Assalamu'alaikum
wr. wb.
Dalam
bermasyarakat, sering kita temui perbedaan pendapat ustadz. Tidak terkecuali di
tempat saya. Misalnya dalam shalat, menjaharkan basmalah atau tidak, memakai
qunut atau tidak, dan lain-lain. Kadang masalah ini bisa menjadi masalah yang
besar jika tidak secara arif menanggapi. Masing-masing pihak saling
mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri. Karena masing-masing mempunyai
dalil sendiri-sendiri yang sama-sama kuat. Sering saya dengar bahwa ini adalah
masalah khilafiyah, tidak perlu dibesar-besarkan. Yang ingin saya tanyakan
ustadz:
1. Apa
yang dimaksud dengan khilafiyah?
2. Apa
saja yang termasuk masalah-masalah khilafiyah ini?
3.
Bagaimana cara kita bersikat dalam menghadapi masalah-masalah khilafiyah yang
ada?
Demikian
ustadz yang ingin saya tanyakan. Atas jawabannya diucapkan. Jazakumullah
khoiron katsiro.
Wassalamu'alaikum
wr. wb.
Adi
Yahya
Jawaban
Assalamu
'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah khilafiyah
adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama. Terkadang
ketidaksepakatan itu hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya
perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas,
yaitu antara halal dan haram.
Munculnya
perbedaan pendapat tentang hukum suatu masalah sebenarnya hak para ulama saja.
Sebab mereka itulah yang punya alat dan otoritas untuk menyimpulkan sebuah
hukum agama. Kita sebagai orang awam, tentu tidak punya perangkat dan alatnya,
juga tidak punya spesifikasi yang minimal untuk melakukan pengambilan
kesimpulan hukum.
Sayangnya,
seringkali perbedaan pendapat itu justru dilakukan oleh mereka yang tidak punya
kapasitas keilmuwan khusus dalam istimbath hukum.
Seringkali
orang yang tidak mengerti ilmu kecuali hanya sekedar bertaklid kepada seorang
tokoh, tiba-tiba dengan beraninya mencaci-maki para ulama sambil menuduh mereka
ahli bid'ah. Padahal dia sendiri tidak paham apa yang sedang dikatakannya.
Tidak
jarang orang-orang awam itu hanya punya ilmu sebatas apa yang gurunya
sampaikan, akan tetapi seolah-olah dia berlagak seperti ulama betulan, sambil
menyalahkan semua hal yang sekiranya tidak sama dengan pendapat gurunya. Orang
seperti ini tidak lain adalah muqallid yang jahil serta tidak
punya tata adab sebagai ulama.
Bahkan
perlu diketahui, tidak semua orang yang pernah belajar agama, memiliki
kapasitas di bidang menarik kesimpulan hukum. Orang yang sekedar mempelajari
ilmu tafsir misalnya, tentu punya ilmu yang luas dalam masalah makna ayat-ayat
Al-Quran, namun bukan berarti dia punya kemampuan dalam menarik kesimpulan
hukum. Demikian juga orang yang mendalami ilmu kritik hadits, tentu piawai
untuk menilai keshahihan suatu hadits, akan tetapi kepiawaiannya itu bukan pada
bidang metode pengambilan kesimpulan hukum. Apalagi orang yang belajar sastra
arab dan bidang tata bahasa (ilmu nahwu), tentu bukan bidangnya bila harus
menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Ilmu dan
metodologi dalam menarik kesimpulan hukum itu adalah ilmu yang dipelajari oleh
mereka yang belajar di fakultas syariah. Dengan berbagai disiplin ilmu
pendukung seperti ilmu fiqih sendiri sebagai dasar, ilmu ushul fiqih sebagai
metodologi, ilmu mantiq sebagai logika, ilmu qawa'id fiqhiyah sebagai
penunjang. Selain itu mereka pun harus memahami ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu
lughah arabiyah dengan beragam cabangnya.
Sebab
tugas mereka adalah menelusuri semua dalil dan berserakan lalu membangunnya
menjadi sebuah hujjah dan menarik kesimpulan hukumnya. Jadi memang perlu
memiliki banyak cabang disiplin ilmu yang menunjang tugasnya.
Sayangnya,
seringkali orang yang bukan pada kapasitasnya itu berdebat tentang masalah yang
mereka tidak menguasainya. Akibatnya mudah diterka, masalah akan semakin rumit
di tangan orang yang tidak paham.
Sebaliknya,
kita bila saksikan bagaimana indahnya para ulama di masa lalu memperbincangkan
perbedaan pendapat. Tidak ada caci maki, apalagi saling ejek atau saling tuduh
ahli bid'ah. Sebab masing-masing sadar bahwa argumen temannya itu tidak bisa
dipatahkan begitu saja. Meski dirinya lebih yakin dengan kekuatan argemumentasi
sendiri, tapi tetap saja menaruh hormat yang tinggi kepada pendapat orang lain.
Rupanya, semakin tinggi ilmu mereka, semakin tawadhhu' jiwa mereka.
Yang
Termasuk Masalah Khilafiyah
Biasanya
perkara yang masuk kategori khilafiyah adalah masalah furu' atau cabang-cabang
agama. Adapun masalah pokok, seperti aqidah yang paling dasar, tauhid yang
esensial serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak pernah terjadi
perbedaan pendapat.
Demikian
juga dengan kerangka dasar ibadah, umumnya para ulama sepakat.
Ketidak-sepakatan baru muncul manakala mereka mulai memasuki wilayah teknis dan
operational yang tidak prinsipil.
Di
antara sebab mengapa suatu perkara bisa menjadi masalah yang tidak disepakati
hukumnya antara lain:
1.
Adanya ayat yang berbeda satu dengan lainnya
secara zhahirnya. Sehingga membutuhkan jalan keluar yang bisa cocok untuk
keduanya. Di titik inilah para ulama terkadang berbeda dalam mengambil jalan
keluar.
2.
Adanya perbedaan penilaian derajat suatu
hadits di kalangan ahli hadits. Di mana seorang ahli hadits menilai suatu
hadits shahih, namun ahli hadits lainnya menilainy tidak shahih. Sehingga
ketika ditarik kesimpulan hukumnya, sangat bergantung dari perbedaan ahli
hadits dalam menilainya.
3.
Adanya ayat atau hadits yang menghapus
berlakunya ayat atau hadits yang pernah turun sebelumnya. Dalam hal ini
sebagaian ulama berbeda pendapat untuk menentukan mana yang dihapus dan mana
yang tidak dihapus.
4.
Adanya perbedaan ulama dalam menetapkan mana
ayat yang berlaku mujmal dan mana yang berlaku muqayyad. Juga
dalam menetapkan mana yang bersifat umum ('aam) dan mana yang bersifat
khusus (khaash).
5.
Adanya perbedaan ulama dalam menggunakan
metodologi teknik pengambilan kesimpulan hukum, setelah sumber yang disepakati.
Misalnya, ada yang menerima syar'u man qablana dan ada yang tidak. Ada yang menerima istihsan
dan ada juga yang tidak mau memakainya. Dan masih banyak lagi metode lainnya
seperti saddan lidzdzri'ah, qaulu shahabi, istishab, qiyas
dan lainnya.
Sikap
kita dalam masalah khilafiyah
Sikap
terhadap masalah khilafiyah adalah:
1.
Yakin bahwa masalah khilafiyah itu wajar dan
tidak bisa dihindari terjadinya. Khilafiyah sudah ada sejak awal mula risalah
Islam pertama kali diturunkan di muka bumi.
2.
Yakin bahwa beda pendapat itu bukan dosa,
justru sebaliknya kita jadi semakin punya khazanah yang kaya tentang ragam alur
hukum.
3.
Yakin bahwa khilafiyah itu bukan persoalan
yang harus ditangani dengan sewot dan emosi, melainkan sebuah kewajaran yang
manusiawi.
4.
Selama masih ada Quran dan sunnah, sudah
pasti muncul perbedaan pendapat. Karena sejak zaman nabi dan shahabat di mana
Quran sedang turun dan hadits masih diucapkan oleh nabi, sudah ada perbedaan
pendapat di kalangan mereka. Kalau perbedaan pendapat mau dihilangkan, maka
hapus dulu Quran dan sunnah dari muka bumi.
5.
Kita diharamkan merasa diri paling benar
dengan pendapat kita. Padahal kapasitas kita tidak pernah sampai kepada derajat
ulama ahli istimbath hukum.
6.
Kita diharamkan untuk mencaci maki ulama,
apalagi sampai menuduh mereka ahli bid'ah, hanya lantaran para ulama itu tidak
sama pandangannya dengan apa yang kita pikirkan.
7.
Kita tidak bisa memaksakan manusia untuk
berpendapat sesuai dengan pendapat kita sendiri dengan menafikan, mengecilkan
atau malah menghina pendapat orang lain. Tindakan seperti ini hanya dilakukan
oleh mereka yang jahil dan tak berilmu.
Wallahu
a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad
Sarwat, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar