COMES:-
Pada suatu Jumat sepuluh tahun yang lalu, di pagi yang dingin pada 25 Februari
1994. Orang kebanyakan masih mendengkur dalam selimut. Muazin baru saja
mengumandangkan azan. Jam menunjukkan pukul 05.20 di Masjid Ibrahim, Hebron. Meski langit
Februari yang bertepatan pada bulan Ramadhan kala itu terasa amat dingin, Namun
ratusan orang Palestina segera berbondong-bondong menuju Haram Ibrahimi, mereka
segera berjajar melaksanakan salat subuh usai muadzin mengumandangkan iqamah.
Bagi
sebagian jama’ah, Jum’at pagi yang damai itu ternyata menjadi shalat tarakhir
mereka. Ketika seorang laki-laki bercambang, bersenjata, menyamar dalam pakaian
tentara Israel,
perlahan datang merapat mendekati tempat sujud mereka. Kebencian menyeruak di
pagi itu. Dan tiba-tiba saja berondongan senjata membelah keheningan subuh.
Senapan laras jenis rifel galil telah memuntahkan timah-timah panas ke
punggung-punggung jemaah subuh yang tengah bersujud, sampai habis tiga hower
peluru, lalu dilemparkannya tiga biji granat ke kerumunan orang yg tak bisa
membalas atau mempertahankan diri itu. Mayat pun bergelimpangan, termasuk
anak-anak, darah muncrat, jerit bersahutan, membumbung, dan sesudah itu kita
tahu, Baruch Goldstein telah menjadikan subuh itu sebagai shalat terakhir bagi
54 orang Palestina yang gugur syahid di antara ratusan jama’ah yang tengah
sujud khusyu’ di atas sajadah mereka.
Dr.
Baruch Golstein, sang pembantai puluhan muslim di Hebron. Ia adalah seorang
dokter Yahudi kelahiran Brooklyn, New York, berumur 38 tahun, yg pindah ke
Palestina dengan mengusung doktrin radikal, bahwa orang Arab adalah sejenis
epidemi. "Mereka patogen yg menjangkiti kita," ungkapnya.
Sesampai
di Palestina, Goldstein pun masuk Partai Kach, yang langsung mendapatkan
doktrin dan pembinaan pandangan-pandangan ekstrim Rabi Kahane. Yang disebut
terakhir ini adalah seorang pengkhotbah fanatic Yahudi, penganjur ajaran
ekstrem pembuangan (transfer) orang Palestina dari Palestina. Kahane kemudian
terbunuh.
Terorisme
dan pembantaian adalah jalan paling praktis bagi Dr. Baruch Golstein guna
mewujudkan impian Yahudi untuk sebuah negeri entitas bangsa Yahudi agar tak
terancam punah.
Pada
24 Februari 1994 malam, bertepatan menjelang perayaan pembebasan bangsa Yahudi
yang dikenal sebagai hari besar Purim. Ia beranjak menuju makam para leluhur di
wilayah Hebron/al Khalil, Tepi Barat. Di daerah ini berdiri Goa Machpelah, yang
konon adalah tempat pentahbisan Ibrahim, Siti Sarah, dan Nabi Ishaq. Di sini
pula Masjid Ibrahimi didirikan pada abad ke-7 Masehi.
Malam
itu Dr. Baruch Golstein menyimak Scroll of Esther (Gulungan Suci Esther)
–semacam barjanji dalam tradisi kaum nahdhiyin di Indonesia –, yang mengisahkan
tradisi Malam Purim. Entah karena apa, hatinya gelisah dan diapun segera
beranjak dari perjamuan malam menjelang Purim menuju ke rumahnya di kompleks Al
Khalil. Pada 25 Pada 25 Februari 1994, kala subuh menjelang, ia beranjak lagi
dari rumahnya menuju Masjid Ibrahim. Ratusan jama’ah tengah sujud menunaikan
shalat subuh. Dan akhirnya, pembantaian biadab itupun terjadi.
Pasukan
militer penjajah Israel yang biasa melindungi Goldstein sebenarnya telah
mengirimkan pesan lewat pager. Namun Goldstein tak menyahut. Beberapa
jam berikutnya, mereka menyadari "orang penting" yang diberi privasi
penjagaan oleh rezim penjajah Israel itu telah kalab dengan kebuasannya dan
nyawanya melayang setelah seseorang menghantam kepalanya dengan tabung alat
pemadam kebakaran – satu-satunya senjata yang dipunyai orang Palestina di
mesjid itu – dari belakang.
Yang
perlu mendapatkan catatan tambahan adalah, aksi ini terjadi di depan mata dan
mendapatkan pengawalan khusus dari pasukan militer penjajah Zionis Israel. Ini
membuktikan bahwa peristiwa pembantaian ini memang telah direncanakan
sebelumnya oleh berbagai pihak termasuk pemerintah Israel. Meski di kantornya,
di Jerusalem Perdana Menteri Israel Ishak Rabin menyebut Goldstein hanyalah
seorang yang"sakit jiwa". Dan bagi sebagian kaum ekstrimis Yahudi,
Goldstein adalah sang pahlawan yang hingga kini makamnya menjadi lokasi
penziarahan khusus bagi orang-orang Yahudi radikal.
Aksi
inipun kemudian menyulut aksi demonstrasi besar-besaran di segenap penjuru Tepi
Barat dan Jalur Gaza. Aksi ini kemudian mendapat penghadangan dari warga permukiman
Yahudi bersenjata. Bentrokan tidak dapat dihindarkan dan mengakibatkan 21 orang
Palestina gugur dan lebih dari 500 lainnya terluka.
Bila
sebagian public Israel
menganggap pembantaian biadab Goldstein ini sebagai tindakan kepahlawanan, maka
rezim penjajah Zionis Israel
hanya melakukan tindakan berikut: pertama memberikan sanksi tahanan rumah bagi
4 orang anggota geng teroris Kach; kedua melucuti senjata 9 orang warga
permukiman; ketiga pembentukan tim penyelidik yang dipimpin oleh hakim agung
dan; keempat pembekuan geng teroris Kach dan Kahana.
Dan
setelah itu, peristiwa pembantaian biadab itu telah terlupakan dalam benak
masyarakat dunia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. (seto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar