikkan prasangka-prasangka kita selama
  ini.

  Jodoh, jika direnungkan, sebenarnya lebih bergantung
  pada kedewasaan kita. Banyak orang merintih pilu,
  menghiba dalam doa, memohon kemurahan Allah, sekaligus
  menuntut keadilan-Nya. Namun prestasi terbaik mereka
  hanya sebatas menuntut, tidak tampak bukti kesungguhan
  untuk menjemput kehidupan rumah tangga.

  Mereka bayangkan kehidupan rumah tangga itu indah,
  bahkan lebih indah dari film-film picisan ala bintang
  India, Sahrukh Khan. Mereka tidak memandang bahwa
  kehidupan keluarga adalah arena perjuangan, penuh liku
  dan ujian, dibutuhkan napas kesabaran panjang, kadang
  kegetiran mampir susul-menyusul. Mereka hanya siap
  menjadi raja atau ratu, tidak pernah menyiapkan diri
  untuk berletih-letih membina keluarga.

  Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan kehidupan
  individu, hanya dalam soal ujian dan beban jauh lebih
  berat. Jika seseorang masih single, lalu dibuai
  penyakit malas dan manja, kehidupan keluarga macam apa
  yang dia impikan?

  Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan generasi
  muda kita menjadi manusia-manusia yang rapuh. Mereka
  sangat pakar dalam memahami sebuah gambar kehidupan
  yang ideal, namun lemah nyali ketika didesak untuk
  meraih keidealan itu dengan pengorbanan. Jika harus
  ideal, mereka menuntut orang lain yang menyediakannya.
  Adapun mereka cukup ongkang-ongkang kaki. Kesulitan
  itu pada akhirnya kita ciptakan sendiri, bukan dari
  siapa pun.
                          
  Bagaimana mungkin Allah akan memberi nikmat jodoh,
  jika kita tidak pernah siap untuk itu? "Tidaklah Allah
  membebani seseorang melainkan sekadar sesuai
  kesanggupannya." (QS Al Baqarah, 286). Di balik
  fenomena "telat nikah" sebenarnya ada bukti-bukti
  kasih sayang Allah SWT.
                                                                   
  Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh itu
  akan datang tanpa harus dirintihkan. Kala itu hati
  seseorang telah bulat utuh, siap menerima realita
  kehidupan rumah tangga, manis atau getirnya, dengan
  lapang dada.

  Jangan pernah lagi bertanya, mana jodohku? Namun
  bertanyalah, sudah dewasakah aku?
                                                                                                  

  "Torehkan hadist ini dalam benak : "Sesungguhnya ketika
seorang suami memperhatikan istrinya dan begitu pula dengan
istrinya, maka Allah memperhatikan mereka dengan penuh rahmat,
manakala suaminya rengkuh telapak tangan istrinya dengan mesra,
berguguranlah dosa-dosa suami istri itu dari sela jemarinya"
(Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar-Rafi' dari Abu Sa'id Alkhudzri r.a) "

  
  Wallahu a'lam bisshawaab

  
   wassalam

Tidak ada komentar: