Ismail Haniya, pemimpin Palestina saat ini –yang dipilih rakyatnya
dengan cara demokratis- rela tidak menikmati lauk pauk sebagai santapan
makannya kecuali hanya dengan sedikit garam, demi mengutamakan gizi bagi anak-anak
balita yang merupakan harapan bagi masa depan bangsanya.
Barangkali tidak banyak kita yang mengenal bangsa Palestina
dan apa yang sedang mereka alami saat ini, kecuali hanya sebagian kecil. Bahkan
tidak banyak yang mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi saat ini
sehingga negeri para Nabi itu di embargo oleh AS dan kelompoknya. Sejak pemilu
yang dilaksanakan dengan sangat demokratis pada tanggal 25 Januari lalu yang
dimenangkan oleh HAMAS mengagetkan sejumlah kalangan.
Mengenai proses pelasanaan pemilihan pun sangat terjamin
karena tidak kurang 600 lembaga pemantau menghadiri hajatan demokrasi di
negerinya Ahmad Yassin tersebut. Bahkan lembaga pemantau yang dikomandoi mantan
presiden AS Jimmi Carter pun mengakui hasil pemilu Palestina sebagai pemilihan
yang demokratis.
Yang jadi pertanyaan adalah mengapa AS dan Israel
tiba-tiba menolak hasil pemilu dan tidak mengakui pemerintahan HAMAS. Langkah
ini kemudian diikuti beberapa negara Barat dan bahkan mereka membuat
kesepakatan untuk melakukan blokade ekonomi dan embargo atas semua transaksi
keuangan untuk pemerintahan palestina.
Bukankah semua negara yang ingin menegakkan demokrasi
seharusnya diberikan keleluasaan dalam melakukan demokratisasi di negaranya.
Bahkan seharusnya negara lain justru mendukungnya. Anehnya, negara yang mengaku
paling demokratis seperti AS melakukan standar ganda dalam penilaian terhadap
hasil pemilu di negara lain.
HAMAS, Bermula Dari
Gerakan Perlawanan Menuju Parlemen
Dicetuskan oleh para pejuang Islam di negara Palestina yang
menginginkan negaranya merdeka dari cengkeraman penjajah Israel.
Menggunakan nama Harakah Al Muqawamah Al
Islamiyah (HAMAS) dan dipimpin oleh pemimpin spiritualnya yang menghebohkan
dunia, Syekh Ahmad Yasin. Sayap-sayap militernya sebagian besarnya diisi oleh
para pemuda yang siap mengorbankan jiwa raganya untuk kemerdekaan negaranya.
Bahkan pernah mengejutkan dunia dengan model perjuangan bom
syahid yang cukup menggetarkan tentara Israel sekalipun. Pemimpinnya Syekh
Ahmad Yassin, seorang yang lumpuh lagi buta bahkan tewas dan menemui syahidnya
dengan sebuah serangan rudal yang diluncurkan pasukan lawannya. Sungguh sebuah
tindakan pembunuhan kejam yang hanya dilakukan oleh para teroris.
Penggantinya, Dr. Rantisi juga mengalami kejadian yang hampir
sama, hanya beberapa hari setelah ia dilantik menjadi pemimpin HAMAS
menggantikan Ahmad Yassin. Sampai saat ini kepemimpinan HAMAS tidak
dipublikasikan untuk alasan keamanan.
Hingga suatu hari diawal tahun 2006 ketika HAMAS menentukan
langkah perjuangannya dengan memasuki ranah politik melalui keikutsertaannya
dalam pemilu, ternyata mampu menarik dukungan sebagian besar warga negara
Palestina. Mereka berhasil meraih suara mayoritas di parlemen dan berhak
membentuk pemerintahan.
Inilah awal tragedi itu. Seketika pemerintah AS, Israel dan
negara-negara Barat melayangkan kekecewaannya dan menyatakan tidak akan
bekerjasama dengan pemerintahan HAMAS. Lalu terjadilah embargo dan saat ini
negeri yang subur dengan potensi alam yang kaya tersebut mengalami krisis yang
luar biasa.
Krisis yang Mengetuk
Hati Nurani
Apa yang terjadi setelah embargo? Negara ini tidak memiliki
dana yang cukup untuk menghidupi pemerintahannya. Ribuan pegawainya tidak
menerima gaji termasuk pemerintahan yang baru dibentuk belum merasakan gaji
dari negara. Ribuan anak-anak mengalami kekurangan gizi, orangtua mereka bahkan
ada yang sampai lebih dari 3 hari tidak menikmati makanan dengan layak.
Namun disinilah ujian sebuah bangsa dengan visi
kebangsaannya. Rakyatnya bahu membahu menghadapi krisis dan pemimpinnya teguh
dengan prinsip yang dipegang. Di eramuslim.com dikisahkan seorang warga
negaranya yang mengenakan datang ke perdana menteri dengan mengenakan cadar
menyumbangkan perhiasan yang dimilikinya sekaligus memberikan dukungan kepada
pemimpin mereka. Saat itu juga toko-toko emas diserbu oleh para wanita yang
menggadaikan perhiasannya dan disumbangkan kepada negara. Para
pegawai swasta rela menyisihkan sebagian besar dari penghasilannya untuk
menggaji para pegawai negeri.
Dan lihatlah yang dilakukan oleh pemimpin mereka, PM Ismail
Haniya tidak mau menikmati makanan lezat dalam hidangannya, ia lebih memilih
makan dengan sedikit garam dari pada lauk pauk. Ia mementingkan gizi bagi para
balita yang kelak akan menjadi penerus kepemimpinan bangsanya. Ia bahkan belum
menikmati gaji apapun dari jabatannya sebagai kepala pemerintahan.
Sungguh sebuah gambaran negara yang memiliki jati diri dan
mengedepankan kepemimpinan dengan nurani.
Tidak heran jika solidaritas muncul dimana-dimana baik di negeri-negeri
muslim hingga sebagian negeri Barat. Di negara-negara Arab mereka mengumpulkan
donasi hingga mencapai jutaan dollar AS untuk diberikan kepada pemerintah
Palestina. Hingga ke Indonesia.
Sebuah parpol Islam yang sejak dulu menaruh perhatian besar terhadap perjuangan
rakyat Palestina telah mencanangkan untuk menggalang dana sebesar 10 juta
dollar AS untuk diberikan ke saudaranya di negara Palestina.
Sikap tegas dengan langkah nyata seharusnya ditunjukkan oleh
Pemerintah Indonesia
dengan menjadi pelopor bagi dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Undang-undang Dasar 1945 juga menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala
bangsa, karena itu dukungan konkrit perlu dilakukan. Berbesar hati ketika
beberapa tokoh di Republik ini yang dipelopori anggota DPR RI,
Soeripto dan Permadi membentuk Solidaritas Indonesia untuk Palestina.
Perjuangan rakyat Palestina bukan hanya masalah bangsa Arab
saja, namun permasalahan bersama penduduk dunia. Karena disana ada negara yang
dijajah, diperlakukan dengan kesewenang-wenangan, ditindas dan diusik proses
demokratisasinya. Solidarity for Palestina !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar