COMES:
-Setelah usia Intifadhah Al-Aqsha berjalan tiga tahun lebih, sejumlah laporan
mengungkapkan tentang meningkatnya penderitaan yang dialami oleh ribuan
keluarga di Tepi Barat dan Jalur Gaza akibat kekejaman yang dilakukan oleh
penjajah Israel hingga menyentuh kepada hal-hal mendasar dalam kehidupan.
Di antara fenomena penderitaan itu adalah rendahnya pemasukan (income) bulanan
bagi sejumlah besar keluarga Palestina. Akibatnya berpengaruh kepada pengeluaran
biaya di semua bidang kehidupan, terutama biaya untuk makanan. Fenomena ini
akan menunjukkan betapa bahayanya krisis ekonomi yang dialami oleh
keluarga-keluarga Palestina tersebut.
Kita akan mencoba membaca secara jelas hasil survei yang dilakukan oleh Pusat
Statistik Palestina selama kwartal pertama tahun 2004, seputar dampak aksi-aksi
kekejaman Israel
bagi kondisi ekonomi keluarga Palestina.
Pemasukan
(income) Keluarga
Hasil survei itu menunjukkan akan penurunan income bulanan untuk keluarga
pertengahan, mulai dari 2.500 shekel (shekel mata uang Israel, dan 1
shekel = US$ 4,6, red) sebelum Intifadhah Al-Aqsha hingga sampai pada 1.200
shekel per-kwartal pertama tahun 2004. Di Tepi Barat menurun dari angka 3.000
shekel sampai jumlah 1.500 shekel, dan di Jalur Gaza mulai dari 1.800 shekel
hingga sampai 1.000 shekel.
Sejumlah data memperlihatkan bahwa 61,5% (atau sekitar 368.000 kepala keluarga)
dari jumlah keseluruhan keluarga Palestina yang ada di tanah Palestina, menunjukkan
penurunan income sejak awal-awal Intifadhah Al-Aqsha. Diantarannya 48,7% (atau
292.000 kepala keluara) telah kehilangan separuh pemasukannya selama Intifadhah
ini, sementara jumlah 65,6% (atau 261.000 kepala keluarga) dari jumlah
keseluruhan keluarga di Tepi Barat menurun pemasukannya sejak awal-awal
Intifadhah, berbanding 53,4% (atau 107.000 kepala keluarga) di Jalur Gaza.
Sumber-sumber
Pemasukan
Hasil survei itu juga menjelaskan bahwa 31,8% dari keluarga di tanah Palestina
banyak bergantung pada upah dan gaji dari sektor khusus (swasta) sebagai sumber
income utama selama per-kwartal tahun 2004. Dan angka 18,3% pemasukannya
bergantung pada upah dan gaji dari pemerintah sebagai sumber pemasukan utama,
sedangkan 12,1% dari keluarga itu bergantung pada proyek-proyek keluarga
internal.
Sedangkan pada level daerah, 34,1% dari keluarga di Tepi Barat itu bergantung
pada upah dan gaji dari sektor khusus (swasta, red), kemudian berikutnya dari
upah dan gaji pemerintaha sebanyak 12,8% serta usaha mandiri keluarga sebagai
sumber utama pemasukan adalah sebanyak 12,8%.
Adapun di Jalur Gaza, jumlah 29,2% dari keluarga di sana bergantung pada upah
dan gaji dari pemerintah, 27,2% bergantung pada upah dan gaji dari sektor swasta
dan 10,6% dari keluarga bergantung pada usaha mandiri sebagai sumber utama
income.
Pengeluaran
Keluarga
Hasil survei pusat statistik itu menunjukkan bahwa 60,3% dari keluarga
Palestina (atau sekitar 361.000 kepala keluarga) yang hidup di tanah-tanah
Palestina telah menurunkan pembelanjaannya pada kebutuhan-kebutuhan primer
selama tahun 2003, terutama pada pakaian dan makanan. Jumlah keluarga yang
menurunkan pengeluarannya pada pakaian mencapai angka 96,8%, sedangkan yang
menurunkan pengeluarannya pada sisi makanan mencapai angka 89,7%.
Untuk wilayah Tepi Barat, survei itu menunjukkan bahwa 64,1% dari keluarga
(atau 256.000 kepala keluarga) telah menurunkan pengeluarannya pada kebutuhan
primer selama periode tersebut, terutama pada kebutuhan pakaian dan tempat
tinggal. Keluarga yang menurunkan pengeluarannya pada kebutuhan pakaian
mencapai angka 95,9% dan yang menurunkan pada kebutuhan tempat tinggal mencapai
88,1%.
Pada wilayah Jalur Gaza, survei itu menunjukkan bahwa 52,7% (atau 105.000
kepala keluarga) menurunkan pengeluarannya pada kebutuhan primer selama periode
yang sama, terutama pada kebutuhan pakaian dan makanan. Jumlah keluarga yang
mengurangi pengeluaran pakaian mencapai 99% dan mengurangi pengeluaran makanan mencapai
97,1%.
Sejumlah data di sana juga menyebutkan bahwa ada jumlah yang cukup tinggi
keluarga Palestina yang tinggl di tanah-tanah Palestina merubah cara
mengkonsumsi bahan-bahan makanan yang biasa konsumsi sebelum Intifadhah
Al-Aqsha. Ada 99,1% dari keluarga Palestina yang mengurangi konsumsi daging
yang biasa mereka konsumsi sebelumnya dan 98,7% dari keluarga itu mengurangi
konsumsi buah-buahan yang biasa mereka makan. Bahkan 98,1% dari keluarga
Palestina itu merubah menu makanan dan 87,4% dari mereka yang mengurangi jumlah
makanan yang biasa mereka konsumsi sebelum Intifadhah Al-Aqsha.
Kontribusi
Ekonomi bagi Keluarga Palestina
Keluarga Palestina, seperti hasil survei itu, yang kekuatan ekonominya
bergantung selama tahun 2003 lalu pada sejumlah sumber, menunjukkan bahwa 75,4%
dari keluarga itu bergantung pada income bulanannya untuk bisa tetap eksis
selama tahun 2003. Sedangkan 68,5% dari keluarga itu ada yang harus 'ngebon'
dulu dan 61,3% dari keluarga tersebut yang harus mengurangi pengeluaran
bulanannya.
Pada level daerah, hasil survei itu menunjukkan bahwa 73,6% dari keluarga di
Tepi Barat ekonominya bergantung pada income bulanannya, 69,7% dari mereka
harus 'ngebon' dulu untuk memenuhi kebutuhannya dan 65,3% dari keluarga
tersebut harus terpaksa mengurangi kebutuhan bulanannya. Sedangkan di Jalur
Gaza 78,9% dari keluarga Palestina sangat bergantung pada income bulanannya
sebagai penopang utama untuk eksis, 66,2% harus terpaksa 'ngebon' dan 56,8%
dari mereka harus terpaksa 'ngutang'.
Tentang potensi untuk tetap tahan secara ekonomi selama periode itu, ada 23,4%
dari keluarga Palestina yang bisa bertahan lebih dari satu tahun, berbanding
dengan 15,9% keluarga yang terus mengalami kegoncangan ekonomi dan tidak tahu
bagaimana harus melayani kebutuhan primer keluarganya.
Pada level daerah, hasil survei itu menunjukkan bahwa 22,3% keluarga di Tepi
Barat masih bisa bertahan ekonominya pada periode berikutnya hingga setahun
lamanya, dibandingkan dengan 25,6% keluarga yang ada di Jalur Gaza. Sedangkan
16,2% dari keluarga di Jalur Gaza menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup
bahaya dan tidak tahu bagaimana harus melayani kebutuhan primer keluarganya,
berbanding 15,7% keluarga yang ada di Tepi Barat.
Bantuan
Kemanusiaan
Dari hasil survei, juga menunjukkan bahwa 19,2% dari keluarga atau salah satu
anggotanya (115.000 kepala keluarga) di tanah Palestina mendapatkan sejumlah
bantuan
selama
per-kwartal pertama tahun 2004. Jumlah ini tersebar di lapangan sebanyak 14,0%
di Tepi Barat dan 29,5% di Jalur Gaza. Sedangkan hasil lain menunjukkan bahwa
72,0% (atau 432.000 kepala keluarga) menegaskan akan butuhnya mereka terhadap
bantuan-bantuan tersebut tanpa melihat akan datang atau tidaknya bantuan itu sendiri
(perbandingannya, 70,7% di Tepi Barat dan 74,8% di Jalur Gaza).
Tentang keluarga yang menerima bantuan-bantuan itu selama kwartal tahun 2004,
dengan hitungan per-shekel, survei itu menunjukkan bahwa 12,6% dari keluarga
itu menerima keseluruhannya berjumlah kurang dari 100 shekel, 47,8% kurang dari
200 shekel dan 66,1% menerima kurang dari 300 shekel.
Seputar sumber-sumber bantuan ini, pihak keluarga dan kerabat menempati tempat
pertama sebagai penyumbang bantuan dengan jumlah 23,3%. Peringkat berikutnya
disusul oleh bantuan dari asosiasi pekerja dengan jumlah 21,5%, lalu badan
bantuan dengan jumlah 19,5%, lembaga-lembaga pemerintah (khusus bidang sosial)
berjumlah 16,9%, yayasan sosial dan agama (termasuk didalamnya panitia zakat)
berjumlah 6,8%, faksi dan partai politik berjumlah 2,5%. Sedangkan jumlah
bantuan yang dikirim oleh sejumlah organisasi internasional, lembaga SDM,
negara-negara Arab, bank-bank lokal, panitia lokal dan karib kerabat mencapai
jumlah 9,5%. Adapun tentang bentuk bantuan tersebut, survei itu menunjukkan
bahwa 54,9% berupa bahan-bahan makanan dan 32,5% berupa uang tunai.
Prioritas
Kebutuhan Keluarga
Hasil survei itu menunjukkan bahwa 35,8% dari keluarga di Palestina membutuhkan
makanan sebagai prioritas pertama, 21,5% membutuhkan harta, 21,4% membutuhkan
pekerjaan, 8,6% memprioritaskan pada bidang pendidikan dan 7,3% memprioritaskan
pengobatan.
Pelayanan
Bantuan Medis
Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa 51,0% dari keluarga Palestina
menjadikan isolasi militer Israel sebagai penghalang untuk mendapatkan bantuan
medis, dan 50,6% dari keluarga yang menjadikan barikade-barikade militer Israel
sebagai penghalang mendapatkan pelayanan medis.
Begitu juga jumlah 48,2% dari keluarga itu yang mengeluhkan tingginya biaya
pengobatan sebagai penghalang untuk mendapatkan pelayanan medis dan 10,8%
menjadikan tembok 'rasis' pemisah Israel sebagi penghalang mendapatkan
pelayanan medis.
Sedangkan untuk level daerah, 62,7% dari keluarga di Tepi Barat dan 27,8%
keluarga di Jalur Gaza yang menyebutkan bahwa isolasi militer Israel membuat
mereka tidak mendapatkan pelayanan medis. Adapun tingginya biaya pengobatan
menjadi penyebab mereka tidak mendapatkan pelayanan medis adalah 48,6% keluarga
di Tepi Barat dan 47,4% keluarga di Jalur Gaza.
(AM Rais)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar