Sabtu, 23 Agustus 2014

Jejak Berdarah Teroris Israel di Haram Ibrahimi, Hebron




COMES:- Pada suatu Jumat sepuluh tahun yang lalu, di pagi yang dingin pada 25 Februari 1994. Orang kebanyakan masih mendengkur dalam selimut. Muazin baru saja mengumandangkan azan. Jam menunjukkan pukul 05.20 di Masjid Ibrahim, Hebron. Meski langit Februari yang bertepatan pada bulan Ramadhan kala itu terasa amat dingin, Namun ratusan orang Palestina segera berbondong-bondong menuju Haram Ibrahimi, mereka segera berjajar melaksanakan salat subuh usai muadzin mengumandangkan iqamah.
Bagi sebagian jama’ah, Jum’at pagi yang damai itu ternyata menjadi shalat tarakhir mereka. Ketika seorang laki-laki bercambang, bersenjata, menyamar dalam pakaian tentara Israel, perlahan datang merapat mendekati tempat sujud mereka. Kebencian menyeruak di pagi itu. Dan tiba-tiba saja berondongan senjata membelah keheningan subuh. Senapan laras jenis rifel galil telah memuntahkan timah-timah panas ke punggung-punggung jemaah subuh yang tengah bersujud, sampai habis tiga hower peluru, lalu dilemparkannya tiga biji granat ke kerumunan orang yg tak bisa membalas atau mempertahankan diri itu. Mayat pun bergelimpangan, termasuk anak-anak, darah muncrat, jerit bersahutan, membumbung, dan sesudah itu kita tahu, Baruch Goldstein telah menjadikan subuh itu sebagai shalat terakhir bagi 54 orang Palestina yang gugur syahid di antara ratusan jama’ah yang tengah sujud khusyu’ di atas sajadah mereka.
Dr. Baruch Golstein, sang pembantai puluhan muslim di Hebron. Ia adalah seorang dokter Yahudi kelahiran Brooklyn, New York, berumur 38 tahun, yg pindah ke Palestina dengan mengusung doktrin radikal, bahwa orang Arab adalah sejenis epidemi. "Mereka patogen yg menjangkiti kita," ungkapnya.
Sesampai di Palestina, Goldstein pun masuk Partai Kach, yang langsung mendapatkan doktrin dan pembinaan pandangan-pandangan ekstrim Rabi Kahane. Yang disebut terakhir ini adalah seorang pengkhotbah fanatic Yahudi, penganjur ajaran ekstrem pembuangan (transfer) orang Palestina dari Palestina. Kahane kemudian terbunuh.
Terorisme dan pembantaian adalah jalan paling praktis bagi Dr. Baruch Golstein guna mewujudkan impian Yahudi untuk sebuah negeri entitas bangsa Yahudi agar tak terancam punah.
Pada 24 Februari 1994 malam, bertepatan menjelang perayaan pembebasan bangsa Yahudi yang dikenal sebagai hari besar Purim. Ia beranjak menuju makam para leluhur di wilayah Hebron/al Khalil, Tepi Barat. Di daerah ini berdiri Goa Machpelah, yang konon adalah tempat pentahbisan Ibrahim, Siti Sarah, dan Nabi Ishaq. Di sini pula Masjid Ibrahimi didirikan pada abad ke-7 Masehi.
Malam itu Dr. Baruch Golstein menyimak Scroll of Esther (Gulungan Suci Esther) –semacam barjanji dalam tradisi kaum nahdhiyin di Indonesia –, yang mengisahkan tradisi Malam Purim. Entah karena apa, hatinya gelisah dan diapun segera beranjak dari perjamuan malam menjelang Purim menuju ke rumahnya di kompleks Al Khalil. Pada 25 Pada 25 Februari 1994, kala subuh menjelang, ia beranjak lagi dari rumahnya menuju Masjid Ibrahim. Ratusan jama’ah tengah sujud menunaikan shalat subuh. Dan akhirnya, pembantaian biadab itupun terjadi.
Pasukan militer penjajah Israel yang biasa melindungi Goldstein sebenarnya telah mengirimkan pesan lewat pager. Namun Goldstein tak menyahut. Beberapa jam berikutnya, mereka menyadari "orang penting" yang diberi privasi penjagaan oleh rezim penjajah Israel itu telah kalab dengan kebuasannya dan nyawanya melayang setelah seseorang menghantam kepalanya dengan tabung alat pemadam kebakaran – satu-satunya senjata yang dipunyai orang Palestina di mesjid itu – dari belakang.
Yang perlu mendapatkan catatan tambahan adalah, aksi ini terjadi di depan mata dan mendapatkan pengawalan khusus dari pasukan militer penjajah Zionis Israel. Ini membuktikan bahwa peristiwa pembantaian ini memang telah direncanakan sebelumnya oleh berbagai pihak termasuk pemerintah Israel. Meski di kantornya, di Jerusalem Perdana Menteri Israel Ishak Rabin menyebut Goldstein hanyalah seorang yang"sakit jiwa". Dan bagi sebagian kaum ekstrimis Yahudi, Goldstein adalah sang pahlawan yang hingga kini makamnya menjadi lokasi penziarahan khusus bagi orang-orang Yahudi radikal.
Aksi inipun kemudian menyulut aksi demonstrasi besar-besaran di segenap penjuru Tepi Barat dan Jalur Gaza. Aksi ini kemudian mendapat penghadangan dari warga permukiman Yahudi bersenjata. Bentrokan tidak dapat dihindarkan dan mengakibatkan 21 orang Palestina gugur dan lebih dari 500 lainnya terluka.
Bila sebagian public Israel menganggap pembantaian biadab Goldstein ini sebagai tindakan kepahlawanan, maka rezim penjajah Zionis Israel hanya melakukan tindakan berikut: pertama memberikan sanksi tahanan rumah bagi 4 orang anggota geng teroris Kach; kedua melucuti senjata 9 orang warga permukiman; ketiga pembentukan tim penyelidik yang dipimpin oleh hakim agung dan; keempat pembekuan geng teroris Kach dan Kahana.
Dan setelah itu, peristiwa pembantaian biadab itu telah terlupakan dalam benak masyarakat dunia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. (seto)

Tidak ada komentar: