Al-Bara' ibnul Malik al-Anshari Rhodiallahu anhu
Kamis, 30 November 2006 - Pukul: 18:25 WIB
Al-Bara' merupakan seseorang yang berambut kumal, badannya berdebu, kurus, lemah, dan rabun penglihatannya. Akan tetapi, ia mampu membunuh seratus orang musyrik sendirian dan bertarung dengan gigih meski terpisah dari pasukan lain di tengah kecamuk peperangan. Ia rnerupakan seseorang yang gagah berani, sebagaimana yang diceritakan al-Faruq tentangnya kepada pegawainya di setiap tempat, "Janganlah kalian menjadikannya pemimpin pasukan kaum muslimin karena khawatir membahayakan pasukan disebabkan keberaniannya."
Al-Bara' merupakan seseorang yang berambut kumal, badannya berdebu, kurus, lemah, dan rabun penglihatannya. Akan tetapi, ia mampu membunuh seratus orang musyrik sendirian dan bertarung dengan gigih meski terpisah dari pasukan lain di tengah kecamuk peperangan. Ia rnerupakan seseorang yang gagah berani, sebagaimana yang diceritakan al-Faruq tentangnya kepada pegawainya di setiap tempat, "Janganlah kalian menjadikannya pemimpin pasukan kaum muslimin karena khawatir membahayakan pasukan disebabkan keberaniannya."
Al-Bara' ibnul Malik al-Anshari adalah saudara kandung Anas
ibnul Malik, pelayan (khadim) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam .. Kalau
kita bercerita tentang kisah sepak terjang kepahlawanan Al-Bara' ibnul Malik,
maka sungguh akan panjang ceritanya dan tidak cukup tempatnya. Oleh karena
itu, di sini hanya akan dikisahkan salah satu kisah kepahlawanannya. Itu saja
cukup mewakili kisahnya yang lain.
Kisah ini dimulai sejak detik-detik terakhir wafat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dan kembalinya beliau kepada Allah. Pada saat mulainya beberapa kabilah Arab dalam jumlah besar yang murtad dari agama Allah, sebagaimana ketika mereka dahulu memeluk Islam, sehingga saat itu yang memeluk Islam hanyalah penduduk Mekah, Madinah, Thaif, dan beberapa kelompok yang tersebar di sana-sini yang Allah tetapkan hati mereka terhadap Islam.
Abu Bakar ash-Shiddiq berusaha sekuat tenaga untuk memberangus fitnah besar ini. Abu Bakar mempersiapkan kaum Muhajirin dan Anshar menjadi sebelas batalion pasukan dan menunjuk sebelas orang panglima yang akan membawa bendera. Mereka akan menuju sekitar Jazirah Arab untuk mengajak kembali para murtaddin kepada petunjuk dan kebenaran dan memerangi mereka yang menyeleweng dari Islam.
Di antara para murtaddin yang paling berbahaya dan memiliki banyak pengikut adalah bani Hanifah, kaum Musailamah al-Kadzdzab. Mereka berjumlah sekitar 40 ribu orang. Mereka merupakan pengikut Musailamah yang paling keras penentangannya. Kebanyakan mereka mengikuti Musailamah adalah karena ta'asub (fanatik) kepadanya, tidak beriman sedikit pun, bahkan sebagian mereka berkata, "Aku bersaksi bahwa Musailamah adalah seorang pendusta dan Muhammad adalah seorang yang benar, tapi kedustaan Rabiah (kabilah Musailamah) lebih kami sukai daripada kebenaran bani Mudar (kabilah Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam)."
Musailamah telah mengalahkan batalion pertama kaum muslimin yang dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal dan membunuhnya. Kemudian Abu Bakar mengutus batalion kedua yang dipimpin oleh Khalid bin Walid yang di antara mereka banyak terdiri dari golongan Muhajirin dan Anshar, salah satunya adalah al-Bara' ibnul Malik al-Anshari. Ia adalah seorang yang pemberani.
Kedua pasukan tersebut bertemu di Yamamah, Najed. Pasukan kaum muslimin hanya berjumlah sedikit, sehingga amat sulit untuk melawan pasukan Musailamah al-Kadzdzab. Dan akhirnya kaum muslimin terdesak dan mereka mulai mundur dari pertahanan, sehingga pasukan Musailamah terus mendesak pertahanan sampai perkemahan Khalid bin Walid. Mereka merampas hartanya, bahkan mereka hampir saja membunuh istrinya jika salah seorang mereka tidak melindunginya.
Ketika itu, kaum muslimin berada dalam bahaya besar. Mereka hampir saja dikalahkan oleh pasukan Musailamah al-Kadzdzab, sehingga Islam tidak akan pernah lagi berdiri eksis di bumi ini dan Allah tidak akan lagi disembah di tanah Arab.
Khalid bin Walid kembali membakar semangat pasukannya dan merapikan barisannya dengan memisahkan Muhajirin dari Anshar dan kaum Badui. Ia menyatukan barisan seorang bapak dengan anak-anaknya di bawah bendera yang sama untuk mengetahui posisi masing-masing dan posisi musuh.
Kedua pasukan itu kembali bertemu dalam medan peperangan yang amat dahsyat. Peperangan yang belum pernah dirasakan kaum muslimin sebelumnya. Pertahanan pasukan Musailamah seolah seperti pertahanan gunung-gunung yang tinggi, kuat, bahkan mereka tidak peduli berapa korban yang berjatuhan dari pihak mereka. Pasukan kaum muslimin kembali memperlihatkan ketangguhan para pahlawannya. Pemegang bendera Anshar, Tsabit bin Quais, hampir mati dan ia menggali sendiri lubangnya, sehingga separuh betisnya masuk ke lubang, tetapi ia tetap berperang dcngan kondisi seperti itu, mempertahankan bendera kaumnya hingga akhirnya menemui syahid.
Zaid bin Umar, saudara Umar ibnul Khaththab rhodiallahu 'anhu berseru kepada kaum muslimin, "Wahai semua kaum muslimin, gigitlah kuat-kuat dengan gerahammu, dan lawanlah musuh-musuhmu dan majulah. Wahai manusia, demi Allah, aku tidak akan berkata sepatah kata pun sehabis ini hingga pasukan Musailamah dapat dikalahkan atau dibinasakan Allah. Camkanlah perkataanku ini."
Kemudian ia kembali ke pasukannya dan terus berperang melawan musuh hingga akhirnya ia terbunuh.
Sementara itu, Salim, budak Abi Huzhafah yang memegang panji kaum Muhajirin, orang-orang khawatir ia lemah dan ragu, mereka berkata kepadanya, "Kami amat khawatir musuh datang dari sisimu."
Ia pun berkata, "Jika musuh mendatangi kalian dari hadapanku, sungguh betapa jeleknya pembawa Al-Qur'an ini." Kemudian ia maju menghadang musuh Allah dengan gagah berani hingga akhirnya ia tewas.
Akan tetapi kepahlawanan mereka semua lebih rendah dari ketangguhan al-Bara' ibnul Malik, semoga Allah meridhainya dan mereka semua.
Khalid bin Walid melihat peperangan sedang berkecamuk hebat. Ia melihat al-Bara' ibnul Malik. Ia berkata, "Wahai pemuda Anshar, pimpin mereka."
Lalu ia melihat kaumnya dan berkata, "Wahai semua kaum Anshar, jangan ada seorang pun dari kalian yang kafir dengan kembali ke Madinah, tidak ada Madinah setelah ini bagi kalian. Yang ada hanyalah Allah, kemudian surga." Kemudian ia maju memerangi musyrikin bersama kaumnya, ia mengacaukan barisan musyrikin, menebaskan pedang ke leher musuh-musuh Allah, sehingga membuat getir barisan Musailamah dan pasukannya, hingga akhirnya pasukan Musailamah berlindung di sebuah taman yang kemudian disebut sebagai taman kematian karena banyaknya korban yang tewas di sana pada hari itu.
Taman Kematian itu sangat luas dan mempunyai dinding yang tinggi. Musailamah dan ribuan pasukannya menutup pintu-pintunya. Mereka berlindung dengan dinding yang tinggi itu, kaum muslimin menghujani mereka dengan panah, sehingga satu per satu dari mereka berjatuhan dan tewas. Ketika itu, komandan pasukan muslimin yang gagah berani; al-Bara' ibnul Malik, maju ke depan dan berkata, "Wahai kaumku, letakkanlah aku di atas perisai. Angkat perisai itu dengan panah kalian, lalu lemparkanlah aku dekat pintu taman itu. Boleh jadi aku akan syahid atau aku akan membukakan pintunya untuk kalian."
Dalam sekejap, al-Bara' telah duduk di atas perisai. Dengan badannya yang kurus, ia diangkat dengan puluhan panah, kemudian dilemparkan ke Taman Kematian di antara ribuan pasukan Musailamah. Kemudian ia turun dan terus menebaskan pedangnya ke pasukan Musailamah, sehingga ia mampu membukakan pintu setelah membunuh sepuluh orang pasukan Musailamah, Sedangkan al-Bara' sendiri terkena lebih dari delapan puluh luka, baik oleh panah maupun sabetan pedang.
Kemudian kaum muslimin bergerak cepat memasuki pintu dan membunuh semua murtaddin yang berlindung di balik tembok itu dengan pedang mereka. Dan korban di pihak Musailamah mencapai 80 ribu orang termasuk Musailamah sendiri.
Kemudian al-Bara' ibnul Malik diangkat untuk diobati, bahkan Khalid ibnul Walid mengobatinya selama satu bulan hingga akhirnya Allah menyembuhkan luka-lukanya dan kemenangan diperoleh. Pada kemudian hari, al-Bara' selalu merindukan kejadian seperti yang ia alami ketika di Taman Kematian. Pada peperangan selanjutnya, ia kembali ikut serta karena kerinduannya untuk mewujudkan cita-citanya menyusul Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam. hingga pada hari penaklukan Tustar, di daerah Parsi. Ketika itu, Parsi berlindung dalam salah satu benteng yang tinggi, kaum muslimin dapat mengepung mereka dan mereka menaiki dinding benteng dengan tali. Setelah lama mengepung dan memerangi Parsi, pasukan Parsi meletakkan di dinding benteng rantai-rantai besi yang diikat ujungnya dengan besi bengkok dari baja yang dipanaskan dengan api sehingga lebih panas daripada bara api. Akibatnya, rantai itu tersangkut di tubuh pasukan muslimin.
Salah seorang yang tersangkut dengan besi panas itu adalah Anas ibnul Malik, saudara al-Bara' ibnul Malik. Al-Bara' melihat saudaranya itu, ia langsung meloncat menaiki tembok dan mengambil rantai yang menyangkut di saudaranya itu. Ia berusaha untuk melepaskan besi bengkok panas dari tubuh saudaranya, sehingga tangannya terbakar dan melepuh. Ia tetap memegangnya hingga berhasil melepaskan besi tadi dari tubuh saudaranya. Kemudian ia pun terjatuh setelah tangannya hanya tinggal tulang tanpa daging.
Pada peperangan ini, al-Bara' ibnul Malik memohon kepada Allah agar ia mendapatkan syahid. Dan Allah mengabulkan permohonannya, ketika ia tersungkur tewas dalam keadaan syahid menemui Allah.
Allah memperindah wajah al-Bara' ibnul Malik di surga. Ia senang menemani Nabinya, Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, ia ridha kepadaNya dan Allah meridhainya.
Kisah ini dimulai sejak detik-detik terakhir wafat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dan kembalinya beliau kepada Allah. Pada saat mulainya beberapa kabilah Arab dalam jumlah besar yang murtad dari agama Allah, sebagaimana ketika mereka dahulu memeluk Islam, sehingga saat itu yang memeluk Islam hanyalah penduduk Mekah, Madinah, Thaif, dan beberapa kelompok yang tersebar di sana-sini yang Allah tetapkan hati mereka terhadap Islam.
Abu Bakar ash-Shiddiq berusaha sekuat tenaga untuk memberangus fitnah besar ini. Abu Bakar mempersiapkan kaum Muhajirin dan Anshar menjadi sebelas batalion pasukan dan menunjuk sebelas orang panglima yang akan membawa bendera. Mereka akan menuju sekitar Jazirah Arab untuk mengajak kembali para murtaddin kepada petunjuk dan kebenaran dan memerangi mereka yang menyeleweng dari Islam.
Di antara para murtaddin yang paling berbahaya dan memiliki banyak pengikut adalah bani Hanifah, kaum Musailamah al-Kadzdzab. Mereka berjumlah sekitar 40 ribu orang. Mereka merupakan pengikut Musailamah yang paling keras penentangannya. Kebanyakan mereka mengikuti Musailamah adalah karena ta'asub (fanatik) kepadanya, tidak beriman sedikit pun, bahkan sebagian mereka berkata, "Aku bersaksi bahwa Musailamah adalah seorang pendusta dan Muhammad adalah seorang yang benar, tapi kedustaan Rabiah (kabilah Musailamah) lebih kami sukai daripada kebenaran bani Mudar (kabilah Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam)."
Musailamah telah mengalahkan batalion pertama kaum muslimin yang dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal dan membunuhnya. Kemudian Abu Bakar mengutus batalion kedua yang dipimpin oleh Khalid bin Walid yang di antara mereka banyak terdiri dari golongan Muhajirin dan Anshar, salah satunya adalah al-Bara' ibnul Malik al-Anshari. Ia adalah seorang yang pemberani.
Kedua pasukan tersebut bertemu di Yamamah, Najed. Pasukan kaum muslimin hanya berjumlah sedikit, sehingga amat sulit untuk melawan pasukan Musailamah al-Kadzdzab. Dan akhirnya kaum muslimin terdesak dan mereka mulai mundur dari pertahanan, sehingga pasukan Musailamah terus mendesak pertahanan sampai perkemahan Khalid bin Walid. Mereka merampas hartanya, bahkan mereka hampir saja membunuh istrinya jika salah seorang mereka tidak melindunginya.
Ketika itu, kaum muslimin berada dalam bahaya besar. Mereka hampir saja dikalahkan oleh pasukan Musailamah al-Kadzdzab, sehingga Islam tidak akan pernah lagi berdiri eksis di bumi ini dan Allah tidak akan lagi disembah di tanah Arab.
Khalid bin Walid kembali membakar semangat pasukannya dan merapikan barisannya dengan memisahkan Muhajirin dari Anshar dan kaum Badui. Ia menyatukan barisan seorang bapak dengan anak-anaknya di bawah bendera yang sama untuk mengetahui posisi masing-masing dan posisi musuh.
Kedua pasukan itu kembali bertemu dalam medan peperangan yang amat dahsyat. Peperangan yang belum pernah dirasakan kaum muslimin sebelumnya. Pertahanan pasukan Musailamah seolah seperti pertahanan gunung-gunung yang tinggi, kuat, bahkan mereka tidak peduli berapa korban yang berjatuhan dari pihak mereka. Pasukan kaum muslimin kembali memperlihatkan ketangguhan para pahlawannya. Pemegang bendera Anshar, Tsabit bin Quais, hampir mati dan ia menggali sendiri lubangnya, sehingga separuh betisnya masuk ke lubang, tetapi ia tetap berperang dcngan kondisi seperti itu, mempertahankan bendera kaumnya hingga akhirnya menemui syahid.
Zaid bin Umar, saudara Umar ibnul Khaththab rhodiallahu 'anhu berseru kepada kaum muslimin, "Wahai semua kaum muslimin, gigitlah kuat-kuat dengan gerahammu, dan lawanlah musuh-musuhmu dan majulah. Wahai manusia, demi Allah, aku tidak akan berkata sepatah kata pun sehabis ini hingga pasukan Musailamah dapat dikalahkan atau dibinasakan Allah. Camkanlah perkataanku ini."
Kemudian ia kembali ke pasukannya dan terus berperang melawan musuh hingga akhirnya ia terbunuh.
Sementara itu, Salim, budak Abi Huzhafah yang memegang panji kaum Muhajirin, orang-orang khawatir ia lemah dan ragu, mereka berkata kepadanya, "Kami amat khawatir musuh datang dari sisimu."
Ia pun berkata, "Jika musuh mendatangi kalian dari hadapanku, sungguh betapa jeleknya pembawa Al-Qur'an ini." Kemudian ia maju menghadang musuh Allah dengan gagah berani hingga akhirnya ia tewas.
Akan tetapi kepahlawanan mereka semua lebih rendah dari ketangguhan al-Bara' ibnul Malik, semoga Allah meridhainya dan mereka semua.
Khalid bin Walid melihat peperangan sedang berkecamuk hebat. Ia melihat al-Bara' ibnul Malik. Ia berkata, "Wahai pemuda Anshar, pimpin mereka."
Lalu ia melihat kaumnya dan berkata, "Wahai semua kaum Anshar, jangan ada seorang pun dari kalian yang kafir dengan kembali ke Madinah, tidak ada Madinah setelah ini bagi kalian. Yang ada hanyalah Allah, kemudian surga." Kemudian ia maju memerangi musyrikin bersama kaumnya, ia mengacaukan barisan musyrikin, menebaskan pedang ke leher musuh-musuh Allah, sehingga membuat getir barisan Musailamah dan pasukannya, hingga akhirnya pasukan Musailamah berlindung di sebuah taman yang kemudian disebut sebagai taman kematian karena banyaknya korban yang tewas di sana pada hari itu.
Taman Kematian itu sangat luas dan mempunyai dinding yang tinggi. Musailamah dan ribuan pasukannya menutup pintu-pintunya. Mereka berlindung dengan dinding yang tinggi itu, kaum muslimin menghujani mereka dengan panah, sehingga satu per satu dari mereka berjatuhan dan tewas. Ketika itu, komandan pasukan muslimin yang gagah berani; al-Bara' ibnul Malik, maju ke depan dan berkata, "Wahai kaumku, letakkanlah aku di atas perisai. Angkat perisai itu dengan panah kalian, lalu lemparkanlah aku dekat pintu taman itu. Boleh jadi aku akan syahid atau aku akan membukakan pintunya untuk kalian."
Dalam sekejap, al-Bara' telah duduk di atas perisai. Dengan badannya yang kurus, ia diangkat dengan puluhan panah, kemudian dilemparkan ke Taman Kematian di antara ribuan pasukan Musailamah. Kemudian ia turun dan terus menebaskan pedangnya ke pasukan Musailamah, sehingga ia mampu membukakan pintu setelah membunuh sepuluh orang pasukan Musailamah, Sedangkan al-Bara' sendiri terkena lebih dari delapan puluh luka, baik oleh panah maupun sabetan pedang.
Kemudian kaum muslimin bergerak cepat memasuki pintu dan membunuh semua murtaddin yang berlindung di balik tembok itu dengan pedang mereka. Dan korban di pihak Musailamah mencapai 80 ribu orang termasuk Musailamah sendiri.
Kemudian al-Bara' ibnul Malik diangkat untuk diobati, bahkan Khalid ibnul Walid mengobatinya selama satu bulan hingga akhirnya Allah menyembuhkan luka-lukanya dan kemenangan diperoleh. Pada kemudian hari, al-Bara' selalu merindukan kejadian seperti yang ia alami ketika di Taman Kematian. Pada peperangan selanjutnya, ia kembali ikut serta karena kerinduannya untuk mewujudkan cita-citanya menyusul Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam. hingga pada hari penaklukan Tustar, di daerah Parsi. Ketika itu, Parsi berlindung dalam salah satu benteng yang tinggi, kaum muslimin dapat mengepung mereka dan mereka menaiki dinding benteng dengan tali. Setelah lama mengepung dan memerangi Parsi, pasukan Parsi meletakkan di dinding benteng rantai-rantai besi yang diikat ujungnya dengan besi bengkok dari baja yang dipanaskan dengan api sehingga lebih panas daripada bara api. Akibatnya, rantai itu tersangkut di tubuh pasukan muslimin.
Salah seorang yang tersangkut dengan besi panas itu adalah Anas ibnul Malik, saudara al-Bara' ibnul Malik. Al-Bara' melihat saudaranya itu, ia langsung meloncat menaiki tembok dan mengambil rantai yang menyangkut di saudaranya itu. Ia berusaha untuk melepaskan besi bengkok panas dari tubuh saudaranya, sehingga tangannya terbakar dan melepuh. Ia tetap memegangnya hingga berhasil melepaskan besi tadi dari tubuh saudaranya. Kemudian ia pun terjatuh setelah tangannya hanya tinggal tulang tanpa daging.
Pada peperangan ini, al-Bara' ibnul Malik memohon kepada Allah agar ia mendapatkan syahid. Dan Allah mengabulkan permohonannya, ketika ia tersungkur tewas dalam keadaan syahid menemui Allah.
Allah memperindah wajah al-Bara' ibnul Malik di surga. Ia senang menemani Nabinya, Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam, ia ridha kepadaNya dan Allah meridhainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar