Al-Ikhwan.net - Ada beberapa hal yang harus kita perhatikan pada saat berdo’a ataupun pada saat berdzikir. Inti dari adab-adab ini adalah bahwa adab dzikir dan do’a harus memiliki dalil yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an atau dari Al-Hadits, bukan berdasarkan petunjuk hawa nafsu.
“Sekali-kali tidak! Demi Tuhanmu!
Mereka belum beriman, sampai mereka menjadikan kamu (wahai Muhammad) sebagai
hakim bagi semua urusan mereka, lalu tidak ada keberatan sedikitpun di dalam
hati mereka atas putusanmu dan mereka pasrah dengan hati yang lapang.” (QS
An-Nisa’, 4/65)
“Dan apa-apa yang diberikan oleh
Rasul maka ambillah dan apa-apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah, dan
takutlah kepada ALLAH! Sesungguhnya ALLAH amat keras siksanya.” (QS Al-Hasyr,
59/7)
“Dan hendaklah merasa takut orang
yang menyelisihi perintah Rasul akan ditimpa suatu musibah atau adzab yang
pedih.” (QS An-Nur, 24/63)
Berikut ini adalah beberapa hal
tersebut:
1. Doa dan dzikir yang paling utama
adalah membaca Al-Qur’an. Berkata Syaikh Al-Abubakar Jazairi : “Al-Qur’an
adalah dzikir yang paling utama, karena ia adalah kata-kata ALLAH SWT dan ia
adalah doa & dzikir termulia yang hanya diberikan melalui lisan para
Rasul.” [1]
2. Hendaklah memulai berdoa dengan
menghafal doa yang ada di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.
Berkata Syaikhul Islam: “Doa dan dzikir adalah ibadah, dan syarat ibadah adalah
ittiba’ (mengikuti) Nabi SAW, bukan mengikuti hawa nafsu & bukan pula
mengada-ngada membuat sesuatu yang tidak ada contohnya dari nabi SAW [2].”
Lebih lanjut Syaikhul Islam berkata: “Diantara perbuatan tercela ialah orang
yang menggunakan hizib dan wirid yang tidak ada contohnya dari Nabi SAW,
sekalipun itu berasal dari gurunya, sementara ia justru meninggalkan dzikir dan
wirid yang diajarkan oleh Nabinya SAW, yang merupakan hujjah ALLAH SWT atas
hamba-hamba-NYA [3].”
3. Hendaklah orang yang membaca
doa/dzikir memahami maknanya dan wajib melaksanakan hukum ALLAH SWT setelah
berdzikir tsb. Berkata Imam Ibnu Qayyim: “Dzikir yang paling baik adalah doa
dan dzikir yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan
dengan perbuatan, yaitu yang dicontohkan oleh RasuluLLAH SAW dan orang yang
membacanya memahami maknanya dan apa yang terkandung di dalamnya [4].”
4. Tidak boleh disertai oleh sikap
berlebih-lebihan, pamer (riya’), sikap khusyu yang dibuat-buat dsb. Imam Ibnul
Jauzy berkata: “Iblis banyak menyesatkan kebanyakan orang awam yang menghadiri
majlis dzikir.. Aku mengetahui banyak sekali yang hadir dalam majlis tsb
bertahun-tahun mereka mengikuti dzikir, tetapi keadaan dan tingkahlaku mereka
tidak berubah sedikitpun, mereka tetap saja berjual-beli dengan bunga (riba),
menipu dalam bekerja, tidak mengetahui hukum-hukum dalam shalat, melakukan
ghibbah.. Mereka adalah orang-orang yang terjebak tipu-daya syaithan, aku
melihat mereka menyangka bahwa tangisan mereka di majlis dzikir/doa tsb bisa
menghapus dosa-dosa mereka?! Sungguh mereka telah tertipu [5].”
5. Menghindari berkumpul dalam satu
suara dengan pimpinan satu orang, atau menggunakan gaya dan cara ataupun
waktu-waktu yang ditentukan tanpa didasari dalil. Seorang sahabat AbduLLAH bin
Mas’ud ra dalam atsar yang shahih pernah melihat suatu kaum berkumpul di mesjid
membuat beberapa kelompok, tiap kelompok ada yang memimpin dan di tangan mereka
ada biji-bijian lalu sang pemimpin berkata: “Bertakbirlah 100 kali!” maka
mereka pun melakukannya, lalu berkata lagi sang pemimpin: “Bertahlillah 100
kali!” Maka merekapun melakukannya, lalu ia pun berkata lagi: “Bertasbihlah 100
kali!” Maka mereka pun menurutinya. Lalu Ibnu Mas’ud mendatanginya dan berkata:
“Apa yang kalian lakukan?” Jawab mereka: “Wahai Abu AbduRRAHMAN, batu-batu
kerikil ini kami gunakan untuk menghitung tahlil dan tasbih kami.” Kata Ibnu
Mas’ud: “Celakalah wahai ummat Muhammad, alangkah cepatnya kerusakan kalian,
para sahabat masih banyak yang hidup, pakaian mereka belum lagi rusak dan
bejana mereka belum lagi hancur apakah kalian merasa lebih baik dari agama
mereka?” Maka jawab mereka: “Demi ALLAH, wahai Abu AbduRRAHMAN kami hanya
menginginkan kebaikan.” Jawab Ibnu Mas’ud: “Berapa banyak orang yang
menginginkan kebaikan tapi tidak tahu caranya [6].” Imam Asy-Syatibi berkata
bahwa orang yang mengadakan dzikir berjama’ah dengan satu suara dan berkumpul
pada waktu-waktu tertentu maka semua itu tidak benar dan tidak ada dalilnya
[7].
6. Tidak boleh mengeraskan suara
ketika berdzikir dan hendaklah dengan suara yang pelan dan lebih disunnahkan di
tempat yang tersembunyi. Dalam Al-Qur’an diperintahkan kita berdoa dengan suara
pelan (QS Al-A’raf, 7/55) dan dalam hadits shahih disebutkan bahwa salah satu
yang akan dinaungi di Hari Qiyamah diantaranya adalah: “… seorang yang
berdzikir kepada ALLAH ketika sendirian lalu berlinangan airmatanya.. [8]”
7. Tidak boleh berdzikir ketika
khatib sedang berkhutbah (bagi laki-laki), saat buang hajat dan saat
berhubungan suami-istri, saat membaca dalam shalat dan saat sangat mengantuk
[9].
8. Hendaklah memulai dan mengakhiri
doa dengan hamdalah dan lalu shalawat [10] yang diajarkan oleh Al-Qur’an atau
Sunnah Nabi SAW.
9. Boleh mengangkat kedua tangan
[11] tapi tanpa mengusapkannya ke muka [12], saat ber-istighfar disunnahkan
memberi isyarat dengan satu jari [13], saat istisqa’ disunnahkan mengangkat
tangan tinggi-tinggi tetapi dengan membalikkan telapak tangan [14].
10. Tidak benar menentukan
batasan-batasan jumlah bilangan tanpa dasar hadits yang shahih, demikian pula
mengambil potongan-potongan ayat atau huruf-huruf dalam Al-Qur’an, karena jika
hal tersebut baik niscaya telah dilakukan oleh Nabi SAW [15].
ALLAHu a’lamu bish Shawab…
REFERENSI:
[1] Aysaru Tafsir, II/28
[2] Majmu Fatawa, XXII/510-511
[3] Ibid, XXII/525
[4] Al-Fawa’id, hal. 247; lih. Juga Fawa’idul Fawa’id oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, hal. 309
[5] Al-Muntaqa min Talbisu Iblis, Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, hal. 542
[6] Sunan Ad-Darimi I/68-69, di-shahih-kan oleh Al-Albani dlm Ash-Shahihah, no. 2005
[7] Al-I’tisham, I/318-321
[8] HR Bukhari & Muslim, lih. Riyadhus Shalihin hadits no. 376
[9] Shahih dan Dha’if Kitab Al-Adzkar, hal. 58
[10] Ad-Da’a wa Ad-Dawa’, Ibnul Qayyim hal. 14-21
[11] Shahih Abi Daud, Al-Albani , I/279; Fathul Bari’ XI/143
[12] Demikian pula pendapat Imam An-Nawawi, ulama besar madzhab Syafi’i dalam kitabnya Al-Adzkar
[13] Shahih Muslim, hadits no. 874
[14] HR Bukhari no. & Muslim no. 896
[15] Al-I’tisham, I/318-319
[2] Majmu Fatawa, XXII/510-511
[3] Ibid, XXII/525
[4] Al-Fawa’id, hal. 247; lih. Juga Fawa’idul Fawa’id oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, hal. 309
[5] Al-Muntaqa min Talbisu Iblis, Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, hal. 542
[6] Sunan Ad-Darimi I/68-69, di-shahih-kan oleh Al-Albani dlm Ash-Shahihah, no. 2005
[7] Al-I’tisham, I/318-321
[8] HR Bukhari & Muslim, lih. Riyadhus Shalihin hadits no. 376
[9] Shahih dan Dha’if Kitab Al-Adzkar, hal. 58
[10] Ad-Da’a wa Ad-Dawa’, Ibnul Qayyim hal. 14-21
[11] Shahih Abi Daud, Al-Albani , I/279; Fathul Bari’ XI/143
[12] Demikian pula pendapat Imam An-Nawawi, ulama besar madzhab Syafi’i dalam kitabnya Al-Adzkar
[13] Shahih Muslim, hadits no. 874
[14] HR Bukhari no. & Muslim no. 896
[15] Al-I’tisham, I/318-319
Tidak ada komentar:
Posting Komentar