Sabtu, 23 Agustus 2014

Palestina, Pelajaran Bagi Nurani Bangsa





Ismail Haniya, pemimpin Palestina saat ini –yang dipilih rakyatnya dengan cara demokratis- rela tidak menikmati lauk pauk sebagai santapan makannya kecuali hanya dengan sedikit garam, demi mengutamakan gizi bagi anak-anak balita yang merupakan harapan bagi masa depan bangsanya.

Barangkali tidak banyak kita yang mengenal bangsa Palestina dan apa yang sedang mereka alami saat ini, kecuali hanya sebagian kecil. Bahkan tidak banyak yang mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi saat ini sehingga negeri para Nabi itu di embargo oleh AS dan kelompoknya. Sejak pemilu yang dilaksanakan dengan sangat demokratis pada tanggal 25 Januari lalu yang dimenangkan oleh HAMAS mengagetkan sejumlah kalangan.

Mengenai proses pelasanaan pemilihan pun sangat terjamin karena tidak kurang 600 lembaga pemantau menghadiri hajatan demokrasi di negerinya Ahmad Yassin tersebut. Bahkan lembaga pemantau yang dikomandoi mantan presiden AS Jimmi Carter pun mengakui hasil pemilu Palestina sebagai pemilihan yang demokratis.

Yang jadi pertanyaan adalah mengapa AS dan Israel tiba-tiba menolak hasil pemilu dan tidak mengakui pemerintahan HAMAS. Langkah ini kemudian diikuti beberapa negara Barat dan bahkan mereka membuat kesepakatan untuk melakukan blokade ekonomi dan embargo atas semua transaksi keuangan untuk pemerintahan palestina.

Bukankah semua negara yang ingin menegakkan demokrasi seharusnya diberikan keleluasaan dalam melakukan demokratisasi di negaranya. Bahkan seharusnya negara lain justru mendukungnya. Anehnya, negara yang mengaku paling demokratis seperti AS melakukan standar ganda dalam penilaian terhadap hasil pemilu di negara lain.

HAMAS, Bermula Dari Gerakan Perlawanan Menuju Parlemen

Dicetuskan oleh para pejuang Islam di negara Palestina yang menginginkan negaranya merdeka dari cengkeraman penjajah Israel. Menggunakan nama Harakah Al Muqawamah Al Islamiyah (HAMAS) dan dipimpin oleh pemimpin spiritualnya yang menghebohkan dunia, Syekh Ahmad Yasin. Sayap-sayap militernya sebagian besarnya diisi oleh para pemuda yang siap mengorbankan jiwa raganya untuk kemerdekaan negaranya.

Bahkan pernah mengejutkan dunia dengan model perjuangan bom syahid yang cukup menggetarkan tentara Israel sekalipun. Pemimpinnya Syekh Ahmad Yassin, seorang yang lumpuh lagi buta bahkan tewas dan menemui syahidnya dengan sebuah serangan rudal yang diluncurkan pasukan lawannya. Sungguh sebuah tindakan pembunuhan kejam yang hanya dilakukan oleh para teroris.

Penggantinya, Dr. Rantisi juga mengalami kejadian yang hampir sama, hanya beberapa hari setelah ia dilantik menjadi pemimpin HAMAS menggantikan Ahmad Yassin. Sampai saat ini kepemimpinan HAMAS tidak dipublikasikan untuk alasan keamanan.

Hingga suatu hari diawal tahun 2006 ketika HAMAS menentukan langkah perjuangannya dengan memasuki ranah politik melalui keikutsertaannya dalam pemilu, ternyata mampu menarik dukungan sebagian besar warga negara Palestina. Mereka berhasil meraih suara mayoritas di parlemen dan berhak membentuk pemerintahan.

Inilah awal tragedi itu. Seketika pemerintah AS, Israel dan negara-negara Barat melayangkan kekecewaannya dan menyatakan tidak akan bekerjasama dengan pemerintahan HAMAS. Lalu terjadilah embargo dan saat ini negeri yang subur dengan potensi alam yang kaya tersebut mengalami krisis yang luar biasa.

Krisis yang Mengetuk Hati Nurani

Apa yang terjadi setelah embargo? Negara ini tidak memiliki dana yang cukup untuk menghidupi pemerintahannya. Ribuan pegawainya tidak menerima gaji termasuk pemerintahan yang baru dibentuk belum merasakan gaji dari negara. Ribuan anak-anak mengalami kekurangan gizi, orangtua mereka bahkan ada yang sampai lebih dari 3 hari tidak menikmati makanan dengan layak.

Namun disinilah ujian sebuah bangsa dengan visi kebangsaannya. Rakyatnya bahu membahu menghadapi krisis dan pemimpinnya teguh dengan prinsip yang dipegang. Di eramuslim.com dikisahkan seorang warga negaranya yang mengenakan datang ke perdana menteri dengan mengenakan cadar menyumbangkan perhiasan yang dimilikinya sekaligus memberikan dukungan kepada pemimpin mereka. Saat itu juga toko-toko emas diserbu oleh para wanita yang menggadaikan perhiasannya dan disumbangkan kepada negara. Para pegawai swasta rela menyisihkan sebagian besar dari penghasilannya untuk menggaji para pegawai negeri.

Dan lihatlah yang dilakukan oleh pemimpin mereka, PM Ismail Haniya tidak mau menikmati makanan lezat dalam hidangannya, ia lebih memilih makan dengan sedikit garam dari pada lauk pauk. Ia mementingkan gizi bagi para balita yang kelak akan menjadi penerus kepemimpinan bangsanya. Ia bahkan belum menikmati gaji apapun dari jabatannya sebagai kepala pemerintahan.

Sungguh sebuah gambaran negara yang memiliki jati diri dan mengedepankan kepemimpinan dengan nurani.

Tidak heran jika solidaritas muncul dimana-dimana baik di negeri-negeri muslim hingga sebagian negeri Barat. Di negara-negara Arab mereka mengumpulkan donasi hingga mencapai jutaan dollar AS untuk diberikan kepada pemerintah Palestina. Hingga ke Indonesia. Sebuah parpol Islam yang sejak dulu menaruh perhatian besar terhadap perjuangan rakyat Palestina telah mencanangkan untuk menggalang dana sebesar 10 juta dollar AS untuk diberikan ke saudaranya di negara Palestina.
Sikap tegas dengan langkah nyata seharusnya ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia dengan menjadi pelopor bagi dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina. Undang-undang Dasar 1945 juga menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, karena itu dukungan konkrit perlu dilakukan. Berbesar hati ketika beberapa tokoh di Republik ini yang dipelopori anggota DPR RI, Soeripto dan Permadi membentuk Solidaritas Indonesia untuk Palestina.

Perjuangan rakyat Palestina bukan hanya masalah bangsa Arab saja, namun permasalahan bersama penduduk dunia. Karena disana ada negara yang dijajah, diperlakukan dengan kesewenang-wenangan, ditindas dan diusik proses demokratisasinya. Solidarity for Palestina !





Tidak ada komentar: