Abu Hanifah An-Nu'man (Peristiwa-Peristiwa
Menakjubkan dalam Hidupnya)
Kamis, 07
Desember 2006 - Pukul: 03:29
WIB
Wajahnya tampan dan ceria, fasih bicaranya dan santun tutur katanya. Tidak terlalu tinggi badannya, tidak juga terlalu pendek sehingga enak dipandang mata. Di samping itu, beliau suka berpenampilan rapi, wajahnya ceria dan gemar memakai wewangian. Ketika muncul di tengah-tengah manusia, mereka bisa menebak kedatangannya dari bau wanginya sebelum melihat orangnya.
Itulah dia Nu'man bin Tsabit bin Al-Marzuban yang dikenal dengan Abu Hanifah, orang pertama yang meletakkan dasar-dasar fikih dan mengajarkan hikmah-hikmah yang baik.
Wajahnya tampan dan ceria, fasih bicaranya dan santun tutur katanya. Tidak terlalu tinggi badannya, tidak juga terlalu pendek sehingga enak dipandang mata. Di samping itu, beliau suka berpenampilan rapi, wajahnya ceria dan gemar memakai wewangian. Ketika muncul di tengah-tengah manusia, mereka bisa menebak kedatangannya dari bau wanginya sebelum melihat orangnya.
Itulah dia Nu'man bin Tsabit bin Al-Marzuban yang dikenal dengan Abu Hanifah, orang pertama yang meletakkan dasar-dasar fikih dan mengajarkan hikmah-hikmah yang baik.
Abu Hanifah masih merasakan hidup sesaat sebelum berakhirnya
khilafah Bani Umayah dan awal kekuasaan Bani Abasiyah. Beliau hidup pada suatu
masa di mana para khalifah dan para gubernur memanjakan para ilmuwan dan ulama
hingga rejeki datang kepada mereka dari segala arah tanpa mereka sadari.
Meski demikian, Abu Hanifah senantiasa menjaga martabat jiwa dan ilmunya dari semua itu. Beliau berusaha konsisten untuk makan dari hasil karyanya sendiri dan menjadikan tangannya selalu di atas (untuk memberi).
Pernah suatu kali Amirul Mukminin Al-Manshur mengundang beliau ke istananya. Sesampainya di istana beliau disambut dengan ramah dan penuh hormat, dipersilakan duduk disamping khalifah Al-Manshur kemudian khalifah bertanya tentang banyak persoalan yang menyangkut agama maupun dunia.
Ketika beliau bermaksud untuk pulang, Amirul Mukminin mengulurkan sebuah wadah yang di dalamnya berisi uang tiga puluh ribu dirham, padahal Al-Manshur dikenal kikir dibanding yang lain. Lalu Abu Hanifah berkata: "Wahai Amirul Mukminin, saya adalah orang asing di Baghdad ini dan tidak memiliki tempat untuk menyimpannya. Maka aku titipkan di Baitul Maal, kelak jika aku memerlukannya, saya akan meminta kepada anda." Maka Al-Manshur mengabulkan permohonannya. Hanya saja, masa hidup Abu Hanifah tidak begitu lama setelah peristiwa itu. Ketika beliau wafat, ternyata didapatkan di rumahnya harta titipan orang-orang yang jauh lebih besar daripada pemberian Amirul Mukminin.
Tatkala Al-Manshur mendengar berita tersebut, dia berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Hanifah. Dia telah mengelabuhi kita, dia tidak ingin mengambil sesuatupun dari kita, dia menolak pemberianku dengan cara yang halus."
Ini tidaklah aneh, karena Abu Hanifah memiliki prinsip bahwa tidak ada yang lebih bersih dan lebih mulia daripada orang yang makan dari hasil tangannya sendiri. Oleh sebab itu, beliau menyediakan waktu khusus untuk berdagang. Beliau berdagang kain dan pakaian, kadang-kadang pulang pergi antar kota-kota di Irak. Di samping itu beliau juga memiliki toko pakaian yang terkenal dan banyak dikunjungi orang. Mereka mendapatkan kejujuran dalam bermuamalah dan amanah dalam memberi dan mengambil. Tidak diragukan lagi bahwa mereka merasakan kesenangan tersendiri dari cara muamalah Abu Hanifah; perniagaan beliau maju berkat karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga banyak keuntungan yang beliau dapat.
Beliau mendapatkan harta dengan cara yang halal lalu membelanjakan di tempat yang semestinya. Telah menjadi kebiasaan beliau, setiap sampai haul (setiap tahun), beliau menghitung laba yang beliau dapat. Lalu menyisihkan sekedarnya untuk mencukupi kebutuhan pribadi, sisanya dibelikan berbagai barang untuk diberikan kepada para penghafal Al-Qur' an, ahli hadits, ahli fikih dan murid-muridnya baik berupa makanan maupun pakaian. Beliau memberikan hal itu sembari berkata:
"Ini adalah laba dari hasil perniagaanku dengan kalian, Allah Subhanahu wa Ta'ala melancarkannya di tanganku. Demi Allah, aku tidak memberi kalian dengan hartaku sendiri, melainkan karunia Allah untuk kalian yang diberikan-Nya melalui aku. Pada tiap-tiap rizki tidak ada suatu kekuatan dari seseorang kecuali dari Allah."
Berita tentang kedermawanan dan kebijaksanaan Abu Hanifah masyhur di belahan negeri timur maupun barat. Terutama di kalangan para sahabat dan orang-orang yang biasa bertemu beliau.
Sebagai contohnya, pernah seorang pelanggannya datang ke toko beliau seraya berkata: "Saya membutuhkan baju "khaz", wahai Abu Hanifah." Beliau menjawab: "Apa warna yang Anda kehendaki?" Dia menjawab: "Yang berwarna ini dan ini." Beliau berkata: "Bersabarlah sampai saya menemukannya dan akan aku berikan kepada Anda."
Sepekan setelahnya beliau berhasil mendapatkan kain sesuai pesanan. Ketika pemesan tersebut lewat, Abu Hanifah berkata: "Saya sudah mendapatkan pesanan Anda." Kemudian beliau menyodorkan pakaian tersebut kepada pemesan dan takjublah pemesan akan kebagusannya lalu bertanya: "Berapa harganya?" Beliau menjawab: "Satu dirham saja." Pemesan itu dengan keheranan bertanya: "Satu dirham?!" Abu Hanifah menjawab: "Benar". Orang itu berkata penasaran: "Saya rasa anda mengolok-olok saya wahai Abu Hanifah," Beliau berkata: "Saya tidak mengolok-olok anda, Saya membeli baju ini bersamaan dengan baju lain seharga duapuluh dinar lebih satu dirham. Satu baju sudah saya jual seharga duapuluh dinar, jadi kurangnya hanya satu dirham. Saya tidak mau mengambil laba dari anda."
Pada kasus yang lain, ada seorang wanita tua yang mencari baju "khaz", kemudian beliau menunjukkan barang yang dimaksud. Lalu wanita itu berkata: "Saya adalah seorang wanita tua yang lemah, tidak pula tahu-menahu soal harga, sedangkan ini hanyalah titipan. Maka juallah baju itu kepada saya dengan harga yang sama ketika Anda membelinya, lalu ambillah sedikit untung darinya, karena saya adalah wanita lemah."
Abu Hanifah berkata: "Saya membeli baju ini dua potong dalam satu harga. Saya sudah menjual yang sepotong hingga kurang empat dirham saja dari modal saya. Belilah baju ini seharga empat dirham karena saya tidak ingin mendapatkan laba dari Anda."
Suatu hari beliau melihat pakaian usang dan lusuh yang dikenakan seorang yang menghadiri majlisnya, temannya. Ketika orang-orang telah bubar dan tidak ada seorangpun selain beliau dan laki-laki itu, beliau berkata: "Angkatlah alas shalat itu lalu ambillah sesuatu dibawahnya." Orang itu mengangkat alas yang dimaksud, ternyata ada uang seribu dirham. Abu Hanifah berkata: "Ambillah dan perbaiki penampilan anda." Orang itu menjawab: "Saya adalah orang yang mampu. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melimpahkan nikmat-Nya untuk saya. Saya tidak membutuhkannya." Abu Hanifah berkata: "Jika Allah telah memberikan nikmat-Nya atas Anda, lantas manakah bekas nikmat yang Anda tampakkan? Belum sampaikah kepada anda sabda Rasulullah:
"Allah suka melihat bekas-bekas nikmat-Nya atas para hamba-Nya." sudah sepantasnya Anda memperbagus penampilan Anda agar tidak menyusahkan teman Anda."
Kedermawanan Abu Hanifah dan perlakuan baiknya kepada orang lain mencapai klimaksnya, hingga setiap kali beliau memberikan belanja kepada keluarganya, beliau juga menginfakkan jumlah yang sama kepada orang-orang yang membutuhkan. Setiap kali beliau memakai baju baru, beliau juga membelikan pakaian untuk orang-orang miskin sebesar harga bajunya. Jika diletakkan makanan di hadapannya, beliau sisihkan separuhnya untuk diberikan kepada orang-orang fakir.
Diriwayatkan pula bahwa beliau telah bertekad setiap kali bersumpah kepada Allah di tengah pembicaraannya, beliau akan bersedekah dengan satu dirham perak. Berikutnya ditingkatkan lagi, beliau berjanji untuk bersedekah satu dinar emas setiap kali bersumpah di tengah pembicaraannya. Namun jika sumpahnya menjadi kenyataan, dia sedekah lagi sebanyak satu dinar.
Salah satu rekan bisnis Abu Hanifah adalah Hafsh bin Abdurrahman. Abu Hanifah biasa menitipkan kain-kain kepadanya untuk dijual ke sebagian kota-kota di Irak. Suatu kali Abu Hanifah memberikan dagangan yang banyak kepada Hafsh sambil memberitahukan bahwa pada barang ini dan itu ada cacatnya. Beliau berkata: "Jika Anda bermaksud untuk menjualnya, maka beritahukanlah cacat barang kepada orang yang hendak membelinya."
Akhirnya Hafsh berhasil menjual seluruh barang, namun dia lupa memberitahukan cacat barang-barang tertentu tersebut. Dia teIah berusaha mengingat-ingat orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, namun hasilnya nihil. Tatkala Abu Hanifah mengetahui duduk perkaranya, sudah tidak memungkinkan untuk diketahui siapa yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, beliau merasa tidak tenang hingga akhirnya beliau sedekahkan seluruh hasil penjualan barang yang dibawa Hafsh.
Di samping itu, Abu Hanifah juga pandai bergaul. Majelisnya dipenuhi orang dan dia bersusah hati bila ada yang tidak hadir meski dia orang yang memusuhinya. Salah seorang sahabatnya mengisahkan:
"Aku mendengar Abdullah bin Mubarak berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri: "Wahai Abu Abdillah alangkah jauhnya Abu Hanifah dari ghibah. Aku tidak pernah mendengarnya menyebutkan satu keburukanpun tentang musuhnya." Sufyan Ats-Tsauri menjawab: "Abu Hanifah cukup berakal untuk sehingga tidak akan membiarkan kebaikannya lenyap karena ghibahnya."
Di antara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang untuk menarik simpatinya. Sering ada orang lewat kemudian ikut duduk di majelisnya tanpa sengaja. Ketika dia hendak beranjak pergi, beliau segera menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Bila dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya, kalau sakit maka akan beliau antarkan dan jika memiliki hutang maka beliau akan membayarkan sehingga terjalinlah hubungan yang baik antara keduanya.
Dengan segala keutamaan yang ada pada Abu Hanifah tersebut, beliau juga termasuk tabi'in yang rajin shaum di siang hari dan shalat tahajud di malam harinya. Akrab dengan Al-Qur'an dan istighfar di waktu sahar. Ketekunannya dalam beribadah dilatarbelakangi oleh persitiwa di mana beliau mendatangi suatu kaum lalu mendengar mereka berkomentar tentang Abu Hanifah: "Orang yang kalian lihat itu tidak pernah tidur malam." Demi mendengar kata-kata itu, Abu Hanifah berkata: "Dugaan orang terhadap diriku ternyata berbeda dengan apa yang aku kerjakan di sisi Allah. Demi Allah jangan pernah orang-orang mengatakan sesuatu yang tidak aku lakukan. Aku tidak akan tidur di atas bantal sejak hari ini hingga bertemu dengan Allah."
Mulai hari itu Abu Hanifah membiasakan seluruh malamnya untuk shalat. Setiap kali malam datang dan kegelapan menyelimuti alam, ketika semua lambung merebahkan diri. Beliau bangkit mengenakan pakaian yang indah, merapikan jenggot dan memakai wewangian. Kemudian berdiri di mihrabnya, mengisi malamnya untuk ketaatan kepada Allah, atau membaca beberapa juz dari Al-Qur'an. Setelah itu, mengangkat kedua tangan dengan sepenuh harap disertai kerendahan hati. Terkadang beliau mengkhatamkan Al-Qur'an penuh dalam satu rekaat, terkadang pula beliau menghabiskan shalat semalam dengan satu ayat saja.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa tatkala shalat malam secara berulang-ulang Abu Hanifah membaca firman Allah: "Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit." (QS Al-Qamar: 46)
Beliau menangis karena takut kepada Allah dengan tangisan yang menyayat hati. Telah diketahui banyak orang bahwa selama lebih dari empat puluh tahun beliau melakukan shalat fajar dengan wudhu shalat Isya'. Hingga wafat beliau pernah mengkhatamkan Al-Qur'an sebanyak 7000 kaIi.
Setiap kali beliau membaca surat Al-Zalzalah, gemetar jasadnya, bergetar hatinya. Dengan memegang jenggotnya, beliau berkata: "Wahai yang membalas sebesar dzarrah kebaikan dengan kebaikan dan sebesar dzarrah keburukan dengan keburukan, selamatkanlah hambaMu Nu'man dari api neraka dan jauhkan ia dari apa-apa yang bisa mendekatkan dengan neraka, masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, ya Arhamarrahimin."
Sumber: Shuwaru min Hayati At-Tabi'in
Meski demikian, Abu Hanifah senantiasa menjaga martabat jiwa dan ilmunya dari semua itu. Beliau berusaha konsisten untuk makan dari hasil karyanya sendiri dan menjadikan tangannya selalu di atas (untuk memberi).
Pernah suatu kali Amirul Mukminin Al-Manshur mengundang beliau ke istananya. Sesampainya di istana beliau disambut dengan ramah dan penuh hormat, dipersilakan duduk disamping khalifah Al-Manshur kemudian khalifah bertanya tentang banyak persoalan yang menyangkut agama maupun dunia.
Ketika beliau bermaksud untuk pulang, Amirul Mukminin mengulurkan sebuah wadah yang di dalamnya berisi uang tiga puluh ribu dirham, padahal Al-Manshur dikenal kikir dibanding yang lain. Lalu Abu Hanifah berkata: "Wahai Amirul Mukminin, saya adalah orang asing di Baghdad ini dan tidak memiliki tempat untuk menyimpannya. Maka aku titipkan di Baitul Maal, kelak jika aku memerlukannya, saya akan meminta kepada anda." Maka Al-Manshur mengabulkan permohonannya. Hanya saja, masa hidup Abu Hanifah tidak begitu lama setelah peristiwa itu. Ketika beliau wafat, ternyata didapatkan di rumahnya harta titipan orang-orang yang jauh lebih besar daripada pemberian Amirul Mukminin.
Tatkala Al-Manshur mendengar berita tersebut, dia berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Hanifah. Dia telah mengelabuhi kita, dia tidak ingin mengambil sesuatupun dari kita, dia menolak pemberianku dengan cara yang halus."
Ini tidaklah aneh, karena Abu Hanifah memiliki prinsip bahwa tidak ada yang lebih bersih dan lebih mulia daripada orang yang makan dari hasil tangannya sendiri. Oleh sebab itu, beliau menyediakan waktu khusus untuk berdagang. Beliau berdagang kain dan pakaian, kadang-kadang pulang pergi antar kota-kota di Irak. Di samping itu beliau juga memiliki toko pakaian yang terkenal dan banyak dikunjungi orang. Mereka mendapatkan kejujuran dalam bermuamalah dan amanah dalam memberi dan mengambil. Tidak diragukan lagi bahwa mereka merasakan kesenangan tersendiri dari cara muamalah Abu Hanifah; perniagaan beliau maju berkat karunia Allah Subhanahu wa Ta'ala hingga banyak keuntungan yang beliau dapat.
Beliau mendapatkan harta dengan cara yang halal lalu membelanjakan di tempat yang semestinya. Telah menjadi kebiasaan beliau, setiap sampai haul (setiap tahun), beliau menghitung laba yang beliau dapat. Lalu menyisihkan sekedarnya untuk mencukupi kebutuhan pribadi, sisanya dibelikan berbagai barang untuk diberikan kepada para penghafal Al-Qur' an, ahli hadits, ahli fikih dan murid-muridnya baik berupa makanan maupun pakaian. Beliau memberikan hal itu sembari berkata:
"Ini adalah laba dari hasil perniagaanku dengan kalian, Allah Subhanahu wa Ta'ala melancarkannya di tanganku. Demi Allah, aku tidak memberi kalian dengan hartaku sendiri, melainkan karunia Allah untuk kalian yang diberikan-Nya melalui aku. Pada tiap-tiap rizki tidak ada suatu kekuatan dari seseorang kecuali dari Allah."
Berita tentang kedermawanan dan kebijaksanaan Abu Hanifah masyhur di belahan negeri timur maupun barat. Terutama di kalangan para sahabat dan orang-orang yang biasa bertemu beliau.
Sebagai contohnya, pernah seorang pelanggannya datang ke toko beliau seraya berkata: "Saya membutuhkan baju "khaz", wahai Abu Hanifah." Beliau menjawab: "Apa warna yang Anda kehendaki?" Dia menjawab: "Yang berwarna ini dan ini." Beliau berkata: "Bersabarlah sampai saya menemukannya dan akan aku berikan kepada Anda."
Sepekan setelahnya beliau berhasil mendapatkan kain sesuai pesanan. Ketika pemesan tersebut lewat, Abu Hanifah berkata: "Saya sudah mendapatkan pesanan Anda." Kemudian beliau menyodorkan pakaian tersebut kepada pemesan dan takjublah pemesan akan kebagusannya lalu bertanya: "Berapa harganya?" Beliau menjawab: "Satu dirham saja." Pemesan itu dengan keheranan bertanya: "Satu dirham?!" Abu Hanifah menjawab: "Benar". Orang itu berkata penasaran: "Saya rasa anda mengolok-olok saya wahai Abu Hanifah," Beliau berkata: "Saya tidak mengolok-olok anda, Saya membeli baju ini bersamaan dengan baju lain seharga duapuluh dinar lebih satu dirham. Satu baju sudah saya jual seharga duapuluh dinar, jadi kurangnya hanya satu dirham. Saya tidak mau mengambil laba dari anda."
Pada kasus yang lain, ada seorang wanita tua yang mencari baju "khaz", kemudian beliau menunjukkan barang yang dimaksud. Lalu wanita itu berkata: "Saya adalah seorang wanita tua yang lemah, tidak pula tahu-menahu soal harga, sedangkan ini hanyalah titipan. Maka juallah baju itu kepada saya dengan harga yang sama ketika Anda membelinya, lalu ambillah sedikit untung darinya, karena saya adalah wanita lemah."
Abu Hanifah berkata: "Saya membeli baju ini dua potong dalam satu harga. Saya sudah menjual yang sepotong hingga kurang empat dirham saja dari modal saya. Belilah baju ini seharga empat dirham karena saya tidak ingin mendapatkan laba dari Anda."
Suatu hari beliau melihat pakaian usang dan lusuh yang dikenakan seorang yang menghadiri majlisnya, temannya. Ketika orang-orang telah bubar dan tidak ada seorangpun selain beliau dan laki-laki itu, beliau berkata: "Angkatlah alas shalat itu lalu ambillah sesuatu dibawahnya." Orang itu mengangkat alas yang dimaksud, ternyata ada uang seribu dirham. Abu Hanifah berkata: "Ambillah dan perbaiki penampilan anda." Orang itu menjawab: "Saya adalah orang yang mampu. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melimpahkan nikmat-Nya untuk saya. Saya tidak membutuhkannya." Abu Hanifah berkata: "Jika Allah telah memberikan nikmat-Nya atas Anda, lantas manakah bekas nikmat yang Anda tampakkan? Belum sampaikah kepada anda sabda Rasulullah:
"Allah suka melihat bekas-bekas nikmat-Nya atas para hamba-Nya." sudah sepantasnya Anda memperbagus penampilan Anda agar tidak menyusahkan teman Anda."
Kedermawanan Abu Hanifah dan perlakuan baiknya kepada orang lain mencapai klimaksnya, hingga setiap kali beliau memberikan belanja kepada keluarganya, beliau juga menginfakkan jumlah yang sama kepada orang-orang yang membutuhkan. Setiap kali beliau memakai baju baru, beliau juga membelikan pakaian untuk orang-orang miskin sebesar harga bajunya. Jika diletakkan makanan di hadapannya, beliau sisihkan separuhnya untuk diberikan kepada orang-orang fakir.
Diriwayatkan pula bahwa beliau telah bertekad setiap kali bersumpah kepada Allah di tengah pembicaraannya, beliau akan bersedekah dengan satu dirham perak. Berikutnya ditingkatkan lagi, beliau berjanji untuk bersedekah satu dinar emas setiap kali bersumpah di tengah pembicaraannya. Namun jika sumpahnya menjadi kenyataan, dia sedekah lagi sebanyak satu dinar.
Salah satu rekan bisnis Abu Hanifah adalah Hafsh bin Abdurrahman. Abu Hanifah biasa menitipkan kain-kain kepadanya untuk dijual ke sebagian kota-kota di Irak. Suatu kali Abu Hanifah memberikan dagangan yang banyak kepada Hafsh sambil memberitahukan bahwa pada barang ini dan itu ada cacatnya. Beliau berkata: "Jika Anda bermaksud untuk menjualnya, maka beritahukanlah cacat barang kepada orang yang hendak membelinya."
Akhirnya Hafsh berhasil menjual seluruh barang, namun dia lupa memberitahukan cacat barang-barang tertentu tersebut. Dia teIah berusaha mengingat-ingat orang yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, namun hasilnya nihil. Tatkala Abu Hanifah mengetahui duduk perkaranya, sudah tidak memungkinkan untuk diketahui siapa yang telah membeli barang yang ada cacatnya tersebut, beliau merasa tidak tenang hingga akhirnya beliau sedekahkan seluruh hasil penjualan barang yang dibawa Hafsh.
Di samping itu, Abu Hanifah juga pandai bergaul. Majelisnya dipenuhi orang dan dia bersusah hati bila ada yang tidak hadir meski dia orang yang memusuhinya. Salah seorang sahabatnya mengisahkan:
"Aku mendengar Abdullah bin Mubarak berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri: "Wahai Abu Abdillah alangkah jauhnya Abu Hanifah dari ghibah. Aku tidak pernah mendengarnya menyebutkan satu keburukanpun tentang musuhnya." Sufyan Ats-Tsauri menjawab: "Abu Hanifah cukup berakal untuk sehingga tidak akan membiarkan kebaikannya lenyap karena ghibahnya."
Di antara kegemaran Abu Hanifah adalah mencukupi kebutuhan orang untuk menarik simpatinya. Sering ada orang lewat kemudian ikut duduk di majelisnya tanpa sengaja. Ketika dia hendak beranjak pergi, beliau segera menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Bila dia punya kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya, kalau sakit maka akan beliau antarkan dan jika memiliki hutang maka beliau akan membayarkan sehingga terjalinlah hubungan yang baik antara keduanya.
Dengan segala keutamaan yang ada pada Abu Hanifah tersebut, beliau juga termasuk tabi'in yang rajin shaum di siang hari dan shalat tahajud di malam harinya. Akrab dengan Al-Qur'an dan istighfar di waktu sahar. Ketekunannya dalam beribadah dilatarbelakangi oleh persitiwa di mana beliau mendatangi suatu kaum lalu mendengar mereka berkomentar tentang Abu Hanifah: "Orang yang kalian lihat itu tidak pernah tidur malam." Demi mendengar kata-kata itu, Abu Hanifah berkata: "Dugaan orang terhadap diriku ternyata berbeda dengan apa yang aku kerjakan di sisi Allah. Demi Allah jangan pernah orang-orang mengatakan sesuatu yang tidak aku lakukan. Aku tidak akan tidur di atas bantal sejak hari ini hingga bertemu dengan Allah."
Mulai hari itu Abu Hanifah membiasakan seluruh malamnya untuk shalat. Setiap kali malam datang dan kegelapan menyelimuti alam, ketika semua lambung merebahkan diri. Beliau bangkit mengenakan pakaian yang indah, merapikan jenggot dan memakai wewangian. Kemudian berdiri di mihrabnya, mengisi malamnya untuk ketaatan kepada Allah, atau membaca beberapa juz dari Al-Qur'an. Setelah itu, mengangkat kedua tangan dengan sepenuh harap disertai kerendahan hati. Terkadang beliau mengkhatamkan Al-Qur'an penuh dalam satu rekaat, terkadang pula beliau menghabiskan shalat semalam dengan satu ayat saja.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa tatkala shalat malam secara berulang-ulang Abu Hanifah membaca firman Allah: "Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit." (QS Al-Qamar: 46)
Beliau menangis karena takut kepada Allah dengan tangisan yang menyayat hati. Telah diketahui banyak orang bahwa selama lebih dari empat puluh tahun beliau melakukan shalat fajar dengan wudhu shalat Isya'. Hingga wafat beliau pernah mengkhatamkan Al-Qur'an sebanyak 7000 kaIi.
Setiap kali beliau membaca surat Al-Zalzalah, gemetar jasadnya, bergetar hatinya. Dengan memegang jenggotnya, beliau berkata: "Wahai yang membalas sebesar dzarrah kebaikan dengan kebaikan dan sebesar dzarrah keburukan dengan keburukan, selamatkanlah hambaMu Nu'man dari api neraka dan jauhkan ia dari apa-apa yang bisa mendekatkan dengan neraka, masukkanlah ia ke dalam luasnya rahmat-Mu, ya Arhamarrahimin."
Sumber: Shuwaru min Hayati At-Tabi'in
Tidak ada komentar:
Posting Komentar